Monday 23 May 2011

Midnight Sun Bagian 10


Teori
“Boleh aku bertanya satu hal lagi?” Bukannya menjawab pertanyaanku, dia justru mau bertanya lagi.

Aku sudah terpojok, cemas menunggu yang terburuk. Namun, aku cukup tergoda juga untuk bisa memperlama situasi ini; dengan Bella bersamaku, atas kemauannya sendiri. Aku mendesah atas dilema ini, kemudian mengiyakan, “Satu saja.”

“Well...” dia ragu sejenak, seperti sedang mempertimbangkan pertanyaan mana yang mau diungkap. “Katamu kau tahu aku tidak masuk ke toko buku itu, dan aku pergi ke selatan. Aku hanya bertanya-tanya, bagaimana kau mengetahuinya.”

Aku menatap ke luar jendela. Ini dia, satu pertanyaan lagi yang akan mengungkap tidak satupun darinya, tapi terlalu banyak dariku.

“Kupikir kita telah melewati tahap pura-pura,” tukasnya dengan nada kecewa.

Betapa ironis. Dengan mudah ia bisa mengelak tanpa perlu bersusah payah.

Well, dia mau aku bicara apa adanya. Bagaimanapun juga, pembicaraan ini tidak akan berakhir dengan baik.

“Baiklah kalau begitu,” ujarku akhirnya. “Aku mengikuti aroma tubuhmu.”

Aku ingin melihat wajahnya, tapi terlalu takut dengan apa yang akan kulihat. Aku hanya mendengarkan napasnya, yang makin cepat lalu kembali teratur.

Setelah beberapa saat, dia sudah bicara lagi. Suaranya jauh lebih tenang dari yang kuharapkan, “kau belum menjawab satu pertanyaan yang tadi...” .

Aku menoleh ke arahnya sambil mengerutkan dahi. Dia juga sedang mengulur-ulur waktu.

“Yang mana?”

“Bagaimana caranya—membaca pikiran?” Dia mengulang pertanyaan di resotran tadi.

“Bisakah kau membaca pikiran siapa saja, di mana saja? Bagaimana kau melakukannya? Apakah keluargamu yang lain bisa...?” Dia berhenti, tersipu lagi.

“Itu lebih dari satu pertanyaan.”

Dia hanya menatapku, menunggu jawabannya. Sudahlah, kenapa tidak sekalian saja kuceritakan? Toh dia sudah bisa menebak sebagian ceritanya. Lagi pula ini topik yang jauh lebih mudah ketimbang perkara besarnya.

“Tidak, hanya aku yang bisa. Dan aku tak bisa mendengar siapa saja, di mana saja. Aku harus cukup dekat dengan orang itu. Semakin aku mengenal suara seseorang, meski jauh pun aku bisa mendengar mereka. Tapi tetap saja, tak lebih dari beberapa mil.”

Aku coba mencari cara untuk menggambarkannya supaya dia bisa mengerti. Sebuah analogi yang bisa membantu. “Kurang lebih seperti berada di ruangan besar penuh orang, semua bicara serentak. Hanya suara senandung—suara-suara dengungan di latar belakang. Setelah fokus pada satu suara, barulah apa yang mereka pikirkan menjadi jelas. Kebanyakan aku mendengarkan semuanya—dan itu bisa sangat mengganggu. Kemudian lebih mudah untuk terlihat normal,”—aku meringis—“ketika aku sedang tidak sengaja menjawab isi pikiran seseorang dan bukannya apa yang dikatakannya.”

“Menurutmu kenapa kau tidak bisa mendengarku?” Dia bertanya-tanya.

Aku memberinya kebenaran dan analogi lain, “Aku tidak tahu. Satu-satunya dugaanku, mungkin jalan pikiranmu berbeda dengan yang lainnya. Dengan kata lain, misalnya pikiranmu ada di gelombang AM, sementara aku hanya bisa menangkap gelombang FM.”

Aku sadar dia pasti tidak akan suka analogi itu. Dan aku tersenyum membayangkannya. Dia tidak akan mengecewakan tebakanku.

“Pikiranku tidak berjalan dengan benar?” protesnya dengan suara tinggi. “Maksudmu aku aneh?”

Ah, ironi lagi.

“Akulah yang mendengar suara-suara dalam pikiranku, tapi justru kau yang khawatir dirimu aneh.” Aku tertawa. Dia mengerti hal yang kecil-kecil, namun terbalik memahami gambaran besarnya. Selalu saja instingnya keliru...

Dia menggigit bibirnya, kerut diantara matanya semakin dalam.

“Jangan khawatir,” aku meyakinkan. “Itu cuma teori...” Dan ada teori lain yang lebih penting untuk didiskusikan. Teorinya dia. Dan aku tidak sabar ingin cepat-cepat diselesaikan. Makin mengulur-ulur waktu justru membuat makin tersiksa.

“Yang mengingatkan aku, sekarang giliranmu,” ujarku dengan perasaan ambigu, antara was-was dengan enggan.

Dia mengambil napas dalam-dalam, masih sambil menggigit bibir—aku khawatir dia akan melukai dirinya sendiri. Dia menatap kedalam mataku, wajahnya gelish.

“Bukankah sekarang kita sudah melewati tahap mengelak?” desakku halus.

Dia menunduk, bergulat dengan pikirannya. Tiba-tiba, dia mengejang dan matanya membalalak ngeri. Untuk pertama kali, ekspresi wajahnya ketakutan.

Napasnya tertahan. “Gila!”

Aku kalang-kabut. Apa yang dia lihat? Bagaimana aku menakutinya? Kemudian dia berteriak panik, “Pelankan mobilnya!”

“Kenapa?” aku sama sekali tidak mengerti.

“Kau melaju seratus mil per jam!” jeritnya padaku. Dia melihat keluar jendela dengan tatapan ngeri.

Hal sepele begini, cuma karena ngebut, membuat dia teriak ketakutan? Aku memutar bola mataku. “Tenang, Bella.”

“Apa kau mencoba membunuh kita berdua?” sergahnya masih dengan suara tinggi dan tajam.

“Kita tidak akan kenapa-kenapa.”

Dia menghirup napas dalam-dalam, kemudian pelan-pelan bicara dengan lebih tenang.

“Kenapa, kau terburu-buru seperti ini?”

“Aku selalu mengemudi seperti ini.”

Aku bertemu pandangan dengannya, dan terhibur oleh ekspresi syok dia.

“Jangan alihkan pandanganmu dari jalan!” teriaknya lagi.

“Aku belum pernah kenapa-kenapa, Bella—aku bahkan belum pernah ditilang.” Aku tersenyum lebar dan menunjuk keningku. Itu jadi lebih menggelikan—bisa melucu tentang sesuatu yang rahasia dan ganjil dengan Bella. “Radar pendeteksi alami,” kataku.

“Sangat lucu,” sindirnya dengan nada takut daripada marah. “Charlie polisi, kau tidak lupa, kan? Aku dibesarkan untuk mematuhi aturan lalu lintas. Lagi pula, kalau kau menerjang pohon dan membuat kita berdua cedera, barangkali kau masih bisa selamat.”

“Barangkali,” kataku mengiyakan dan tertawa sebentar. Ya, nasib kamu berdua akan sedikit berbeda jika terjadi apa-apa. Wajar dia takut, meski dengan kelihaianku mengemudi...

