Friday 1 April 2011

Midnight Sun Bagian 2

 Buku Terbuka
Aku berbaring diatas tumpukan salju, membuat cekungan disekitar tubuhku. Kulitku mendingin menyesuaikan udara sekitar. Sebutir es jatuh ke kulitku seperti beledu. Langit diatasku cerah, bertabur bintang, sebagian bependar biru, sebagian kuning. Kerlip-kerlip itu begitu megah dihadapan kegelapan malam—pemandangan luarbiasa. Sangat cantik. Atau mungkin lebih tepat disebut indah. Seharusnya, jika aku benar-benar dapat
melihatnya. Ini tidak jadi lebih baik. Enam hari sudah lewat, enam hari besembunyi di hutan belantara teritori keluarga Denali. Tapi aku belum juga mendapati kebebasan sejak pertama kali mencium aroma gadis itu.


Ketika menatap ke langit, seakan ada penghalang antara mataku dan keindahannya. Penghalangnya adalah sesosok wajah, wajah manusia biasa yang tidak istimewa, tapi aku tidak bisa mengusirnya. Aku mendengar suara pikiran mendekat sebelum suara langkahnya. Bunyi gerakannya hanya berupa gesekan halus. Aku tidak kaget Tanya membututi kesini. Aku tahu beberapa hari ini ia ingin bicara denganku, menunggu hingga yakin pada pilihan katanya. Dia muncul enam puluh yard didepanku, mendarat dengan bertelanjang kaki di atas
batu hitam dan menyeimbangkan tubuhnya.

Kulit Tanya keperakan dibawah cahaya malam. Rambut pirang ikal panjangnya berpendar pucat, hampir pink seperti strawberi. Matanya yang kuning madu berkilat saat menatapku, yang setengah terpendam dibawah salju. Bibirnya yang penuh tertarik halus membentuk senyuman. Sangat cantik. Jika aku benar-benar bisa melihatnya. Aku mendesah. Dia membungkuk ke ujung batu, ujung jari menyentuh permukaannya, badannya bergelung.

Cannonball. Dia membatin. Dia melentingkan dirinya keatas; tubuhnya menjadi bayangan gelap saat bersalto
dengan anggun diantaraku dan bintang-bintang. Dia melipat tubuhnya seperti bola saat menubruk dengan keras tumpukan salju disampingku. Salju langsung berhamburan seperti badai. Langit diatasku menggelap dan aku tertimbun dibawah kelembutan lapisan salju. Aku mendesah lagi, tapi tidak bangkit. Kegelapan ini tidak menyakitkan juga tidak membantu pandanganku. Aku masih melihat wajah yang sama.

“Edward?”

Salju beterbangan lagi saat Tanya pelan-pelan menggali. Dia mengusap sisa-sisa salju dari wajahku yang tidak bergerak, dia tidak benar-benar bertemu pandang dengan tatapanku yang kosong.

“Sory,” dia berbisik. “Cuma bercanda.”

“Aku tahu. Itu lucu, kok.”

Mulutnya bergerak turun.

“Menurut Irina dan Katie sebaiknya aku membiarkanmu sendirian. Pikir mereka aku mengganggumu.”

“Sama sekali tidak.” aku meyakinkan dia. “Sebaliknya, aku yang bersikap tidak sopan —sangat kasar. Maafkan aku.”

Kau akan pulang, iya kan? pikirnya.

“Aku belum... sepenuhnya... memutuskan itu.”

Tapi kau tidak akan tinggal disini. Pikirannya kini muram, sedih.

“Tidak. Sepertinya tidak akan...membantu.”

Dia meringis. “Itu salahku, iya kan?”

“Tentu saja bukan.” aku berbohong.

Tidak usah bersikap sopan.

Aku tersenyum. Aku membuatmu tidak nyaman, sesalnya.

“Tidak.”

Sebelah alisnya terangkat, ekspresinya sangat tidak percaya hingga aku terpaksa tertawa. Satu tawa singkat, diikuti desahan.

“Oke.” Aku akui. “Sedikit.”

Dia ikut mendesah, lalu menumpangkan dagunya ke tangan. Perasaannya kecewa.

“Kau beribu kali lebih indah dari bintang-bintang, Tanya. Tentu saja, kau menyadari itu. Jangan biarkan kebebalanku melemahkan kepercayaan dirimu.” aku sedikit geli jika dia sampai begitu.

“Aku tidak biasa ditolak.” dia menggerutu, bibir bawahnya terangkat cemberut.

“Itu pasti.” Aku setuju, sambil coba menghalau pikiran dia saat ribuan penaklukannya berkelebat. Kebanyakan Tanya memilih manusia—populasi mereka lebih banyak salah satu alasannya, dengan tambahan kehangatan serta kelembutan mereka. Dan selalu berhasrat tinggi, pastinya.

“Dasar Succubus,” godaku, berharap bisa mengalihkan kelebat ingatannya.

Dia menyeringai, menampakan giginya. “Yang asli.”

Tidak seperti Carlisle, Tanya dan saudarinya menemukan nurani mereka belakangan. Pada akhirnya, ketertarikan mereka pada pria lah yang mencegah mereka menjadi pembunuh. Sekarang para pria yang mereka cintai...hidup.

“Saat kau datang kesini,” Tanya berkata pelan, “Aku kira...”

Aku tahu apa yang dia pikir kemarin. Dan seharusnya aku sudah menerka itu sebelum kesini. Tapi kemarin aku sedang tidak bisa berpikir sehat.

“Kau mengira aku berubah pikiran.”

“Iya.” dia memberengut.

“Aku menyesal membuatmu berharap, Tanya. Aku tidak bermaksud—aku tidak berpikir. Hanya saja aku pergi dengan... buru-buru.”

“Kurasa kau tidak akan memberitahu alasannya, kan...?”

Aku bangkit duduk dan merangkul kakiku, bersikap menghindar. “Aku tidak ingin membicarakan itu.”

Tanya, Irina, dan Kate sangat baik menjalani pilihan hidup mereka. Bahkan lebih baik, dalam beberapa hal, daripada Carlisle. Terlepas dari kedekatannya yang sableng dengan mereka yang seharusnya—dan pernah—menjadi mangsanya, mereka tidak pernah membuat kesalahan. Aku terlalu malu mengakui kelemahanku pada Tanya.

“Masalah perempuan?” dia menebak, mengacuhkan keenggananku.

Aku tertawa hambar. “Tidak seperti yang kau maksud.”

Dia terdiam. Pikirannya beralih ke dugaan lain, dia coba mengurai maksud jawabanku.

“Sedikitpun tidak mendekati.” aku memberitahu.

“Satu saja petunjuk?” pohonnya.

“Sudah lah, Tanya.”

Dia diam lagi, masih menebak-nebak. Kuacuhkan dia, dan sia-sia mengagumi bintang.

Akhirnya ia menyerah. Pikirannya mendesak ke hal lain.

Kau akan kemana, Edward, jika kau pergi? Kembali ke Carlisle?

“Sepertinya tidak.” Desisku.

Akan kemana aku? Aku tidak dapat menemukan satu tempatpun di dunia ini yang menarik. Tidak ada yang ingin aku kunjungi. Karena, tidak perduli kemanapun, aku tidak akan pergi kesitu—aku hanya lari dari.

Aku benci itu. Sejak kapan aku jadi pengecut?

Tanya merangkulkan tangannya yang gemulai ke pundakku. Aku bergeming, tapi tidak menampik. Dia tidak bermaksud lebih dari sekedar bersahabat. Sebagian besar.

“Menurutku kau akan kembali.” katanya, suaranya menyisakan sedikit logat Rusia yang telah lama hilang.

“Tak perduli apapun itu...atau siapapun...yang menghantuimu. Kau pasti akan menghadapinya. Kau selalu begitu.”

Pikirannya sejalan dengan ucapannya. Aku coba memposisikan diri seperti yang ia gambarkan. Bagian yang selalu menghadapi apapun. Ada baiknya memandang diriku seperti itu lagi. Aku tidak pernah meragukan keteguhanku, kemampuanku menghadapi kesulitan, sebelum kejadian mengerikan di kelas biologi kemarin.

