Tuesday 3 May 2011

Midnight Sun Bagian 6

Golongan Darah
Aku mengikuti Bella seharian melalui pikiran orang-orang disekitarnya, aku hampir tidak sadar dengan sekelilingku sendiri. Tapi aku menghindari Mike Newton, aku sudah tidak tahan lagi dengan khayalannya. Dan juga tidak lewat Jessica Stanley, kesinisannya pada Bella membuatku marah, dan itu berbahaya bagi gadis picik itu. Angela Weber pilihan yang bagus ketika matanya tersedia; dia bersahabat—kepalanya tempat yang nyaman. Tapi seringnya, para guru. Mereka menyediakan pandangan yang paling baik.


Aku terkejut, melihat betapa seringnya dia tersandung—tersandung pada rekahan di trotoar, stray books, dan, paling sering, kakinya sendiri. Teman-temannya menilai Bella orang yang kikuk.

Aku mempertimbangkan hal itu. Memang benar, dia sering kesulitan berdiri dengan baik. Aku ingat ia tersandung meja pada hari pertama dulu, terpleset-pleset diatas es, tersandung ujung pintu kemarin... aneh sekali, mereka betul. Dia orang yang kikuk.

Entah kenapa ini begitu lucu untukku, tapi aku tergelak selama perjalanan dari kelas sejarah ke kelas Inggris. Orang-orang melihatku khawatir. Bagaimana bisa aku tidak menyadari ini sebelumnya? Mungkin karena ada sesuatu yang anggun ketika ia sedang diam, caranya memegang kepala, bentuk lengkung lehernya...

Tapi, tidak ada yang anggun darinya sekarang. Mr. Varner melihat bagaimana ujung sepatunya tersandung karpet hingga dia jatuh ke kursinya. Aku tergelak lagi.

Waktu berjalan lamban selama menunggu untuk bisa melihat dia langsung. Dan akhirnya, bel berbunyi. Aku cepat-cepat menuju kafetaria untuk menempati tempatku. Aku yang pertama kali sampai. Aku memilih meja yang biasanya kosong, dan akan tetap begitu dengan aku disini.

Saat keluargaku melihat aku duduk sendirian di tempat yang baru, mereka tidak kaget. Alice pasti telah memberitahu mereka.

Rosalie lewat tanpa menoleh.

Idiot.

Hubunganku dengan Rosalie tidak pernah baik—aku sudah membuatnya kesal dari pertama dulu dia mendengarku bicara, dan selanjutnya makin parah—tapi beberapa hari ini kelihatannya dia jadi jauh lebih sensitif. Aku menghela napas. Rosalie selalu menganggap segalanya tentang dia.

Jasper setengah senyum padaku saat lewat.

Semoga sukses, pikirnya setengah hati.

Emmet memutar bola matanya dan menggeleng-geleng.

Dia sudah gila, kasihan kau nak.

Alice berseri-seri, giginya berkilauan terlalu terang.

Boleh aku bicara dengan Bella sekarang??

“Jangan ikut campur,” dengusku dari balik napas.

Wajahnya meredup, tapi kemudian berseri lagi.

Baik. Semaumu saja. Toh, saatnya akan tiba juga.

Aku menghela napas lagi.

Jangan lupa tentang eksperimen biologi hari ini, dia mengingatkan.

Aku mengangguk. Tidak, aku tidak lupa itu.

Sambil menunggu Bella datang, aku mengikuti dia lewat mata seorang murid yang ada di belakang dia dan Jessica. Jessica sedang sibuk berceloteh tentang pesta dansa yang akan datang, tapi Bella sama sekali tidak menanggapi. Bukan berarti Jessica memberinya kesempatan.

Tepat saat Bella masuk, matanya langsung tertuju ke meja tempat keluargaku duduk. Dia memperhatikan sebentar, kemudian keningnya berkerut dan matanya jatuh memandang ke lantai. Dia tidak menyadari aku ada di sini. Dia terlihat sangat...sedih. Seketika muncul dorongan kuat untuk bangun dan pergi ke sisinya, untuk menenangkan dia. Hanya saja, aku tidak tahu apa yang bisa membuatnya nyaman. Karena, aku sama sekali tidak tidak tahu apa yang membuatnya sedih begitu.