“Tapi kau tidak.”

Sambil menghela napas aku menurunkan kecepatan. “Puas?”

Dia mengamati spedometernya. “Hampir.”

Apa ini masih terlalu cepat? “Aku tidak suka mengemudi pelan-pelan,” gumamku, tapi membiarkan jarumnya turun beberapa garis lagi.

“Kau bilang ini pelan?” protesnya.

“Sudah cukup mengomentari cara mengemudiku,” kataku tidak sabar. Sudah berapa kali dia mengelak pertanyaanku? Tiga kali? Empat? Apa spekulasi dia semanakutkan itu? Aku harus tahu—secepatnya. “Aku masih menantikan teori terakhirmu.”

Dia menggigit bibirnya lagi, ekspresinya berubah waswas.

“Aku tidak bakal tertawa.” Suaraku melunak. Aku tidak ingin dia jadi tertekan. Kuharap alasan dia enggan bicara hanya karena malu.

“Aku lebih khawatir kau bakal marah padaku,” bisiknya.

Kupaksakan suaraku untuk tetap tenang. “Seburuk itukah?”

“Kurang-lebih, ya.”

Dia menunduk, menolak menatap mataku. Beberapa detik telah lewat.

“Katakan saja.”

Suaranya sangat pelan. “Aku tak tahu bagaimana memulainya.”

“Kenapa kau tidak mulai dari awal...” Aku ingat ucapannya saat di restoran tadi.

“Katamu kesimpulanmu tidak muncul begitu saja.”

“Tidak.” Dia kembali diam lagi.

Aku mengira-ngira sesuatu yang mungkin menginspirasi dia. “Apa yang memicunya—buku? Film?” Aku mestinya mengecek koleksi bukunya. Aku tidak menyangka jika novelnya Bram Stroker atau Annie Rice ada diantara tumpukan buku-buku dia...

“Tidak, semuanya berawal hari sabtu, di pantai.”

Ini lebih mengejutkan lagi. Gosip tentang kami belum pernah menyimpang seaneh itu—atau setepat itu. Apa ada rumor baru yang kulewatkan? Bella melirik dan melihat kekagetan di wajahku.

“Aku bertemu teman lama keluargaku—Jacob Black.” Dia melanjutkan. “Ayahnya dan Charlie telah berteman sejak aku masih bayi.”

Jacob Black—nama itu asing, namun mengingatkan pada sesuatu... pada suatu masa jauh ke belakang... Aku menatap keluar, mencari-cari dalam ingatanku, berusaha menemukan hubungannya.

“Ayahnya salah satu tetua suku Quileute,” tambahnya.

Jacob Black. Ephraim Black. Keturunannya, tidak salah lagi. Ini benar-benar buruk. Bella tahu yang sebenarnya. Mendadak pikiranku jadi tidak karuan, pada saat bersamaan, jalanan di depan membelok. Badanku kaku karena merana—mematung, tidak bergerak, kecuali sedikit gerakan otomatis untuk membelokkan kemudi. Bella tahu yang sebenarnya. Tapi..., jika dia sudah tahu sejak kemarin sabtu..., berarti semalaman ini dia sudah tahu... Dan tetap saja...

“Kami jalan-jalan,” dia melanjutkan. “Dan dia menceritakan beberapa legenda tua—kurasa dia mencoba menakut-nakuitiku. Dia menceritakan salah satunya...”

Dia berhenti sebentar, tapi sudah tidak ada gunanya ragu-ragu; aku sudah tahu apa yang akan ia katakan. Satu-satunya misteri yang tersisa adalah mengapa ia masih disini denganku?

“Lanjutkan...”

Dia menghembuskan napas, ucapannya lebih sekedar bisikan, “tentang vampir.”

Aku berjengit mendengarnya, namun segera bisa menguasai diri. Entah bagaimana, itu jauh lebih parah ketimbang ketimbang tahu kalau dia tahu; mendengar dia mengucapkan kata itu.

“Dan kau langsung teringat padaku?”

“Tidak. Dia... menyebut keluargamu.”

Sungguh ironis, justru keturunan Ephraim sendiri lah yang telah melanggar sumpah yang ia buat. Cucunya sendiri, atau barangkali cicitnya. Berapa tahun sudah berselang? Tujuh puluh tahun? Seharusnya aku sadar bahwa bukan para tetua, yang percaya dengan legenda itu, yang mesti diwaspadai. Tapi, tentu saja, adalah generasi mudanya—yang telah diperingatkan, tapi dipikirnya itu cuma kisah takhayul yang bisa ditertawakan. Dan disitulah letak bahaya yang sebenarnya. Itu artinya sekarang aku bebas untuk membantai suku kecil itu, dan aku tidak keberatan. Ephraim dan para pelindungnya telah lama mati...

“Dia hanya mengaggap itu takhayul yang konyol,” ujar Bella tiba-tiba. Suaranya kini jadi was-was. “Dia tidak bermaksud supaya aku berpikir yang bukan-bukan.”

Lewat sudut mataku, aku melihat dia meremas-remas tangannya gelisah.

“Itu salahku,” ucapnya kemudian setelah diam sejenak. Ia tertunduk malu. “Aku yang memaksanya bercerita padaku.”

“Kenapa?” Sekarang tidak sulit untuk menjaga suaraku tetap tenang. Yang terburuk telah lewat. Selama kami berdua terus bicara tentang asal-usul teori dia, maka tidak perlu membahas bagaimana kelanjutannya.

“Lauren mengatakan sesuatu tentang kau—dia mencoba memprovokasiku.” Wajahnya merengut saat mengingatnya. Pikiranku sedikit teralihkan, membayangkan bagaimana Bella bisa terprovokasi oleh gunjingan tentang diriku... “Dan seorang cowok yang lebih tua dari suku itu bilang kalau keluargamu tidak datang ke reservasi. Hanya saja, sepertinya ada maksud lain di balik perkataannya. Jadi aku memancing Jacob pergi berduaan denganku, untuk memancingnya agar mau cerita.”

Kepalanya tertunduk lebih dalam lagi, ekspresinya terlihat...bersalah. Aku berpaling dan tergelak. Dia merasa bersalah? Apa coba yang telah dia lakukan sampai dia merasa tercela sedemikian rupa?

“Memancing bagaimana?”

“Aku mencoba merayunya—dan ternyata hasilnya lebih baik dari yang kuduga.”

Suaranya berubah ragu saat mengingat kesuksesannya itu. Aku bisa membayangkan—mengingat daya tariknya di mata para lelaki, dan ketidaksadaran dia atas hal itu—jadi betapa luas biasanya dia ketika mencoba untuk mengeluarkan pesonanya. Aku jadi merasa kasihan pada bocah lugu yang telah menjadi korban daya pikatnya yang luar biasa itu.

“Kalau saja aku melihatnya...” Dan aku tertawa membayangkannya. Andai saja aku bisa mendengar reaksi bocah itu, menyaksikan penaklukannya secara langsung. “Dan kau menuduhku membuat orang terpesona—Jacob Black yang malang.”