Kucium pipinya, dan cepat-cepat menarik kepalaku ketika ia memalingkan wajah ke arahku. Mulutnya memberengut. Dia tersenyum kering.

“Terima kasih, Tanya. Aku butuh mendengar itu.”

Pikirannya menggerutu. “Sama-sama, kukira. Kuharap kau bisa lebih masuk akal, Edward.”

“Maaf, Tanya. Kau tahu kau terlalu baik untukku. Aku hanya... belum menemukan yang kucari.”

“Kalau begitu, jika kau pergi sebelum kita bertemu lagi...Sampai ketemu lagi, Edward.”

“Sampai ketemu lagi.” pada saat mengucapkannya, aku bisa melihatnya. Aku bisa melihat diriku pergi. Punya cukup kekuatan untuk kembali ke tempat yang kuingini. “terima kasih lagi, Tanya.”

Dia bangkit berdiri dengan anggun, kemudian lari pergi, membelah hamparan salju dengan sangat cepat hingga kakinya tidak terbenam pada kelembutannya; ia tidak meninggalkan jejak di salju. Dia tidak menoleh ke belakang. Penolakanku mengganggunya lebih dari yang ia kira. Dia tidak ingin menemuiku lagi sebelum aku pergi.

Mulutku merengut menyesal. Aku tidak suka menyakiti Tanya, meskipun perasaannya tidak dalam, tidak terlalu murni, dan juga bukan sesuatu yang bisa kubalas. Tapi tetap saja itu membuatku kurang gentleman. Kutumpangkan daguku ke lutut dan memandangi bintang lagi, meskipun tiba-tiba aku tidak sabar untuk pulang. Aku tahu Alice pasti melihatku datang, dan segera memberitahu yang lain. Ini akan membuat mereka gembira—Carlisle dan Esme terutama. Tapi kupandangi bintang-bintang itu lebih lama, coba melihat melampaui wajah di benakku. Diantara diriku dan kerlip di langit, sepasang mata coklat-muda yang membingungkan itu menatapku, kelihatan bertanya-tanya apa arti keputusan ini baginya. Tentu saja, aku tidak tahu pasti apa arti tatapan misteriusnya. Bahkan dalam bayanganku, aku tidak dapat mendengar pikirannya.

Mata Bella Swan terus bertanya-tanya, tetap menghalangi bintang. Dengan helaan berat aku menyerah, kemudian berdiri. Jika berlari, aku akan tiba di mobil Carlisle kurang dari satu jam...

Dalam ketergesaan menemui keluargaku—dan keinginan menjadi seorang Edward yang menghadapi apapun—aku berlari kencang melintasi padang salju dibawah temaram bintang, tanpa meninggalkan jejak.

“Semua akan baik-baik saja,” Alice menarik napas. Tatapannya kosong, tangan Jasper memegang sikunya, menuntun dia saat rombongan kami berjalan rapat melintasi kafetaria.

Rosalie dan Emmet memimpin di depan. Emmet terlihat konyol dengan gaya bodyguardnya seakan sedang di daerah musuh. Rose terlihat khawatir juga, tapi lebih pada kesal.

“Tentu saja iya.” aku menggerutu. Kelakukan mereka menggelikan. Jika tidak yakin bisa mengatasi, aku akan tinggal di rumah.

Perubahan mendadak dari pagi yang normal, bahkan menyenangkan—tadi malam turun salju, dan Emmet serta Jasper tidak terlalu memanfaatkan lamunanku untuk membombardirku dengan bola salju; ketika bosan dengan keacuhanku, mereka saling menyerang sendiri—kewaspadaan berlebihan ini terlihat lucu jika saja tidak menjengkelkan.

“Dia belum datang, tapi dari arahnya nanti...ia tidak akan melawan angin jika kita duduk di tempat biasa.”

“Tentu saja kita akan duduk di tempat biasa. Hentikan, Alice. Kau membuatku kesal. Aku baik-baik saja.”

Dia mengerjap saat Jasper menuntun duduk. Matanya kembali fokus.

“Hmm,” gumamnya, terkejut. “Sepertinya kau betul.”

“Tentu saja iya.” aku memberengut.

Aku tidak suka jadi pusat kerisauan. Tiba-tiba aku bersimpati pada Jasper, teringat bagaimana selama ini kami sangat protektif. Dia bertemu pandang denganku, dan menyeringai.

Mengganggu, bukan?

Aku mendesis padanya.

Apa baru minggu lalu ruangan ini terlihat sangat membosankan? Sehingga rasanya hampir seperti tidur, koma, saat berada disini? Hari ini syarafku tegang. Inderaku waspada penuh; kupantau setiap suara, setiap penglihatan, setiap gerakan udara yang menyentuh kulitku, setiap pikiran. Terutama pikiran. Hanya satu indra yang kumatikan, tak ingin kupakai. Penciuman, tentu saja. Aku tidak bernapas.

Aku mengharapkan nama keluarga Cullen lebih sering disebut di pikiran-pikiran yang kulewati. Seharian aku menunggu, mencari apapun yang diceritakan si anak baru Bella Swan. Coba melihat gosip barunya. Tapi tidak ada apa-apa. Tidak ada yang menyadari kehadiran lima vampir di kafetaria, sama seperti sebelum anak perempuan itu datang. Beberapa manusia masih memikirkan gadis itu, masih dengan pikiran yang sama dengan minggu lalu.

Bukannya bosan, aku malah terkesima. Apa dia tidak mengatakan apapun tentang diriku? Mustahil dia tidak menyadari tatapan gelap-ku yang mengancam. Aku melihatnya bereaksi. Sudah pasti aku membuatnya takut. Aku cukup yakin ia akan cerita ke seseorang, mungkin sedikit dibumbui agar lebih baik. Menambah tanda-tanda ancaman yang lain.

Kemudian, ia juga dengar aku minta pindah kelas biologi. Dia pasti menebak, setelah melihat ekspresiku, bahwa dia penyebabnya. Anak perempuan normal pasti akan bertanya kemana-mana, membandingkan pengalaman, mencari kesamaan yang dapat menjelaskan sikapku hingga dia tidak merasa sendirian. Manusia cenderung ingin bersikap normal, diterima. Membaur dengan lingkungannya, seperti sekawanan domba. Kebutuhan seperti itu biasanya kuat pada masa-masa remaja. Tidak terkecuali pada Gadis itu tentunya.
Tapi tidak satupun memperhatikan kami, di meja kami biasanya. Bella pasti sangat pemalu, jika sampai tidak cerita ke siapapun. Barangkali pada ayahnya, mungkin itu orang terdekatnya...meskipun tampaknya tidak begitu, mengingat dia tidak menghabiskan hidupnya bersama ayahnya sebelum ini. Kemungkinan ia lebih dekat dengan ibunya. Tetap saja, aku mesti berpapasan dengan Chief Swan secepatnya dan mendengar pikirannya.

“Ada yang baru?” tanya Jasper.

“Tidak ada. Dia...pasti tidak cerita apa-apa.”

Semua menaikan alis kaget.

“Mungkin kau tidak semengerikan yang kau kira,” Emmet terkekeh, “Berani taruhan aku bisa lebih menakuti dia daripada itu.”

Aku mendelik.

“Sudah tahu kenapa...?” Dia masih penasaran dengan kesunyian benak gadis itu.

“Kita sudah membahas itu. Aku tidak tahu.”

“Dia akan masuk.” Alice berbisik. Badanku kaku. “Coba bersikap seperti manusia.”

“Manusia, ya?” tanya Emmet.

Dia mengangkat tinju kanannya, membalik telapak tangannya hingga memperlihatkan bola salju yang ia sembunyikan di genggamannya. Tentu saja tidak meleleh. Dia meremas hingga mengeras menjadi bongkahan es. Matanya mengincar Jasper, tapi aku tahu kemana pikirannya. Ke Alice, tentu saja. Ketika tiba-tiba esnya meluncur ke Alice, dia menepis santai dengan kibasan jari. Bongkahan es itu terlempar melintasi ruangan, terlalu cepat untuk diikuti mata manusia, lalu menghantam tembok hingga berhamburan. Temboknya rengkah.
Orang-orang disekitarnya memeloti pecahan es yang berserakan di lantai, saling lirik mencari biang onarnya. Mereka tidak mencari terlalu jauh. Tidak ada yang menoleh kesini.

“Sangat manusia, Emmet.” Rosalie menegur mesra. “Kenapa tidak sekalian kau tinju temboknya hingga runtuh?”

“Terlihat lebih impresif jika kau yang melakukannya, sayang.”

Aku pura-pura memperhatikan, tersenyum kecil seakan menikmati gurauan mereka. Aku berusaha tidak melihat ke gadis itu. Tapi kesanalah pendengaranku sepenuhnya. Aku bisa mendengar ketidaksabaran Jessica pada si murid baru, yang sepertinya sedang melamun, berdiri kaku di antrian. Kulihat, lewat pikiran Jessica, pipi Bella Swan bersemu merah muda oleh darah. Aku menarik napas pendek, siap-siap menahan napas jika aromanya sampai ke dekatku.

Mike Newton bersama dua gadis itu. Aku mendegar dua suaranya, pikiran dan verbal, ketika bertanya ke Jessica ada apa dengan gadis itu. Aku tidak suka dengan jalan pikirannya, yang merasa teracuhkan oleh lamunan si gadis.

“Tidak apa-apa.” Bella menjawab dengan suara lirih, sangat jernih. Kedengarannya seperti dering bel diantara dengung samar di seantero kafetaria. Tapi itu lebih karena aku sedang menyimaknya dengan keras.

“Hari ini aku minum soda saja,” dia melanjutkan sembari maju mengikuti antrian.

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik. Dia sedang memandangi lantai, berangsur darah menghilang dari wajahnya. Aku cepat-cepat membuang muka, ke Emmet, yang tertawa melihat seringai panik di wajahku.

Kau terlihat sakit, bro.

Aku mengatur mimikku agar terlihat santai.

Di telingaku Jessica berteriak heran dengan selera makan gadis itu. “Kau tidak lapar?”

“Sebenarnya, aku merasa sedikit tidak enak badan.” suaranya memelan, tapi masih sangat jelas.

Kenapa itu menggangguku, rasa prihatin yang tiba-tiba muncul dari pikiran Mike Newton? Memang kenapa jika pikirannya terlalu protektif? Bukan urusanku jika Mike Newton bersikap berlebihan ke dia. Mungkin seperti itu juga sikap yang lain. Bukankah minggu lalu, secara naluri, aku juga ingin melindungi dia? Sebelum ingin membunuhnya...

Tapi apa gadis itu sakit?

Sulit menilainya—dia terlihat sangat lembut dengan kulitnya yang jernih menerawang... kemudian kusadari aku ikut khawatir, sama seperti anak tolol itu, dan kupaksa untuk tidak memikirkan kesehatannya. Bagaimanapun juga, aku tidak suka memantau dia lewat pikiran Mike. Aku pindah ke Jessica, memperhatikan ketiganya memilih meja. Untung mereka duduk di tempat biasa, di salah satu meja terdepan. Tidak melawan angin, seperti janji Alice.

Alice menyikutku. Dia akan melihat kesini, bersikap manusia. Aku mengatupkan gigi rapat-rapat dibalik seringai senyumku.

“Tenang, Edward.” sindir Emmet. “Terus terang. Paling ujung-ujungnya kau membunuh satu orang. Dunia tidak akan berakhir.”

“Tunggu saja,” gerutuku.

Emmet tertawa. “Kau mesti belajar melupakan sesuatu. Seperti diriku. Keabadian adalah waktu yang panjang untuk menyesali kesalahan.”

Seketika itu juga, Alice melempar es yang ia sembunyikan ke muka Emmet. Dia mengerjap, kaget, dan menyeringai waspada.

“Kau yang mulai duluan,” Emmet mencondongkan tubuh ke seberang meja lalu mengibaskan rambutnya yang mengerak beku. Air beterbangan, setengah cair setengah beku.

“Aduh!” keluh Rose. Dia dan Alice menyingkir dari semburan hujan Emmet. Alice tertawa, dan kami semua kembali menikmati canda ini. Aku bisa melihat di pikiran Alice bagaimana ia mengarsiteki momen sempurna ini. Dan aku tahu sang gadis itu— aku mesti berhenti berpikiran begitu, seakan dia satu-satunya perempuan di dunia—bahwa Bella sedang memperhatikan kami tertawa dan bercanda, terlihat bahagia dan normal, seideal
lukisan Norman Rockwell.

Alice terus tertawa, dan mengangkat nampannya sebagai perisai. Sang gadis—Bella— pasti masih menonton.
...memandangi keluarga Cullen lagi, seseorang membatin, menarik perhatianku. Otomatis aku menoleh kearah panggilan yang tak disengaja itu, segera mengenali suaranya sebelum pandanganku sampai—aku sering mendengarnya hari ini. Tapi mataku sedikit melewati Jessica, dan tertumbuk pada tatapan dalam gadis itu. Dia cepat-cepat menunduk, bersembunyi dibalik rambutnya.

Apa yang dia pikirkan? Rasa frustasi ini makin lama makin menjadi, bukanya menghilang. Aku mencoba—tidak terlalu yakin karena belum pernah melakukanya—menyelidiki dengan pikiranku pada kesunyian di sekeliling gadis itu. Pendengaran ekstraku selalu muncul alami, tanpa diminta; aku tidak pernah mengupayakannya. Tapi aku berkonsentrasi sekarang, coba menembus penghalang apapun disekelilingnya.
Tidak ada apa-apa selain hening.

Ada apa sih dengan Bella? Batin Jessica, sejalan dengan frustasiku.

“Edward Cullen menatapmu,” dia berbisik di telinga si Swan, sambil cekikikan. Tidak ada nada sinis atau cemburu. Jessica kelihatannya pandai sok bersahabat. Aku mendengarkan, terlalu tertarik, pada responnya.

“Dia tidak kelihatan marah, iya kan?” dia balik berbisik.

Jadi dia menyadari reaksi liarku kemarin. Tentu saja begitu. Pertanyaan itu membingungkan Jessica. Aku melihat wajahku di benaknya ketika ia mengecek ekspresiku, tapi aku tidak menatapnya. Aku masih berkonsentrasi pada gadis itu, coba mendengar sesuatu. Hal itu kelihatannya tidak membantu sema sekali.

“Tidak.” jawab Jess, dan aku tahu dia berharap bisa berkata iya—bagaimana tatapanku sangat mengganggu pikiran dia—meskipun tidak ada tanda-tanda hal itu di suaranya.

“Apakah seharusnya dia marah?”

“Sepertinya dia tidak suka padaku,” gadis itu kembali berbisik, menelungkupkan kepala di tangan seakan tiba-tiba letih.

Aku coba memahami gerakannya, tapi cuma bisa menebak. Mungkin dia memang letih.

“Keluarga Cullen tidak menyukai siapapun,” Jessica meyakinkan dia. “Well, mereka memang tidak memedulikan siapa-siapa.” mereka selalu begitu. Pikirannya menggerutu.

“Tapi dia masih memandangimu.”

“Sudah jangan dilihat lagi,” gadis itu mendesis kesal, mengangkat kepalanya untuk memastikan Jessica mematuhinya. Jessica terkekeh, melakukan apa yang diminta.

Gadis itu tidak mengalihkan pandangan dari mejanya selama sisa istirahat. Sepertinya—sepertinya tentu saja, aku tidak bisa yakin—hal itu disengaja. Kelihatannya sebetulnya ia ingin melihatku. Badannya menggeser sedikit, dagunya hampir menoleh, tapi kemudian ia tahan, menghela napas panjang, dan menatap ke siapapun di mejanya yang sedang bicara.

Kuacuhkan sebagian besar pikiran di meja itu, karena tidak berkaitan dengan dia. Mike Newton merencanakan perang salju sepulang sekolah, tidak sadar telah turun hujan. Butir-butir halus yang meyalang ke atap telah berubah menjadi rintik. Apa dia tidak mendengar perubahannya? Terdengar nyaring kalau buatku.