Ternyata aku tidak terlalu marah kepada sumber kebocoran rahasiaku, tidak seperti yang kukira akan kurasakan. Bocah itu tidak tahu apa-apa. Dan bagaimana mungkin ada pria yang bisa menolak kemauan gadis ini? Aku justru bersimpati pada bocah itu, Bella sama sekali tidak tahu bagaimana dampaknya terhadap pikiran Jacob Black yang malang itu. Aku merasakan wajah Bella yang tersipu menghangatkan udara diantara kami. Aku melirik ke arahnya, dia sedang memandang ke luar jendela. Dia tidak bicara lagi.

“Lalu, apa yang kau lakukan?” tanyaku pelan. Waktunya kembali ke cerita horor.

“Aku mencari keterangan di internet.”

Betapa praktisnya. “Dan, apakah hasilnya membuatmu yakin?”

“Tidak,” jawabnya. “Tidak ada yang cocok. Kebanyakan konyol. Kemudian...”

Dia diam lagi. Aku mendengar giginya terkatup rapat.

“Apa?” desakku. Apa yang dia temukan? Apa yang membuat mimpi buruk ini jadi masuk akal buat dia?

Ada jeda sejenak, dan kemudian ia berbisik, “kuputuskan itu tidak penting.”

Syok membekukan pikiranku selama sepersekian detik. Kemudian semuanya jadi jelas. Kenapa tadi ia menyuruh teman-temannya pergi ketimbang pulang bersama mereka. Kenapa ia kembali masuk kedalam mobilku dan bukannya lari ketakutan mencari polisi... Reaksinya selalu salah—selalu sangat salah. Dia menarik bahaya ke arahnya. Dia mengundangnya.

“Itu tidak penting?” Aku hampir menggeram karena marah. Bagaimana caranya aku bisa melindungi seseorang yang sangat...sangat...sangat tidak ingin dilindungi?

“Tidak,” jawabnya dengan suara yang begitu lembut. “Tidak penting bagiku apa pun kau ini.”

Dia sungguh tidak masuk akal.

“Kau tidak peduli kalau aku monster? Kalau aku bukan manusia?”

“Tidak.”

Aku mulai mempertanyakan, apa kondisi psikisnya benar-benar stabil. Barangkali aku bisa mengatur agar ia mendapat perawatan yang terbaik... Carlisle pasti punya koneksi dokter yang terbaik, terapis yang paling andal. Barangkali sesuatu bisa dilakukan untuk menyembuhkan apapun yang salah dari dirinya, apapun itu yang jadi penyebab hingga ia bisa duduk dengan tenang di samping seorang vampir. Aku akan selalu mengawasi selama dia dirawat, seperti cara biasanya, dan mengunjunginya sesering yang dibolehkan...

“Kau marah,” keluhnya. “Seharusnya aku tidak mengatakan apa-apa.”

Kata-katanya itu...seakan dengan menyembunyikan pendapat absurdnya itu akan bisa menolong kerumitan ini.

“Tidak. Lebih baik aku tahu apa yang kau pikirkan—bahkan meskipun pikiranmu itu tidak waras.”

“Jadi aku salah lagi?” Kini nadanya sedikit menantang.

“Bukan itu maksudku!” Gigiku terkatup rapat lagi. “'itu tidak penting'!” ulangku dengan nada pedas.

Dia menahan napas. “Aku benar?”

“Apakah itu penting?” balasku.

“Tidak juga.” Suaranya sudah tenang lagi. “Tapi aku memang penasaran.”

Tidak juga. Itu tidak penting. Dia tidak peduli. Dia tahu aku bukan manusia, seorang monster, dan hal itu tidak penting buatnya. Disamping mencemaskan kewarasannya, aku mulai merasakan sebungkah harapan. Tapi aku segera membuangnya jauh-jauh.

“Apa yang membuatmu penasaran?” Tidak ada lagi rahasia yang tersisa, cuma detail-detail kecil.

“Berapa umurmu?”

Jawabanku sudah otomatis dan mendarah daging, “tujuh belas.”

“Dan sudah berapa lama kau berumur tujuh belas?”

Aku mencoba untuk tidak tersenyum saat mendengar nada protesnya. “Cukup lama.”

“Oke.” Mendadak dia jadi bersemangat. Dia tersenyum padaku. Ketika aku menatap balik, lagi-lagi dengan perasaan cemas dengan kondisi mentalnya, senyumannya justru makin lebar. Aku cuma meringis.

“Jangan tertawa.” Dia mewanti-wanti. “Tapi bagaimana kau bisa keluar di siang hari?”

Bagaimanapun juga aku tertawa. Sepertinya riset dia tidak menemukan sesuatu yang baru. “Mitos.”

“Terbakar matahari?”

“Mitos.”

“Tidur di peti mati?”

“Mitos.”

Tidur sudah bukan lagi jadi bagian hidupku sejak lama—tidak hingga beberapa malam terakhir saat aku mengawasi Bella bermimpi...

“Aku tidak bisa tidur,” gumamku, menjawab pertanyaannya terus terang.

Dia terdiam sejenak.

“Sama sekali?”

“Tidak pernah.” Aku menghela napas.

Kupandangi mata coklatnya yang dalam, dan aku jadi rindu untuk tidur. Bukan untuk melarikan diri dari bosan, seperti sebelumnya, tapi lebih karena untuk bisa bermimpi. Barangkali, jika aku bisa tidur, jika aku bisa bermimpi, maka untuk beberapa saat aku bisa tinggal di dunia dimana aku dan Bella bisa bersama-sama. Dia memimpikan aku. Aku ingin memimpikan dia. Dia menatap balik, ekspresinya keheranan. Aku pun berpaling. Aku tidak mungkin memimpikan dia. Tidak seharusnya dia memimpikan aku.

“Kau belum melontarkan pertanyaan yang paling penting.” Jantungku semakin beku, lebih keras dari biasanya. Dia harus dipaksa untuk memahami. Dia harus menyadari bahaya apa yang sedang ia hadapi. Dia harus kubuat mengerti bahwa semua ini adalah penting—jauh lebih penting dari pertimbangan apapun. Pertimbangan-pertimbangan seperti bahwa aku mencintai dia.

“Yang mana?” tanyanya terkejut dan tidak sadar.

Itu cuma membuat suaraku makin parau. “Kau tidak peduli dengan dengan makananku?”

“Oh, itu.” Dia bicara begitu pelan hingga aku tidak bisa mengartikan intonasinya.

“Ya, itu. Tidakkah kau ingin tahu apakah aku minum darah?”

Dia tersentak mendengar pertanyaanku yang langsung ke sasaran. Akhirnya. Dia mengerti juga.

“Well, Jacob mengatakan sesuatu tentang itu.”

“Apa yang dikatakan Jacob?”

“Dia bilang kau tidak... memburu manusia. Katanya keluargamu seharusnya tidak berbahaya karena kalian hanya memburu binatang.”

“Dia bilang kami tidak berbahaya?” ulangku sinis.

“Tidak juga,” dia membetulkan. “Dia bilang kalian seharusnya tidak berbahaya. Tapi suku Quileute masih tidak menginginkan kehadiran kalan di tanah mereka, untuk berjaga-jaga.”

Aku memandang lurus kedepan. Pikiranku menggeram putus asa. Tenggorokanku terbakar oleh rasa haus yang sangat kukenal.

“Jadi apakah itu benar?” Suaranya setenang seakan sedang membicarakan laporan cuaca. “Tentang tidak memburu manusia?”

“Suku Quileute punya ingatan yang panjang.”