Ketika jam istirahat selesai, aku masih tetap duduk. Manusia-manusia itu mulai keluar. Tanpa sadar aku membedakan langkah kakinya dari yang lain, seperti ada yang penting atau aneh dari bunyinya. Benar-benar bodoh.

Keluargaku juga belum beranjak. Mereka menunggu keputusanku. Apa aku akan pergi ke kelas, duduk disamping si gadis, dimana bisa kucium bau darahnya yang bukan main kuatnya itu dan merasakan kehangatan nadinya di kulitku? Apa aku cukup kuat untuk tahan? Atau, cukup satu hari saja?

“Aku...rasa tidak apa-apa,” Alice berkata ragu, “Kau telah memutuskan. Aku pikir kau akan melewati satu jam ini.”

Tapi Alice tahu betul bagaimana sebuah keputusan dapat cepat berubah.

“Kenapa mesti memaksakan diri, Edward?” protes Jasper. Meski berusaha tidak merasa puas melihat ganti aku yang lemah, kedengarannya ia sedikit merasa begitu, hanya sedikit.

“Pulang lah. Jangan buru-buru.”

“Kenapa mesti dibesar-besarkan?” Emmet tidak setuju, “Pilihannya apa dia akan membunuhnya atau tidak. Lebih cepat tahu lebih baik.”

“Aku belum ingin pindah lagi,” Rosalie memprotes. “Aku tidak mau mengulang lagi dari awal. Kita hampir lulus, Emmet. Akhirnya.”

Aku juga tersiksa pada pilihannya. Aku ingin, sangat ingin, menatap kedepan ketimbang lari lagi. Tapi aku juga tidak mau memaksakan diri. Minggu lalu suatu kesalahan bagi Jasper menahan haus terlalu lama; apa ini juga akan menjadi kesalahan sia-sia seperti itu.

Aku tidak mau membuat keluargaku terusir. Mereka tidak akan berterima kasih jika itu sampai terjadi. Tapi aku ingin masuk ke kelas bilogiku. Harus diakui aku ingin melihat wajahnya lagi. Akhirnya, alasan itu yang membuatku mengambil keputusan. Penasaran. Aku marah pada diriku sendiri karena meladeninya. Bukankah aku sudah bertekad untuk tidak membiarkan kesunyian pikiran gadis itu membuatku terlalu penasaran padanya? Tetap saja, disinilah aku, amat terlalu ingin tahu.

Aku ingin tahu apa yang dia pikirkan. Pikirannya tertutup, tapi matanya sangat terbuka. Mungkin aku bisa membacanya lewat situ.

“Tidak, Rose, kupikir betul-betul akan baik-baik saja,” Alice meyakinkan. “Ini...makin tegas. Aku sembilan 93 persen yakin tidak akan ada kejadian buruk jika dia masuk kelas.” dia mengerling penasaran, bertanya-tanya apa yang merubah pikiranku sehingga penglihatannya lebih pasti.

Apa rasa penasaran cukup untuk membuat Bella Swan tetap hidup?

Emmet betul, tampaknya—kenapa tidak cepat-cepat diselesaikan? Akan kuhadapi godaan itu.

“Ayo masuk kelas,” perintahku, beranjak dari meja. Aku menjauh dari mereka tanpa menoleh kebelakang. Bisa kudengar kecemasan Alice, kecaman Jasper, persetujuan Emmet, dan kejengkelan Rosalie membuntutiku.

Aku belum terlambat. Mr. Banner masih sibuk mempersiapkan percobaan hari ini. Gadis itu telah duduk di mejanya—di meja kami. Wajahnya menunduk lagi, sibuk mencoretcoret buku catatannya. Aku memperhatikan yang dia gambar saat mendekat, penasaran pada hal sepele buah pikirannya. Tapi tidak ada maknanya. Hanya gambar lingkaran-lingkaran acak. Barangkali dia tidak memperhatikan bentuknya, tapi sedang memikirkan hal lain?

Aku menarik kursiku sedikit berisik, membiarkan kakinya menggesek lantai; manusia merasa lebih nyaman ketika mendengar bunyi yang mengawali kehadiran seseorang. Aku tahu dia mendengar; dia tidak mendongak, tapi tangannya melewatkan satu lingkaran, membuat gambarnya tidak imbang. Kenapa dia tidak mendongak? Mungkin ia takut. Kali ini aku mesti memberi kesan yang lebih baik. Membuatnya berpikir telah membayangkan yang bukan-bukan sebelumnya.

“Halo,” kataku dengan suara pelan, yang biasanya membuat manusia lebih nyaman, menyunggingkan senyum sopan tanpa memperlihatkan gigi.

Dia mendongak, mata-lebar coklatnya terkejut—hampir bingung—dan penuh tanya. Itu adalah tatapan sama yang menghalangi pandanganku selama satu minggu kemarin. Saat memandang mata-coklat-anehnya yang dalam, aku sadar kebencian itu—kebencian pada gadis ini yang entah bagaimana layak mendapatkannya hanya karena hidup—langsung sirna. Tanpa bernapas, tanpa merasakan aromanya, sulit dibayangkan seseorang serapuh ini pantas dibenci. Pipinya merona, tidak berkata apa-apa.

Aku terus menatap kedalam matanya, mencari dasarnya, dan coba mengacuhkan rona kulitnya yang mengundang. Aku punya cukup persediaan udara untuk bicara seperlunya.

“Namaku Edward Cullen,” sapaku, meskipun aku tahu dia sudah tahu. Itu hanya cara sopan untuk memulai pembicaraan. “Aku belum sempat memperkenalkan diri minggu lalu. Kau pasti Bella Swan.”

Dia terlihat bingung—muncul kerut kecil diantara matanya. Butuh setengah detik lebih lama untuk dia menjawab.

“B-bagaimana kau tahu namaku?” dia balik bertanya, suaranya gugup.

Aku pasti benar-benar menakutinya. Ini membuatku merasa bersalah; dia begitu lemah. Aku tertawa sopan—itu suara yang kutau membuat manusia rileks. Lagi, aku berhat-hati dengan gigiku.

“Oh, kurasa semua orang tahu namamu.” pasti dia baru menyadari dirinya menjadi pusat perhatian di tempat yang membosankan ini. “Seluruh kota telah menantikan kedatanganmu.”

Dia mengerutkan dahi, seakan itu membuatnya tidak senang. Kurasa, bagi orang sepemalu dia, perhatian adalah hal yang tidak mengenakan. Kebanyakan manusia merasa sebaliknya. Kendati tidak mau terlalu menonjol, saat bersamaan mereka mencari perhatian.

“Bukan.” katanya, “Maksudku, kenapa kau memanggilku Bella?”

“Kau mau dipanggil Isabella?” tanyaku heran, bingung kemana arah pertanyaannya.

Aku tidak mengerti. Jelas-jelas dia meralatnya berulang kali. Apa manusia memang serumit ini tanpa bantuan suara mentalnya?

“Tidak, aku lebih suka Bella,” jawabnya, menggerakan kepalanya sedikit. Dari sikapnya—jika aku benar membacanya—dia tersiksa antara malu dan bingung. “Tapi kupikir Charlie—maksudku ayahku—pasti memanggilku Isabella dibelakangku—pasti itulah yang diketahui orang-orang disini.” kulitnya bersemu jadi merah muda.

“Oh,” ujarku konyol, cepat-cepat membuang muka.

Aku baru sadar maksudnya: aku kelepasan bicara—ceroboh. Jika saja tidak menguping pembicaraan orang seharian kemarin, aku akan memanggil dia dengan nama lengkap, seperti yang lainnya. Dia menyadari perbedaan itu. Aku merasa geram. Dia sangat cepat menebak kelalaianku. Cukup tajam, terutama untuk seseorang yang semestinya takut ketika berada didekatku. Tapi aku punya masalah yang lebih besar dari sekedar kecurigaan yang tersembunyi di pikirannya.

Aku kehabisan udara. Jika ingin bicara lagi, aku harus mengambil napas. Akan sulit menghindari percakapan. Sial baginya, semeja denganku berarti menjadi rekan selab-ku, dan kami mesti berpasangan hari ini. Akan terlihat aneh—dan sangat tidak sopan—jika mengacuhkannya selama mengerjakan tugas berdua. Itu akan membuat dia lebih curiga, lebih takut...

Aku menjauh sebisanya tanpa harus menggeser dudukku, menjulurkan kepala kesamping. Aku memberanikan diri, mengunci otot-ototku, dan menghirup cepat dalam-dalam lewat mulut.

Ahh!

Sangat Sakit. Bahkan tanpa mencium baunya, aku bisa merasakan aromanya di lidahku. Kerongkonganku terbakar hebat lagi. Gejolaknya sama kuatnya dengan minggu lalu. Aku mengatupkan gigi rapat-rapat sambil berusaha menguasai diri.

“Mulai.” perintah Mr. Banner.

Dibutuhkan setiap titik pengendalian-diri yang kuperoleh selama tujuh-puluh tahun kerja-keras hanya untuk tersenyum dan menoleh ke gadis itu, yang sedang menunduk memandangi meja.

“Kau duluan, partner?” aku menawarkan.

Dia menatapku. Seketika itu juga ekspresinya berubah kosong, matanya lebar. Apa ada yang ganjil dengan ekspresiku? Apa dia ketakutan lagi? Dia tidak bilang apa-apa.

“Atau aku bisa memulainya kalau kau mau?” aku berkata pelan.

“Tidak.” katanya, dan wajahnya berubah dari putih jadi merah muda lagi. “Aku akan memulainya.”

Aku memilih memperhatikan peralatan yang ada di meja, sebuah mikroskop, sekotak slide, daripada mengawasi darahnya mengalir di balik kulitnya yang jernih. Aku mengambil satu napas cepat lagi, melalui sela gigi, dan menjengit ketika rasanya membuat tenggorokanku perih.

“Profase.” sebutnya setelah pengamatan singkat. Dia sudah akan mengganti slide-nya, meskipun tadi hampir tidak menelitinya.

“Boleh aku melihatnya?” secara reflek—hal yang bodoh, seakan aku satu spesies dengannya—aku menggapai menghentikan tangannya. Selama sedetik, kehangatan kulitnya membakar kulitku. Rasanya seperti tersengat listrik—tentunya jauh lebih panas dari sekedar sembilan-puluh-delapan-koma-enam derajat. Panasnya membakar cepat dari tangan ke lengan. Ia buru-buru menarik tangannya.

“Maaf,” gumamku lewat sela gigi. Aku butuh sesuatu untuk dilihat. Kuambil mikroskopnya dan kuteliti sebentar. Dia benar.

“Profase,” aku setuju.

Aku masih belum siap menoleh ke dia. Bernapas cepat lewat gertak gigi sambil mengabaikan dahaga yang membakar. Aku berkonsentrasi pada satu tugas sederhana, menulis pada lembar kerja, dan kemudian mengganti slide yang baru.

Apa yang dia pikirkan sekarang? Apa rasanya bagi dia, saat menyentuh tanganku? Kulitku pasti sedingin es—menjijikan. Tidak heran dia diam. Aku menatap sekilas slide-nya.

“Anafase,” aku berkata sendiri saat akan menulis.

“Boleh kulihat?” tanyanya.

Aku menatapnya, terkejut karena dia bersungguh-sungguh. Tangannya mengulur ke mikroskop. Dia tidak terlihat takut. Apa dia benar-benar mengira jawabanku salah? Aku tidak bisa menahan senyum ketika melihat wajahnya saat menyodorkan mikroskop ke dia.

Dia melihat ke lensa dengan sangsi, dan langsung kecewa. Sudut mulutnya bergerak turun.

“Slide tiga?” dia meminta, dengan mata masih di mikroskop, tapi mengulurkan tangan.

Aku menaruh slide ketiga ke tangannya, tidak membiarkan kulitku menyentuhnya kali ini. Duduk disampingnya serasa duduk disamping lampu pijar. Tubuhku pelan-pelan menghangat. Dia tidak terlalu lama melihat. “Interfase,” katanya datar—mungkin berusaha terlalu keras agar terdengar seperti itu—kemudian mendorong mikroskopnya ke arahku. Dia tidak menyentuh kertas kerjanya, menungguku yang menulis. Aku meneliti ulang—dia benar lagi.

Kami berhasil selesai dengan cara ini, bicara satu kata bergantian dan tidak bertemu pandang. Kami yang pertama selesai—lainnya tampak kesulitan. Mike Newton sulit berkonsentrasi—dia berusaha mengawasi Bella dan aku.

Aku harap dia tetap tinggal dimanapun dia pergi kemarin, batin Mike, sambil menatapku sebal. Aku tidak tahu para anak cowok kesal padaku. Ini perkembangan baru, sejak kedatangan gadis ini sepertinya. Bahkan lebih menariknya, aku menemukan—dalam kekagetanku—kekesalan serupa pada mereka.

Kulihat lagi gadis itu, terpesona pada besarnya malapetaka, kehebohan, serta kerusakan yang ditimbulkan pada hidupku, tak perduli betapa normal, dan tidak mengancamnya sosok dia bagiku. Itu bukannya aku tidak melihat apa yang Mike lihat. Bisa dibilang dia cukup cantik...dalam cara yang tidak biasa. Lebih baik dari sekedar manis, wajahnya menarik. Tidak cukup simetris—dagunya yang kecil tidak imbang dengan tulang pipinya yang lebar; pewarnaannya ekstrim—kulitnya yang terang dengan rambutnya yang gelap terlihat kontras; dan ada matanya, yang penuh rahasia...

Sepasang mata yang mendadak sepertinya menatapku bosan. Aku menatap balik, coba menerka satu dari segala rahasia dirinya.

“Kau memakai lensa kontak, ya?” dia tiba-tiba bertanya.

Pertanyaan yang aneh. “Tidak.” aku hampir tersenyum pada ide mempertajam penglihatan-ku.

“Oh,” gumamnya. “kupikir ada yang berbeda dengan matamu.”

Mendadak moodku lenyap saat menyadari hari ini bukan cuma aku yang berusaha mengorek keterangan. Aku mengangkat bahu, bahuku kaku, dan berpaling ke depan kelas. Tentu saja ada yang berubah pada mataku. Untuk persiapan hari ini, godaan hari ini, aku menghabiskan sepanjang akhir pekan dengan berburu, memuaskan dahagaku sebanyak mungkin, agak kebanyakan sepertinya. Aku menenggelamkan diriku dengan darah binatang banyak-banyak. Bukannya itu akan banyak berguna jika dibanding aroma menggiurkan yang menguar dari kulitnya. Minggu lalu, mataku hitam karena haus. Sekarang, tubuhku dibanjiri darah, mataku berubah hangat keemasan. Kuning terang akibat usaha berlebihan memuaskan dahaga. Kelepasan bicara lagi. Jika tahu maksudnya, aku akan menjawab iya.

Dua tahun aku di sekolahan ini, dia satu-satunya yang memperhatikanku dengan cukup teliti untuk menyadari perubahan warnah mataku. Yang lainnya, saat terpesona dengan keluargaku, cenderung buru-buru berpaling saat kami balas menatap. Mereka bersembunyi minder, secara naluri mengacuhkan detail sosok kami agar jangan terlalu mengerti. Acuh adalah berkah bagi pikiran manusia.

Kenapa harus gadis ini yang melihat terlalu banyak?

Mr. Banner mendekati meja kami. Dengan lega aku menghirup napas dari udara bersih yang dibawanya sebelum bercampur dengan aroma gadis ini.

“Jadi, Edward,” ujarnya, meneliti jawaban kami, “tidakkah kau pikir Isabella perlu diberi kesempatan menggunakan mikroskop?”

“Bella.” spontan aku meralat. “Sebenarnya dia mengidentifikasi tiga dari lima slide ini.”

Pikiran Mr. Banner berubah skeptis saat menoleh ke sang gadis. “Apa kau pernah melakukan percobaan ini sebelumnya?”