Dia mengangguk sendiri sambil berpikir keras.

“Tapi jangan senang dulu,” kataku cepat-cepat. “Mereka benar untuk tetap menjaga jarak dengan kami. Kami masih berbahaya.”

“Aku tidak mengerti.”

Tentu saja dia tidak mengerti. Bagaimana caranya membuat dia mengerti?

“Kami berusaha,” aku coba menjelaskan pelan-pelan. “Kami biasanya sangat andal dengan apa yang kami lakukan. Tapi kadang kami juga membuat kesalahan. Aku, contohnya, membiarkan diriku berduaan denganmu.”

Aromanya masih sangat tajam di dalam sini. Aku sudah mulai terbiasa, aku hampir bisa mengabaikannya, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa tubuhku masih menginginkan dia untuk alasan yang salah. Liur masih membanjiri mulutku.

“Kau sebut ini kesalahan?” suaranya terdengar sedih. Dan itu meluluhkanku. Dia ingin bersama denganku—terlepas dari segalanya, dia ingin bersama denganku. Harapan kembali mengembang. Dan lagi-lagi kembali kukibas.

“Kesalahan yang sangat berbahaya.” Aku mengatakan sejujur-jujurnya, berharap akhirnya dia bisa mengerti.

Selama beberapa saat dia tidak menanggapi. Bisa kudengar irama napasnya berubah—jadi tidak beraturan, yang anehnya tidak seperti ketakutan.

“Ceritakan lagi,” ujarnya tiba-tiba. Suaranya bergetar sedih.

Aku mengamati baik-baik. Ah, dia terluka. Bagaimana bisa aku membiarkan ini?

“Apa lagi, yang ingn kau ketahui?” Aku mencari-cari cara untuk membuatnya tidak terluka. Dia tidak boleh terluka. Aku tidak boleh membiarkan dia sampai terluka.

“Katakan kenapa kau memburu binatang dan bukan manusia?” Suaranya masih sedih dan putus asa.

Bukankah sudah jelas? Atau, barangkali ini juga tidak penting buat dia.

“Aku tidak ingin menjadi monster,” gumamku.

“Tapi binatang tidak cukup bukan?”

Aku mencari perbandingan lain agar dia bisa mengerti. “Aku tidak yakin tentu saja, tapi aku membandingkannya dengan hidup hanya dengan makan tahu dan susu kedelai; kami menyebut diri kami vegetarian, lelucon di antara kami sendiri. Tidak benar-benar memuaskan lapar kami—atau dahaga tepatnya. Tapi membuat kami cukup kuat untuk bertahan. Hampir sepanjang waktu.” Suaraku merendah; aku merasa malu atas bahaya yang kuakibatkan padanya. Bahaya yang terus saja kubiarkan... “Kadang-kadang lebih sulit dari yang lainnya.”

“Apakah sekarang sangat sulit bagimu?”

Aku menghela napas. Tentu saja dia akan menanyakan pertanyaan yang tidak ingin kujawab. “Ya,” jawabku terus-terang. Kali ini aku bisa menebak respon fisiknya dengan benar: irama napasnya terjaga, detak jantungnya teratur. Aku sudah menduga itu, tapi tetap tidak bisa memahaminya. Kenapa dia tidak takut?

“Tapi kau tidak sedang lapar.” Dia kedengaran yakin.

“Kenapa kau berpikir begitu?”

“Matamu,” ungkapnya begitu saja. “Sudah kubilang aku punya teori. Aku memperhatikan bahwa orang-orang—khususnya cowok—jadi lebih pemarah ketika mereka lapar.”

Aku terkekeh mendengar istilahnya: pemarah. Kedengarannya lebih bersahabat, tapi lagi-lagi tepat sasaran. “Kau ini memang pengamat, ya kan?” Aku kembali tertawa.

Dia sedikit tersenyum. Kerut diantara matanya muncul lagi, sepertinya dia sedang berkonsentrasi pada sesuatu.

“Apakah kau pergi berburu akhir pekan ini, dengan Emmet?” tanyanya setelah tawaku reda. Nada bicaranya yang biasa-biasa saja sungguh menakjubkan, sekaligus membuat frustasi. Bagaimana bisa dia menerimanya begitu saja. Justru aku yang lebih mendekati syok ketimbang dia.

“Ya.” Aku hampir memberitahu sebatas itu saja, namun aku merasakan dorongan yang sama seperti di restoran tadi: Aku ingin dia mengenal diriku. “Aku tidak ingin pergi.” Aku melanjutkan pelan-pelan, “tapi ini penting. Lebih mudah berada di sekitarmu ketika aku tidak sedang haus.”

“Kenapa kau tidak ingin pergi?”

Aku mengambil napas panjang, dan kemudian menoleh, menatap matanya. Kejujuran yang seperti ini sama sulitnya.

“Itu membuatku... khawatir...”—kurasa istilah itu cukup memadai, meski masih belum cukup kuat—“berada jauh darimu. Aku tidak bercanda ketika memintamu untuk tidak jatuh ke laut atau tidak kenapa-kenapa kamis lalu. Sepanjang akhir pekan aku tak bisa berkonsentrasi karena mengkhawatirkanmu. Dan setelah apa yang terjadi malam ini, aku terkejut kau bisa melewati seluruh akhir pekan ini tanpa tergores.” Lalu aku ingat bekas luka di telapak tangannya. “Well, tidak benar-benar tanpa tergores sebetulnya.”

“Apa?”

“Tanganmu...”

Dia menghela napas dan cemberut. “Aku terjatuh.”

“Sudah kuduga.” Aku tak sanggup menahan senyum. “Kurasa, mengingat siapa dirimu, kejadiannya bisa lebih buruk lagi—dan kemungkinan itu menyiksaku selama kepergianku. Tiga hari yang amat panjang. Aku benar-benar membuat Emmet kesal.” Dan sepertinya Emmet sampai sekarang masih kesal, juga seluruh keluargaku. Kecuali Alice...

“Tiga hari?” Suaranya mendadak berubah tajam. “Bukankah kau baru kembali hari ini?”

Aku tidak mengerti kenapa dia jadi kesal. “Tidak, kami kembali hari minggu.”

“Lalu kenapa tak satu pun dari kalian masuk sekolah?”

Kemarahannya membuatku bingung. Kelihatannya dia tidak sadar kalau pertanyaan itu masih ada hubungannya dengan mitos-mitos tadi.

“Well, kau bertanya apakah matahari menyakitiku, dan memang tidak,” jawabku. “Tapi aku tak bisa keluar ketika matahari bersinar—setidaknya, tidak di tempat yang bisa dilihat orang.”

Jawabanku mengalihkan dia dari kekesalannya yang misterius. “Kenapa?” Dia menelengkan kepalanya ke satu sisi.

Aku ragu bisa menemukan analogi yang pas untuk menjelaskan yang satu ini. Jadi aku cuma mengatakan, “kapan-kapan akan kutunjukan padamu.” Kemudian aku jadi bertanya-tanya, apa ini akan jadi janji yang pada akhirnya akan kuingkari. Apakah aku akan melihatnya lagi setelah malam ini? Apa aku cukup mencintai dia namun juga sanggup untuk meninggalkannya?

“Kau kan bisa meneleponku,” ucapnya pelan.