Aku memperhatikan, tertarik, saat dia tersenyum, terlihat sedikit malu

“Tidak dengan akar bawang merah.”

“Whitefish Blastula?” Mr. Banner menyelidik.

“Yeah.”

Ini mengejutkan dia. Percobaan hari ini adalah materi yang dia ambil dari kelas khusus. Dia mengangguk-angguk ke gadis itu. “Apa kau masuk kelas khusus di Phoenix?”

“Ya.”

Ternyata untuk ukuran manusia dia termasuk pintar. Ini tidak mengejutkan.

“Well,” Ucap Mr. Banner, sambil mengerutkan mulutnya. “Kupikir kalian cocok menjadi partner.” dia berputar dan menjauh sambil bergumam pelan, “Agar yang lainnya dapat kesempatan untuk belajar,” Aku ragu gadis itu bisa mendengarnya. Dia kembali menggambar lingkaran.

Dua kali salah dalam satu jam. Sangat memalukan. Meski benar-benar tidak tahu apa yang dia pikirkan—seberapa besar ketakutannya, seberapa besar kecurigaannya—aku harus meninggalkan kesan yang lebih baik.

“Sayang sekali turun salju, ya kan?” kataku, mengulang pembicaraan ringan yang telah kudengar ratusan kali hari ini. Topik sederhana yang membosankan. Tentang cuaca—selalu aman.

Dia menatapku dengan ekspresi ragu yang terlihat jelas di matanya—reaksi tidak wajar untuk ucapanku yang wajar. “Tidak juga.” jawabnya, mengejutkanku lagi.

Aku kembali mengarahkan pembicaraan ke topik sepele. Dia berasal dari kota yang cuacanya hangat—kulitnya menunjukan itu, disamping kejujurannya—dan cuaca dingin pasti membuat dia tidak nyaman. Sentuhan esku pasti membuatnya begitu...

“Kau tidak suka dingin.” aku menebak.

“Atau basah.” dia menambahkan.

“Forks pasti bukan tempat menyenangkan bagimu.” mungkin sebaiknya kau tidak datang kesini, aku ingin menambahkan. Mungkin sebaiknya kau kembali ke asalmu.

Rasanya aku tidak terlalu yakin menginginkan hal itu. Aku akan selalu ingat aroma darahnya—apa ada jaminan aku tidak akan mengikuti dia kesana? Disamping itu, jika ia pergi, pikirannya akan selamanya jadi misteri. Teka teki yang akan terus mengganggu.

“Kau tak tahu bagaimana rasanya.” dia berkata pelan, nadanya dingin.

Jawabannya tidak seperti yang kuharap. Itu membuatku ingin bertanya lagi.

“Lalu kenapa kau datang kesini.” tanyaku, yang segera sadar kedengarannya terlalu ingin tahu, tidak santai seperti percakapan biasa. Tidak sopan, terlalu menyelidik.

“Jawabannya...rumit.”

Mata lebarnya mengerjap, tidak menambahkan apa-apa lagi. Itu membuatku hampir meledak penasaran—rasa penasaran itu membakar sama panasnya dengan dahaga di tenggorokanku. Sebetulnya, aku merasa sedikit lebih mudah untuk bernapas; godaan itu lebih bisa ditahan setelah terbiasa.

“Rasanya aku bisa mengerti.” aku memaksa. Mungkin sikap sopan dapat membuat dia menjawab pertanyaanku selama aku nekat menanyakannnya.

Pandangannya menunduk lagi. Ini membatku tidak sabar. Aku ingin menyentuh dagunya dan mengangkat wajahnya agar bisa membaca matanya. Tapi itu terlalu bodoh—berbahaya—untuk menyentuh kulitnya lagi.
Mendadak ia mendongak. Rasanya lega bisa melihat emosi di matanya lagi. dia bicara cepat, buru-buru.

“Ibuku menikah lagi.”

Ah, ini sangat manusia, mudah dipahami. Kesedihan tampak di matanya dan memunculkan kerut diantara alisnya.

“Itu tidak terdengar terlalu rumit.” kataku. Suaraku halus tanpa perlu dibuat-buat. Kesedihan dia anehnya membuatku merasa tidak berdaya, berharap bisa melakukan sesuatu untuk membuatnya merasa lebih baik. Dorongan yang aneh. “Kapan itu terjadi?”

“September lalu.” dia mengeluh panjang—lebih dari mendesah. Kutahan napasku ketika kehatangatan napasnya menyapu wajahku.

“Dan kau tidak menyukainya.” aku menerka, memancing lebih banyak.

“Tidak, Phil baik.” jawabnya, membetulkan asumsiku. Muncul seberkas senyum di ujung bibirnya yang penuh.

“Terlalu muda barangkali, tapi cukup baik.”

Ini tidak cocok dengan skenario yang kubangun.

“Kenapa kau tidak tinggal bersama mereka?” aku bertanya lagi, suaraku kelewat penasaran. Terdengar terlalu mencampuri. Yang harus kuakui, memang begitu.

“Phil sering bepergian. Dia pemain bola.” berkas senyumnya makin tampak; pilihan karirnya membuat dia kagum.

Aku ikut tersenyum. Aku bukan sedang ingin membuat dia nyaman. Aku hanya ingin membalas senyumanya—untuk memancing lebih banyak.

“Apakah dia terkenal?” aku melihat ke bundelan daftar nama pemain profesional di kepalaku, mengira-ngira Phil yang mana...

“Barangkali tidak. Dia bukan pemain andal.” lagi-lagi tersenyum, “Benar-benar liga kecil. Dia sering berpindah-pindah.”

Daftar pemain di kepalaku langsung ganti, dan tabulasi perkiraan yang baru segera muncul tidak sampai sedetik kemudian. Pada saat bersamaan, aku membayangkan skenario baru.

“Dan ibumu mengirimmu ke sini supaya ia bisa bepergian dengannya.” kataku.

Membuat asumsi kelihatannya lebih mudah untuk memancingnya cerita daripada bertanya. Dan berhasil lagi. Dagunya terangkat, ekspresinya mendadak datar.

“Tidak, dia tidak mengirimku ke sini.” katanya, suaranya berubah tajam. Tebakanku sepertinya menyinggung dia, meskipun aku tidak tahu kenapa. “Aku sendiri yang mau.”

Aku tidak tahu maksudnya, atau alasan dibalik nada bicaranya. Aku benar-benar tidak paham. Jadi aku menyerah. Dia benar-benar tidak masuk akal. Dia tidak seperti kebanyakan manusia. Mungkin bukan hanya keheningan pikiran dan semerbak darahnya yang tidak umum dari dia.

“Aku tak mengerti.” aku mengakui, sebal telah kalah.

“Mula-mula dia tinggal denganku, tapi dia merindukan Phil.” dia menjelaskan pelanpelan, nadanya makin sayu di tiap katanya, “Ini membuatnya tidak bahagia... jadi kuputuskan sudah waktunya menghabiskan waktu yang lebih berkualitas bersama Charlie.”

Kerut tipis diantara matanya makin dalam.

“Tapi sekarang kau tidak bahagia,” gumamku. Aku tidak bisa berhenti menebak keraskeras, berharap mendapat reaksi darinya. Kali ini, ternyata tidak terlalu keliru.

“Terus?” ujarnya, seakan tidak ada lagi yang bisa dipertimbangkan.

Aku menatap matanya, merasa akhirnya berhasil melihat kedalam hatinya. Dalam satu kata itu dia menempatkan dirinya di tempat paling bawah dalam prioritas hidupnya. Tidak seperti manusia lainnya, kebutuhannya sendiri ditempatkan paling dasar.

Dia lebih mementingkan orang lain. Saat melihat hal ini, misteri dibalik pikirannya yang sunyi mulai sedikit terungkap.

“Itu tidak adil.” tanggapku ringan. Aku mengangkat bahu, coba terlihat santai, sambil menyembunyikan keingin tauanku yang makin besar.

Dia tertawa dingin. “Tidakkah ada yang pernah memberitahumu? Hidup tidak adil.”

Aku ingin ikut tertawa, meskipun sama tidak merasa gembira. Aku tahu sedikit tentang hidup yang tidak adil.