Jalan keluar yang aneh. “Tapi aku tahu kau baik-baik saja,”

“Tapi aku tidak tahu di mana kau berada. Aku—” mendadak ia berhenti, dan memandangi tangannya.

“Apa?”

“Aku tidak suka,” ucapnya malu, kulit di sekitar pipinya menghangat. “Tidak bertemu denganmu. Itu juga membuatku was-was.”

Apa kau puas sekarang? Bentakku pada diriku sendiri. Well, inilah ganjarannya karena sudah berharap. Aku bingung, gembira, ngeri—sebagian besar ngeri—menyadari bagaimana akhirnya angan-anganku mendekati kenyataan. Inilah alasannya kenapa 'tidak penting' jika aku adalah seorang monster. Alasan yang sama persis dengan alasan kenapa segala aturan itu juga tidak penting buatku; kenapa yang benar dan salah jadi kabur, kenapa segala prioritasku hanya terpusat pada gadis ini.

...Bella juga menyukaiku. Aku tahu itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan bagaimana aku mencintai dia. Tapi itu sudah cukup buat dia untuk mengambil resiko dengan duduk disini bersamaku. Untuk melakukannya dengan senang hati.

...Cukup untuk membuatnya merana jika aku melakukan tindakan yang benar dan meninggalkannya. Adakah yang bisa kulakukan yang tidak akan melukainya? Apa saja? Aku seharusnya tetap pergi. Aku seharusnya tidak kembali ke Forks. Aku hanya akan membuatnya menderita.

Pertanyaannya sekarang, apakah itu akan menghentikan keinginanku untuk tetap tinggal? Apakah itu bisa mencegahku untuk menjadikannya lebih buruk lagi? Melihat perasaanku saat ini, merasakan kehangatannya di sampingku... Tidak, tetap tidak bisa. Tidak akan ada yang bisa menghentikanku. Aku tidak akan sanggup untuk pergi. Aku tidak akan sanggup meninggalkan dia.

“Ah.” Aku mengerang tak berdaya. “Ini salah.”

“Memangnya aku bilang apa?” tanyanya cepat-cepat, merasa bersalah.

“Tidakkah kau mengerti, Bella? Tidak masalah bagiku membuat diriku sendiri merana, tapi kalau kau melibatkan dirimu terlalu jauh, itu masalah lain lagi. aku tak mau mendengar kau merasa seperti itu lagi.” Itulah yang sebenarnya, sekaligus kebohongan. Bagian diriku yang paling egois mengawang-awang karena tahu dia juga menginginkan aku seperti aku menginginkan dia. “Ini salah. Ini tidak aman. Aku berbahaya, Bella—kumohon, mengertilah.”

“Tidak.” Bibirnya mencebik merajuk.

Aku berperang dengan diriku sendiri begitu hebatnya—sebagian ingin dia menerimaku apa adanya, sebagian ingin dia mendengar peringatanku dan lari—sehingga kata-kata yang keluar berupa geraman. “Aku serius.”

“Begitu juga aku.” Dia bersikeras. “Sudah kubilang, tidak penting kau itu apa. Sudah terlambat.”

Terlambat?

Dalam ingatanku, dunia begitu muram, gelap dan pucat, saat aku mengawasi bayang-bayang hitam merangkak di pekarangan rumah Bella menuju sosoknya yang tertidur. Tak terelakan dan tak terhentikan. Bayang-bayang itu mencuri rona pada kulitnya, dan menenggelamkan dia kedalam kegelapan.

Terlambat?

Penglihatan Alice muncul di kepalaku, mata merah-darah Bella menatapku datar. Tanpa ekspresi—tapi tidak mungkin dia tidak membenciku atas masa depan itu. Membenciku karena telah merampas segalanya. Merampas hidupnya dan jiwanya. Ini belum terlambat.

“Jangan pernah katakan itu,” desisku.

Dia melihat keluar jendela, dan dia menggigit bibirnya lagi. Tangannya mengeras di pangkuannya. Napasnya tersedak dan tak beraturan.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” Aku harus tahu.

Dia menggeleng tanpa melihat ke arahku. Aku melihat sesuatu berkilau di pipinya, seperti kristal. Perasaanku langsung nyeri. “Kau menangis?” Aku membuatnya menangis. Aku melukainya sedalam itu. Dia menghapus air matanya dengan punggung tangan.

“Tidak,” elaknya dengan suara gemetar.

Instingku yang terpendam dalam mendorongku untuk meraih dia—dalam detik itu aku merasa menjadi lebih manusia dari kapanpun. Tapi kemudian aku ingat bahwa aku...bukan. Dan kuturunkan tanganku.

“Maafkan aku,” sesalku dengan rahangku terkunci. Bagaimana bisa aku mengatakan padanya seberapa menyesalnya aku? Maaf atas segala kesalahan bodoh yang telah kubuat. Maaf atas keegoisanku yang tak beujung. Maaf atas nasibnya yang sial karena untuk pertama kalinya telah menginspirasi aku pada kisah cinta yang tragis ini. Maaf juga atas sesuatu yang diluar konstrolku—bahwa aku telah menjadi monster yang dipilih oleh takdir untuk mengakhiri hidupnya.

Aku mengambil napas dalam-dalam—mengabaikan rasa perih yang diakibatkan aromanya—dan berusaha menguasai diri. Aku ingin mengganti topik, untuk memikirkan sesuatu yang lain. Dan untung bagiku, rasa penasaranku pada gadis ini tidak ada habis-habisnya. Aku selalu punya pertanyaan.

“Aku bertanya-tanya,” kataku kemudian.

“Ya?” Dia berusaha tegar, namun air mata masih menggantung di suaranya.

“Apa yang kau pikirkan di lorong tadi, sebelum aku muncul? Aku tak bisa mengerti ekspresimu—kau tidak terlihat setakut itu, kau seperti sedang berkonsentrasi keras pada sesuatu.” Aku ingat ekspresinya—sambil berusaha melupakan dari mata siapa aku melihatnya—tatapannya penuh tekad.

“Aku sedang mencoba mengingat bagimana cara menghadapi serangan. Kau tahu kan, ilmu bela diri,” jawabnya dengan lebih terkendali. Tapi kemudian nadanya yang tenang tidak berlanjut, nadanya berubah jadi marah, “Aku bermaksud menghancurkan hidungnya hingga melesak ke kepala.”

Kini kemarahannya yang menggemaskan tidak lagi lucu. Aku bisa melihat sosoknya yang rapuh—hanya balutan sutra diatas permukaan kaca—terpojok oleh manusia bengis kekar yang ingin menyakitinya. Amarah mendidih di belakang kepalaku.

“Kau akan melawan mereka?” Aku ingin mengerang. Instingnya mematikan—bagi dirinya sendiri. “Tidakkah kau ingin melarikan diri?”

“Aku sering terjatuh kalau lari,” ucapnya malu-malu.

“Bagaimana kalau berteriak meminta tolong?”

“Aku juga bermaksud melakukannya.”

Aku menggeleng-geleng tidak percaya. Bagaimana caranya dia bisa bertahan hidup sebelum datang ke Forks?

“Kau benar.” Suaraku terdengar masam. “Aku jelas-jelas melawan takdir karena mencoba menjagamu tetap hidup.”

Dia menghela napas, dan memandang keluar jendela. Kemudian ia kembali menatapku.

“Apakah besok kita akan bertemu?” pintanya tiba-tiba.

Karena toh akhirnya akan ke neraka juga, jadi kenapa tidak sekalian saja.

“Ya—ada tugas yang harus dikumpulkan.” Aku tersenyum padanya. Rasanya menyenangkan bisa melakukannya. “Aku akan menunggumu saat makan siang.” Jantungnya berdegup kencang; jantungku yang mati mendadak terasa hangat.

Aku menghentikan mobil di depan rumahnya. Dia tetap tidak bergerak.

“Kau janji akan datang besok?”

“Aku janji.”

Kok bisa-bisanya melakukan sesuatu yang salah tapi terasa semenyenangkan ini? Pasti ada yang keliru. Dia mengangguk puas, dan mulai mencopot jaketku. Aku buru-buru mencegahnya, “kau boleh menyimpannya.” Aku ingin dia memiliki sesuatu dariku. Sebuah kenang-kenangan, seperti tutup botol dalam sakuku... “Kau tidak punya jaket yang bisa kau pakai besok.”

Dia tetap mengembalikannya padaku sambil tersenyum menyesal. “Aku tak mau menjelaskannya pada Charlie.”

Bisa kubayangkan. Aku pun tersenyum. “Oh, benar.”

Dia sudah memegang gagang pintu mobil, tapi berhenti. Dia enggan pergi, sama seperti aku enggan dia pergi. Aku tidak mau meninggalkannya tanpa perlindungan, bahkan hanya sebentar saja... Peter dan Charlotte sedang dalam perjalanan, pasti sudah jauh melewati Seattle. Tapi selalu ada yang lain. Dunia ini bukan tempat yang aman buat manusia, dan buat dia kelihatannya jauh lebih berbahaya lagi.

“Bella?” Dan aku terkejut dengan betapa menyenangkannya rasanya hanya dengan mengucapkan namanya saja.

“Ya?”

“Maukah kau beranji padaku?”

“Ya.” Dia langsung setuju. Tapi kemudian tatapannya menajam, seakan sedang mencari-cari alasan untuk menolak.

“Jangan pergi ke hutan seorang diri.” Aku bertanya-tanya, apakah permintaan itu akan memicu penolakan di matanya.

Dia mengerjap, kaget. “Kenapa?”

Aku menoleh ke kegelapan malam yang tidak bisa dipercaya. Ketiadaan cahaya bukan masalah buat mataku, tapi itu juga berlaku sama buat pemburu lainnya. Itu hanya membutakan manusia.

“Aku tidak selalu yang paling berbahaya di luar sana. Anggap saja begitu.” Dia gemetar, namun cepat menguasai diri, dan bahkan sempat tersenyum ketika mengatakan, “terserah apa katamu.”

Napasnya menyentuh wajahku, begitu manis dan harum. Aku bisa tinggal begini semalaman, tapi dia butuh tidur. Dua keinginan itu kelihatannya sama kuat, dan masih berperang dalam diriku: menginginkan dia versus menginginkan dia aman. Aku mendesah pada kemustahilan ini.

“Sampai ketemu besok,” ucapku, meski tahu aku akan segera menemuinya jauh sebelum itu. Dia sendiri baru akan bertemu denganku besok.

“Baik kalau begitu.” Kemudian dia membuka pintu.

Lagi-lagi terasa nyeri sekali, melihatnya pergi. Aku mencondongkan badan ke arahnya, ingin menahan dia disini. “Bella?”

Dia menoleh, dan membeku, terkejut mendapati wajah kami begitu dekat. Begitu pula denganku, meluap-luap karena kedekatan ini. Kehangatan datang bergelombang membasuh wajahku. Aku bisa merasakan segalanya kecuali kelembutan kulitnya... Jantungnya berdegup kencang, dan bibirnya merekah.

“Tidur nyenyak ya,” bisikku, dan segera menjauh sebelum dorongan dalam tubuhku—entah haus yang biasanya atau hasrat aneh yang baru kali ini kurasakan—akan membuatku melakukan sesuatu yang bisa menyakitinya.

Untuk sesaat dia masih duduk diam tidak bergerak, matanya melebar dan membeku. Terpesona, kukira. Begitu pula denganku. Dia kembali menguasai diri—meski wajahnya masih agak terpana—dan terlihat limbung ketika keluar dari mobil hingga harus berpegangan agar tidak jatuh. Aku tertawa geli—berharap dia tidak mendengarnya. Aku melihat dia sempat tersandung ketika sampai di depan pintu. Untuk sementara aman. Dan aku akan segera kembali untuk memastikan. Aku bisa merasakan tatapannya mengikutiku saat mobilku melaju pergi. Ini merupakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Biasanya, secara harfiah aku menyaksikan diriku melalui pandangan orang lain yang menatapku pergi. Tapi anehnya ini jauh lebih menyenangkan—sensasi semu dari tatapan yang mengawasi. Aku tahu ini menyenangkan hanya karena tatapannya berasal dari Bella.

Berjuta pikiran berkecamuk dalam kepalaku saat berkendara tanpa tujuan di tengah kegelapan malam. Selama beberapa lama aku berputar-putar tak tentu arah. Aku memikirkan Bella, lega karena akhirnya dia tahu yang sebenarnya. Tidak perlu lagi waswas jati diriku terbongkar. Dia sudah tahu. Itu tidak penting buat dia. Meski jelas-jelas buat dia ini buruk, tetap saja sangat melegakan. Lebih dari itu, aku memikirkan perasaan Bella padaku. Dia tidak mungkin menyukaiku sebesar aku mencintanya—perasaan cinta yang sedahsyat dan semelimpah ini barangkali akan menghancurkan tubuh rapuh dia. Tapi perasaannya cukup kuat juga. Cukup kuat hingga bisa menundukkan insting takut dia. Cukup kuat untuk ingin bersamaku. Dan berada bersamanya adalah kebahagiaan paling besar yang pernah kurasakan. Untuk sesaat—saat aku sudah sendirian dan tidak ada siapapun yang bisa kusakiti—aku membiarkan diriku untuk menikmati kebahagiaan ini tanpa harus dibebani tragedinya. Hanya untuk merasa bahagia karena dia juga menyukaiku. Hanya untuk bersuka ria karena telah berhasil memenangkan perasaannya. Hanya untuk terus mengingat kembali bagaimana rasanya duduk di dekat dia, mendengar suaranya, dan mendapat senyumannya.

Aku mengingat kembali senyum itu, menyaksikan bibirnya yang penuh tertarik di kedua sudutnya hingga menggerakkan garis-garis pipinya, bagaimana matanya menghangat dan mencair... Malam ini jari-jarinya terasa hangat dan lembut pada tanganku. Aku membayangkan bagaimana rasanya jika menyentuh kulit pipinya yang lembut—balutan sutra pada permukaan kaca...begitu mudah pecah.

Aku tidak tahu kemana anganku berujung hingga terlambat. Pada saat sedang menyelami kerapuhannya, gambaran baru wajahnya menyeruak dalam anganku. Tersesat di tengah kegelapan, pucat karena takut—namun rahangnya terkunci penuh tekad, tatapannya sengit, badannya yang ramping siap menyerang sosok-sosok besar yang mengurungnya. Mimpi buruk yang suram...