“Aku yakin pernah mendengarnya disuatu tempat sebelum ini.”

Dia menatapku balik, terlihat bingung lagi. Matanya mengerjap sesaat, dan kembali menatapku lagi.

“Ya sudah, itu saja.” dia memberitahu.

Tapi aku belum mau menyudahi pembicaraan ini. Dua kerut V diantara matanya, sisa kesenduannya, menggangguku. Aku ingin menghapusnya dengan ujung jariku. Tapi, tentu saja, aku tidak dapat menyentuhnya. Itu sangat tidak aman.

“Kau pandai berpura-pura.” aku berkata pelan, masih mempertimbangkan hipotesa selanjutnya. “Tapi aku berani bertaruh kau lebih menderita daripada yang kau perlihatkan pada orang lain.”

Dia mengerutkan muka, matanya menyipit dan mulutnya mencebik kesamping, lalu ia membuang muka kedepan. Dia tidak suka saat tebakanku benar. Dia bukan martir biasa—ia tidak ingin orang lain tahu penderitaannya.

“Apa aku salah?”

Badannya bergerak gelisah, tapi pura-pura tidak mendengar.

Itu membuatku tersenyum. “Kurasa tidak,”

“Kenapa ini penting buatmu?” tuntutnya, masih membuang muka.

“Pertanyaan yang bagus.” aku akui, lebih pada diriku sendiri daripada menjawabnya.

Ketajamannya lebih baik daripadaku—dia langsung melihat ke inti masalah sementara aku berpusing di pinggiran, menebak asal-asalan. Detail kehidupan manusia seharusnya tidak penting buatku. Suatu kesalahan untuk peduli dengan isi pikirannya. Selain melindungi keluargaku dari kecurigaan, problem manusia tidak penting.

Aku tidak biasa kalah dalam hal intuisi. Aku terlalu mengandalkan pendengaran ekstraku—kelihatannya aku tidak sepeka seperti yang kupikir.

Dia mengeluh sambil masih memandang kesal ke depan kelas. Ekspresi frustasinya terlihat lucu. Semua situasi ini, pembicaraan ini, lucu. Belum pernah ada orang yang berada dalam situasi seberbahaya ini dariku kecuali gadis kecil ini—kapan saja, kalau aku terlena, aku bisa menghirup lewat hidung dan menyerangnya sebelum bisa kucegah—dan dia kesal karena aku belum menjawab pertanyaannya.

“Apa aku mengganggumu.” tanyaku, sambil tersenyum tanpa sebab.

Dia bermaksud mengerling sekilas, tapi tatapannya terperangkap pandanganku.

“Tidak juga.” Dia memberitahu. “Aku lebih kesal pada diriku sendiri. Ekspresiku sangat mudah ditebak—ibuku selalu menyebutku buku yang terbuka.”

Keningnya mengerut, menggerutu.

Aku menatapnya terheran-heran. Alasan dia kesal karena menurutnya aku melihat dirinya terlalu mudah. Sungguh aneh. Aku belum pernah berusaha sekeras ini untuk bisa memahami seseorang selama hidupku—atau lebih tepatnya eksistensiku, hidup bukan istilah yang tepat. Aku tidak bisa disebut hidup.

“Kebalikannya,” bantahku, merasa aneh... khawatir, seakan ada bahaya tersembunyi yang tidak bisa kulihat.

Tiba-tiba aku berada di tubir jurang, gelisah. “Aku malah sulit menebakmu.”

“Kalau begitu kau pasti sangat pintar membaca sifat orang.” dia menebak, membuat asumsinya sendiri, yang lagi-lagi, tepat sasaran.

“Biasanya.” aku mengiyakan.

Aku tersenyum lebar, membiarkan mulutku tertarik kebelakang untuk memperlihatkan kilatan barisan gigi tajam dibaliknya. Itu kelakukan bodoh. Tapi entah kenapa aku sangat ingin memberi peringatan pada gadis itu. Badannya duduk lebih dekat dari sebelumnya, tanpa sadar bergeser selama pembicaraan tadi. Semua isyarat kecil yang biasanya menakuti manusia kelihatannya tidak berlaku pada gadis ini. Kenapa dia tidak juga lari ketakutan dariku dengan dihantui teror mengerikan? Tentunya dia cukup melihat sisi gelapku untuk menyadari bahayanya, sejeli sebagaimana dia kelihatanya.

Aku tidak bisa melihat apa peringatanku menimbulkan efek. Mr Banner baru saja menyuruh semua untuk tenang, dan gadis itu langsung berpaling dariku. Dia terlihat lega karena teralihkan, jadi mungkin secara tidak sadar dia mengerti.

Aku harap dia begitu. Aku menyadari muncul kekaguman dalam diriku, meskipun sudah coba kuusir. Aku
tidak boleh mendapati Bella Swan menarik. Aku tidak akan sanggup menahan diriku. Tapi belum apa-apa aku sudah tidak sabar ingin bicara dengannya. Aku ingin tahu lebih banyak tentang ibunya, kehidupannya sebelum kesini, hubungan dia dengan ayahnya. Semua hal sepele yang akan mengungkap kepribadiannya. Tapi setiap detik yang kuhabiskan bersamanya adalah suatu kesalahan, resiko yang tidak semestinya dia tanggung.

Tidak sadar, tiba-tiba ia mengibas rambutnya tepat pada saat aku mengambil napas. Gelombang pekat aromanya langsung memukul belakang tenggorokanku. Ini sama dengan waktu pertama kali—seperti bola penghancur. Kesakitan akibat api yang membakar dahagaku membuatku pusing. Aku harus mencengkram meja lagi agar tetap duduk. Kali ini aku lebih bisa mengontrolnya. Minimal aku tidak merusak apa-apa. Monster dalam diriku menggeram, tapi tidak menikmati kesakitanku. Dia terikat kencang. Paling tidak untuk saat ini.

Aku berhenti bernapas, dan menjauh sebisanya dari gadis itu. Tidak, aku tidak boleh mendapati dia menarik. Semakin menarik dia bagiku, semakin besar kemungkinan aku akan membunuhnya. Aku sudah membuat dua kesalahan kecil hari ini. Apa aku akan membuat yang ketiga, yang tidak kecil?

Begitu bel berbunyi, aku langsung cepat-cepat keluar—mungkin menghancurkan segala kesan baik yang tadi aku bangun. Lagi, di luar aku menghirup dalam-dalam udara segar yang lembab seakan itu ramuan penyembuh. Aku pergi sejauh mungkin dari gadis itu.

Emmet menunggu di depan kelas Spanyol. Dia melihat ekspresi liarku sekilas.

Bagaimana tadi? Dia membatin khawatir.

“Tidak ada yang mati.” aku bergumam.

Kurasa itu berita baik. Saat aku melihat Alice kabur dari kelas, kukira...

Dalam perjalanan masuk kelas, aku melihat ingatannya barusan, melihat keluar lewat pintu yang terbuka dari kelas sebelumnya: Alice berjalan panik dengan wajah kosong melintasi lapangan menuju gedung kelas biologi. Tadi ia ingin ikut mengejar, tapi kemudian memutuskan untuk tinggal. Jika Alice butuh bantuan, ia akan bilang... Aku menutup mataku ngeri sekaligus jijik saat tiba di kursi.

“Aku tidak sadar tadi itu segitu dekat. Tadi aku tidak berniat akan... aku tidak tahu seburuk itu,” bisikku.
Memang tidak. Dia meyakinkan aku. Tidak ada yang mati, iya kan?

“Iya.” desisku lewat sela gigi. “Kali ini.”

Mungkin lain kali akan lebih mudah.

“Tentu.”

Atau, mungkin kau akan membunuhnya. Dia mengangkat bahu. Kau bukan orang pertama yang mengacau. Tidak akan ada yang menuduhmu teledor. Kadang memang ada orang yang baunya terlalu nikmat. Aku kagum kau bisa menahannya selama ini.

“Itu tidak menolong, Emmet.”