“Ah.” Aku mengerang saat kebencian membara yang telah terlupakan oleh kebahagiaan tadi, muncul lagi ke permukaan.

Aku sendirian. Bella telah aman di rumahnya; untuk sesaat aku lega bahwa Charlie Swan—kepala polisi setempat, yang terlatih dan bersenjata—merupakan ayahnya. Itu membuatnya lebih aman. Dia sudah aman. Tidak akan makan waktu lama untuk membalas orang-orang itu... Tidak. Bella layak mendapatkan yang lebih baik dari itu. Aku tidak akan membiarkan dia jatuh cinta pada seorang pembunuh. Tapi...bagaimana dengan perempuan-perempuan lain yang bisa jadi korban manusia biadab itu? Bella memang sudah aman. Angela dan Jessica juga sudah aman di rumahnya. Namun monster itu masih berkeliaran di Port Angeles. Monster-manusia—apa itu membuatnya jadi urusan manusia? Untuk melakukan pembunuhan, yang sudah gatal ingin kulakukan, adalah salah. Aku tahu itu. Tapi membiarkannya berkeliaran untuk menyerang orang lain juga tidak benar.

Si penerima tamu pirang yang di restoran tadi, si pelayan yang tak pernah kuperhatikan, keduanya sama-sama membuatku kesal. Tapi, bukan berarti mereka pantas untuk berada dalam bahaya. Satu dari mereka mungkin Bellanya seseorang. Kenyataan itu memastikan keputusanku.

Aku memutar mobil ke utara. Aku langsung tancap gas begitu punya tujuan. Kapanpun aku punya masalah yang tidak bisa kuatasi, aku tahu kemana bisa minta bantuan. Alice sedang duduk di beranda, menungguku. Aku berhenti di depan rumah, tidak masuk ke garasi.

“Carlisle di ruangannya,” Alice memberitahuku sebelum aku sempat bertanya.

“Terima kasih,” ucapku sambil mengacak-acak rambutnya saat melewati dia.

Terima kasih telah menjawab teleponku, sindirnya dalam hati.

“Oh.” Aku berhenti di depan pintu, mengeluarkan handphoneku, lalu membukanya. “Sori. Aku bahkan tidak mengecek itu dari siapa. Aku sedang...sibuk.”

“Ya, aku tahu. Aku juga minta maaf. Pada saat aku melihat itu akan terjadi, kau sudah tahu.”

“Tadi itu hampir saja...” gumamku.

Maaf, ulangnya, malu pada dirinya.

Sangat mudah untuk berbaik hati karena tahu Bella sudah aman. “Tidak usah menyesal. Aku mengerti kau tidak mungkin mengawasi segalanya. Tidak ada yang berharap kau bisa jadi mahatahu, Alice.”

“Thanks.”

“Aku hampir mengajakmu makan malam tadi—apa kau sempat melihat itu sebelum aku berubah pikiran?”

Dia cemberut. “Tidak, aku melewatkan itu juga. Coba aku tahu. Aku pasti datang.”

“Kau sedang berkonsentrasi ke apa, sampai melewatkan begitu banyak?”

Jasper sedang memikirkan perayaan anniversary kami. Dia tertawa. Dia berusaha untuk tidak membuat keputusan tentang hadiahku, tapi kurasa aku bisa menebaknya...

“Dasar, memalukan.”

“Yup.”

Dia mengerutkan bibir dan menatapku, ada ekspresi menuduh pada wajahnya.

Lain kali aku akan mengawasi lebih baik. Apa kau akan memberitahu mereka kalau dia tahu? 

Aku mengeluh. “Ya. Nanti.”

Aku tidak akan bilang apa-apa. Tapi tolong beritahu Rosalie ketika aku sedang tidak ada, oke?

“Oke.”

Bella menerimanya dengan baik.

“Terlalu baik.”

Alice cemberut padaku. Jangan meremehkan Bella.

Aku berusaha memblokir gambaran yang tidak ingin kulihat—Bella dan Alice bersahabat. Karena mulai tak sabar, aku mengeluh panjang. Aku ingin segera menyelesaikan babak selanjutnya dari malam ini; aku ingin segera mengakhirinya. Tapi aku sedikit was-was untuk meninggalkan Forks...

“Alice...” Tapi dia sudah tahu apa yang ingin kutanyakan. Malam ini dia akan baik-baik saja. Mulai sekarang aku akan mengawasinya lebih baik. Bisa dibilang dia membutuhkan pengawasan dua puluh empat jam penuh, iya kan?

“Kurang lebih begitu.”

“Ngomong-ngomong, kau akan segera menemuinya tidak lama lagi.”

Aku mengambil napas panjang. Kata-kata itu begitu indah buatku.

“Ayo sana—cepat selesaikan biar kau bisa segera menemuinya.”

Aku mengangguk, dan buru-buru ke kamar Carlisle. Dia sedang menungguku, pandangannya ke arah pintu dan bukannya ke buku tebal yang ada di mejanya.

“Aku mendengar Alice memberitahumu dimana aku,” sambutnya sambil tersenyum.

Akhirnya aku merasa lega bisa bertemu Carlisle, untuk melihat empati dan kecerdasan di matanya. Dia pasti tahu apa yang mesti dilakukan.

“Aku butuh bantuan.”

“Apa saja, Edward.”

“Apa Alice memberitahumu apa yang terjadi pada Bella tadi?”

Hampir terjadi, dia mengoreksi.

“Ya, hampir. Aku bingung, Carlisle. Kau tahu, aku ingin...sangat ingin...untuk membunuh orang itu.” kata-kata itu berhamburan begitu saja. “Sangat ingin. Tapi aku tahu itu salah, karena itu berarti balas dendam, bukan keadilan. Murni karena marah. Namun tetap saja, rasanya tidak benar membiarkan seorang pembunuh dan pemerkosa kambuhan berkeliaran di Port Angeles! Aku tidak kenal penduduk di sana, tapi aku tidak bisa membiarkan ada perempuan lain yang akan menggantikan posisi Bella dan jadi korban monster itu. Perempuan itu mungkin punya seseorang yang perasaannya sama dengan perasaanku pada Bella. Sama menderitanya seperti diriku jika dia disakiti. Itu tidak betul—”

Senyum lebarnya yang tiba-tiba muncul menghentikan semburan kata-kataku. Efek kehadirannya sangat baik untukmu, iya kan? Kau jadi begitu pengasih, dan sangat terkontrol. Aku terkesan.

“Aku tidak sedang butuh pujian, Carlisle.”

“Tentu saja tidak. Tapi aku kan tidak bisa mengekang pikiranku.” Dia tersenyum lagi.

“Aku akan membereskannya. Kau tenang saja. Tidak akan ada lagi korban berikutnya.”

Aku bisa melihat rencana di kepalanya. Itulah tepatnya yang kubutuhkan. Memang, itu tidak memuaskan insting buasku, tapi aku bisa melihat itu hal yang tepat.

“Akan kutunjukan dimana orang itu.”

“Ayo kita pergi.”

Dia mengambil tas dokter hitam miliknya. Sebetulnya aku lebih setuju jika memakai penenang yang lebih kuat—seperti dengan memecahkan kepalanya—tapi biar Carlisle melakukan dengan caranya.

Kami memakai mobilku. Alice masih ada di beranda. Dia tersenyum dan melambaikan tangan saat kami menjauh. Kulihat dia mengecek jauh ke depan di pikirannya; kami tidak akan kesulitan.

Perjalanannya sangat singkat karena jalanan kosong. Lampu mobil kumatikan agar tidak menarik perhatian. Aku tersenyum membayangkan bagaimana reaksi Bella dengan kecepatan seperti ini. Padahal tadi, sebelum dia protes, aku sudah lebih pelan dari biasanya—untuk memperlama waktu.

Carlisle juga sedang memikirkan Bella. Tak kusangka sebaik ini dampak Bella bagi Edward. Sangat tak terduga. Barangkali memang harus seperti ini jalannya. Mungkin ini demi tujuan yang lebih jauh. Haya saja...

Dia membayangkan Bella dengan kulit pucat dingin dan mata merah-darah, namun segera mengalihkan bayangan itu. Ya. Hanya saja. Sudah tentu. Karena, dimana sisi baiknya kalau menghancurkan sesuatu yang begitu murni dan indah?

Aku memandang ke kegelapan malam. Semua kebahagiaan tadi hancur karena pikiran Carlisle.

Edward pantas untuk bahagia. Dia harus bahagia. 

Kesungguhan pikiran Carlisle mengejutkanku. Pasti ada jalan keluar, pikirnya lagi. Kuharap aku bisa mempercayai itu. Tapi tidak ada tujuan yang lebih jauh dari apa yang terjadi pada Bella. Yang ada hanya siluman rubah-betina jahat yang mengendalikanku, yang tidak tahan melihat Bella menjalani kehidupannya.

Aku tidak berlama-lama di Port Angeles. Aku membawa Carlisle ke depan bar, tempat mahluk bernama Lonnie itu meratapi kekecewaannya bersama dua rekannya—yang sudah lebih dulu mabuk berat. Carlisle bisa melihat betapa beratnya bagiku untuk berada sedekat ini—hingga bisa mendengar pikiran monster itu dan melihat ingatannya, ingatan tentang Bella yang bercampur dengan gadis-gadis lain yang sudah jadi korbannya Napasku memburu. Kucengkram erat kemudi di hadapanku.

Pergilah, Edward, ucap Carlisle lembut. Akan kubuat dia tidak bisa menyakiti siapa-siapa lagi. Kembalilah ke Bella. Pilihan kata Carlisle sangat tepat. Nama Bella adalah satu-satunya yang bisa mengalihkan pikiranku.

Kutinggalkan Carlisle sendirian di mobil, dan lari menuju Forks lewat hutan. Ini makan waktu lebih cepat ketimbang naik mobil. Hanya dalam beberapa menit aku sudah meniti di bawah jendela kamar Bella dan merangkak masuk. Aku mendesah lega. Semuanya telah seperti seharusnya. Bella aman di tempat tidurnya, bermimpi, dengan rambutnya yang basah tergerai diatas bantal. Tapi, tidak seperti malam-malam lainnya, kini dia meringkuk memeluk badannya. Kurasa karena dingin. Sebelum aku sempat duduk di tempat biasanya, dia menggigil, bibirnya ikut gemetar. Aku memperhatikan sejenak, kemudian menyelinap keluar ke lorong, menjelejahi bagian dalam rumahnya untuk pertama kalinya.

Dengkuran Charlie keras dan stabil. Aku bahkan hampir bisa menangkap mimpinya. Sesuatu tentang kegiatan di air dan menunggu dengan sabar...memancing barangkali? Nah, disana, di dekat tangga, letak lemari yang kucari-cari. Aku membukanya penuh harap, dan menemukan yang kucari. Aku memilih selimut yang paling tebal, dan kubawa kembali ke kamar. Akan kukembalikan lagi sebelum dia bangun, tidak akan ada yang tahu. Sambil menahan napas, dengan hati-hati kuselimuti dia; dia tidak beraksi dengan beban tambahan itu. Kemudian aku kembali duduk di kursi goyang di pojokan. Sambil menunggu was-was sampai dia merasa hangat, aku memikirkan Carlisle, bertanya-tanya dimana dia sekarang. Aku tahu rencananya akan berjalan lancar—Alice telah melihatnya.

Memikirkan ayahku membuatku menghela napas—Carlisle terlalu memujiku. Seandainya saja aku adalah sosok yang ia pikir. Sosok itu, yang pantas untuk bahagia, barangkali cukup pantas buat gadis yang sedang tidur ini. Betapa berbedanya seandainya aku bisa menjadi Edward yang seperti itu. Saat sedang mempertimbangkan hal itu, tiba-tiba muncul gambaran lain yang tidak diundang.

Untuk sesaat, sosok siluman rubah betina yang tadi kubayangkan, yang mengidamkan kehancuran Bella, digantikan oleh sosok malaikat bodoh yang sembrono. Seorang malaikat pelindung—sesuatu yang seperti versi Carlisle tentang diriku. Dengan senyum acuh, mata biru yang licik, malaikat itu membuat Bella sedemikian rupa hingga tidak mungkin bisa kujaga: Aroma tajam yang konyol untuk menggugah seleraku, pikiran yang sunyi untuk memancing penasaranku, kecantikan yang mempesona untuk menghipnotis mataku, hati yang tidak egois untuk menangkap kekagumanku; Dia hapus juga insting pelindungan dirinya—supaya Bella tidak takut dan betah berada di dekatku—dan, yang terakhir, tambahkan kesialan tanpa batas. Dengan tawa sembrono, malaikat yang tidak bertanggung jawab itu mendorong kreasi rapuhnya tepat ke hadapanku. Dia percayakan Bella pada moralku yang rusak untuk menjaganya tetap hidup.

Dalam pandangan ini, aku bukan eksekutor Bella, melainkan dialah hadiahku. Aku menggeleng-geleng sendiri pada bayangan malaikat tak bermoral seperti itu. Dia tidak jauh berbeda dengan monster. Tidak mungkin mahluk suci bisa berkelakuan seburuk itu. Paling tidak kalau siluman rubah betina aku masih bisa melawannya. Lagi pula, aku tidak punya malaikat pelindung. Mereka cuma untuk orang-orang baik—orang-orang seperti Bella. Tapi dimana malaikat dia selama ini? Siapa yang mengawasi dia?

Aku tertawa pelan, tertegun, saat menyadari bahwa saat ini aku lah yang memainkan peran itu. Malaikat berwujud vampir—benar-benar kontras. Setelah lewat setengah jam, posisi Bella mulai lebih rileks. Napasnya makin dalam. Dan dia mulai bergumam. Aku tersenyum puas. Ini hal sepele, tapi paling tidak malam ini dia bisa tidur lebih nyaman berkat aku disini.

“Edward,” desahnya, dan dia tersenyum.

Aku menyingkirkan tragedinya sesaat, membiarkan diriku diliputi kebahagiaan.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah menjadi reader blog ini...
Jika ingin men-share link silakan...
Tidak perlu bertanya kapan episode selanjutnya, kalau memang sudah selesai pasti akan langsung diupdate...
DAN MOHON UNTUK TIDAK MENG-COPYPASTE SINOPSIS DARI BLOG INI...

Sapaan di Tahun 2018

Assalamu'alaikum kawan, apa kabarnya? Buat teman-teman muslim Selamat Menjalankan Ibadah Puasa.