Aku menentang penerimaannya pada ide bahwa aku dapat membunuh gadis itu, seakan itu hal yang tidak terelakan. Apa dia yang salah jika baunya menggiurkan? Aku tahu ketika itu terjadi padaku maka...,

Emmet terkenang, membawaku kembali ke lima puluh tahun yang lalu, ke sebuah jalan pedesaan. Waktu itu petang, hampir malam.Seorang wanita paruh baya sedang mengangkat cuciannya dari seutas tali yang membentang diantara dua pohon apel. Aroma apel menggantung kuat di udara—masa panan telah selesai
dan sisa-sisa buah yang rusak berserakan di tanah, dari luka di kulitnya menguar bau kental yang pekat. Aroma segar rumput yang baru dipotong menjadi latar. Harmonis. Emmet sedang menyusuri jalan itu, baru kembali setelah dimintai tolong Rosalie. Langit keunguan diatasnya, jingga di sebalah barat pepohonan. Dia sudah akan membelok di ujung jalan dan tidak ada alasan untuk mengingat sore itu, kecuali kemudian angin malam menerbangkan sprei putih yang baru akan diambil dan mengehembuskan aroma perempuan itu ke wajah Emmet.

“Ah,” aku menggeram pelan. Seakan ingatanku masih belum cukup. Aku tahu. Tidak sampai setengah detik. Aku bahkan tidak berpikir untuk menahannya. Ingatannya jadi terlalu gamblang untuk ditahan. Aku langsung terlonjak, gigiku terkatup sangat rapat hinga bisa memotong besi.

“Esta bien, Edward?” tanya Senora Goff, terkejut dengan gerakan mendadakku. Aku bisa melihat wajahku di pikirannya, dan aku tahu aku terlihat jauh dari baik-baik saja.

“Me perdona,” bisikku, sambil segera menuju pintu.

“Emmet—por favor, puedas tu ayuda a tu hermano?” pinta Senora Goff pada Emmet, tanpa menahanku keluar kelas.

“Tentu saja.” Aku dengar Emmet menjawab. Dan dia sudah mengikutiku. Dia mengikutiku menjauh dari kelas, hingga berhasil mengejar dan memegang pundakku. Aku menampiknya dengan kekuatan yang tidak perlu. Itu akan meremukan tulang lengan manusia, dan telapak tangannya sekaligus.

“Sori, Edward.”

“Aku tahu.” aku menghirup panjang, membersihkan kepala dan paru-paruku.

“Apa seburuk seperti itu?” dia bertanya, berusaha tidak memikirkan aroma dan rasanya saat menanyakan itu, dan tidak terlalu berhasil.

“Lebih parah, Emmet, lebih parah.”

Dia terhenyak.

Mungkin...

“Tidak, tidak akan lebih baik jika aku melupakannya. Kembali ke kelas, Emmet. Aku ingin sendirian.”

Dia meninggalkanku tanpa berkomentar atau berpikir, cepat-cepat menjauh. Ia akan mengatakan ke guru Spanyol kami bahwa aku sakit, atau bolos, atau aku ini seorang vampir berbahaya yang lepas kendali. Apa alasan dia penting? Mungkin aku tidak akan kembali.

Mungkin aku harus pergi. Aku ke mobil lagi, menunggu hingga sekolah usai. Bersembunyi. Lagi. Aku seharusnya menggunakan waktuku untuk mengambil keputusan atau coba memantapkan diri. Tapi, seperti seorang pecandu, aku justru menyapu gumaman-gumaman pikiran yang ada didalam kelas. Suara-suara yang sangat kukenal muncul, tapi aku tidak sedang tertarik mendengarkan penglihatan Alice atau keluhan Rosalie. Cukup mudah menemukan Jessica, tapi gadis itu sedang tidak besamanya. Jadi aku terus mencari. Pikiran

Mike Newton menarik perhatianku, dan akhirnya aku menemukan lokasi gadis itu. Di kelas olahraga bersama Mike Newton. Dia kesal, karena tadi aku bicara dengan gadis itu di kelas biologi. Dia sedang mengejar tanggapannya saat menyinggung topik itu...

Aku belum pernah melihat dia benar-benar bicara dengan siapapun sebelumnya. Tentu saja ia akan melihat Bella menarik. Aku tidak suka caranya menatap Bella. Tapi Bella tidak kelihatan terlalu bersemangat. Apa katanya tadi? 'aku bertanya-tanya apa yang terjadi padanya senin lalu.' Kira-kira seperti itu. Kedengarannya dia tidak takut. Pembicaraannya paling-paling tidak penting...

Dia terus berpikir negatif seperti itu, senang dengan ide bahwa Bella kelihatannya tidak terlalu tertarik dengan pembicaraan denganku tadi. Ini menggangguku lebih dari semestinya, jadi aku berhenti mendengarkan.
Aku menyalakan CD musik rock, menyalakan keras-keras hingga suara-suara lainnya tenggelam. Aku harus berkonsentrasi penuh pada musiknya untuk mencegahku kembali melayari pikiran Mike Newton, untuk mengintai gadis polos itu...

Aku mencuri-curi beberapa kali, setelah hampir satu jam. Bukan mengintai, aku coba meyakinkan diriku. Hanya bersiap-siap. Aku ingin tahu kapan tepatnya ia akan keluar dari ruang olahraga, ketika akan tiba di parkiran. Aku tidak mau kaget.

Saat murid-murid mulai keluar dari ruang olahraga, aku keluar dari mobil, tidak yakin kenapa. Diluar hujan rintik-rintik—kuacuhkan saat mulai membasahi rambutku.

Apa aku ingin dia melihatku ada di sini? Apa aku berharap ia akan datang bicara padaku? Apa yang kulakukan? Meskipun terus meyakinkan diri untuk kembali ke mobil, karena sikap tidak bertanggung jawab ini, aku tetap tidak bergerak. Aku melipat tangan di dada dan bernapas sangat pelan ketika melihat dia berjalan ke arahku. Sudut bibirnya turun. Dia tidak melihatku. Beberapa kali dia melihat ke awan sambil meringis, seakan mereka menyinggung perasaannya.

Aku merasa kecewa ia sampai di mobil sebelum melewatiku. Apa memangnya dia akan bicara denganku? Apa aku akan bicara denganya?

Dia masuk ke dalam truk Chevy merah kusam, si bongsor karatan yang umurnya lebih tua dari ayahnya. Aku memperhatikan dia menyalakan truknya—mesin tua itu menderum lebih keras dari kendaran-kendaran lain di parkiran—dan kemudian menjurkan tangannya kearah penghangat. Udara dingin pasti membuatnya tidak nyaman—dia tidak suka. Dia menyisir rambutnya dengan jari, mengarahkan ke penghangat seakan sedang mengeringkan rambut. Aku membayangkan bagaimana baunya di dalam sana, dan segera membuang jauh-jauh pikiran itu. Dia melihat sekitar sebelum mundur, dan akhirnya melihat ke arahku. Dia menatapku balik hanya setengah detik, dan bisa kulihat di matanya ia terkejut sebelum kemudian berpaling dan memundurkan truknya. Tapi kemudian mendecit berhenti lagi, belakang truknya hampir menyenggol Toyota Corolla milik Erin Teague.

Dia menatap kaca spionnya, mulutnya menganga ngeri. Ketika mobil lain lewat, ia mengecek spionnya dua kali sebelum pelan-pelan keluar dari tempat parkir, sangat hati-hati hingga membuatku geli. Mungkin di pikirannya dia itu berbahaya saat mengendarai truk jompo itu.

Bayangan seorang Bella Swan berbahaya bagi orang lain, tak perduli apapun yang dikendarainya, membuatku tertawa saat dia melintas, memandang lurus kedepan.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah menjadi reader blog ini...
Jika ingin men-share link silakan...
Tidak perlu bertanya kapan episode selanjutnya, kalau memang sudah selesai pasti akan langsung diupdate...
DAN MOHON UNTUK TIDAK MENG-COPYPASTE SINOPSIS DARI BLOG INI...

Sapaan di Tahun 2018

Assalamu'alaikum kawan, apa kabarnya? Buat teman-teman muslim Selamat Menjalankan Ibadah Puasa.