Jessica terus mengoceh tentang pesta dansa. Apa dia sedih karena tidak bisa ikut? Kelihatannya bukan karena itu... Tapi, itu bisa diatasi, jika memang itu maunya. Dia membeli sebotol limun untuk makan siang, tidak lebih. Apa itu baik? Bukannya dia butuh lebih banyak nutrisi dari sekedar itu? Aku tidak terlalu paham pola diet manusia. Manusia betul-betul sangat rapuh! Ada jutaan macam hal yang mesti dikhawatirkan...

“Edward Cullen sedang menatapmu lagi,” aku mendengar Jessica bicara. “Kira-kira kenapa dia duduk sendirian hari ini?”

Aku berterima kasih pada Jessica—meskipun dia jauh lebih sewot sekarang—karena Bella langsung mendongak dan padangannya mencari-cari hingga akhirnya bertemu denganku.

Sekarang tidak ada lagi jejak kesedihan di wajahnya. Aku membiarkan diriku berharap bahwa dia sedih karena dipikirnya aku sudah pulang, dan harapan itu membuatku tersenyum.

Aku memberi isyarat dengan jariku untuk mengajaknya bergabung denganku. Dia terlihat kaget sekali, dan itu membuatku tambah ingin menggodanya. Jadi, aku mengedip. Dan dia terlongo.

“Apa yang dia maksud kau?” tanya Jessica kasar.

“Mungkin dia butuh bantuan dengan PR biologinya,” jawabnya pelan dan ragu-ragu.

“Mmm, aku sebaiknya kesana untuk mencari tahu apa maunya.”

Itu satu lagi jawaban ya.

Meski lantainya rata, dia tersandung dua kali sebelum sampai ke mejaku. Sungguh, bagaimana bisa aku melewati hal ini sebelumnya? Sepertinya aku terlalu memperhatikan pikirannya yang tak bersuara... Apa lagi yang kulewatkan? Tetap jujur, tetap santai, aku mengulang-ulang dalam hati.

Dia berhenti di belakang kursi di seberangku, ragu-ragu. Aku mengambil napas dalam-dalam, kali ini melalui hidung, bukan lewat mulut. Rasakan apinya, pikirku kering.

“Kenapa kau tidak duduk denganku hari ini?” pintaku padanya.

Dia menarik kursi dan duduk, menatapku beberapa saat. Dia terlihat gugup, tapi dari sikapnya, lagi-lagi itu jawaban ya.

Aku menunggu dia bicara.

Butuh beberapa saat, tapi akhirnya dia berkata, “Ini tidak seperti biasanya.”

“Well...” Aku bimbang. “Mengingat aku toh bakal ke neraka juga, jadi kenapa tidak sekalian saja.”

Ugh, kenapa aku mesti mengatakan itu? Tapi sudahlah, paling tidak aku jujur. Dan siapa tahu dia mendengar peringatan tersembunyiku. Mungkin ia akan sadar harus bangun dan pergi secepatnya...

Dia tidak berdiri. Dia menatapku, menunggu, seakan kalimatku belum selesai.

“Kau tahu, aku sama sekali tidak mengerti apa maksudmu,” ujarnya akhirnya..

Itu sangat melegakan. Aku tersenyum.

“Aku tahu.”

Sangat sulit mengabaikan pikiran-pikiran yang meneriakiku dari balik punggungnya—dan lagipula aku juga ingin mengganti topik.

“Kurasa teman-temanmu marah padaku karena telah menculikmu.”

Nampaknya itu tidak membuatnya risau. “Mereka akan baik-baik saja.”

“Aku mungkin saja tidak akan mengembalikanmu.” Aku sama sekali tidak tahu apa sedang berusaha jujur, atau sedang menggodanya. Berada di dekatnya membuatku sulit menggunakan akal sehat.

Bella menelan ludah.

Aku tertawa melihat ekspresinya. “Kau tampak cemas.” harusnya ini tidak lucu... Harusnya dia khawatir.

“Tidak.” dia tidak pandai berbohong; sama sekali tidak menolong saat suaranya bergetar. “Terkejut, sebetulnya... apa yang menyebabkan ini semua?”

“Sudah kubilang,” aku mengingatkan dia. “Aku lelah berusaha menjauh darimu. Jadi aku menyerah.” aku menjaga senyumku dengan susah payah. Tidak mungkin bisa berjalan seperti ini—bersikap jujur sekaligus santai di waktu bersamaan.

“Menyerah?” dia mengulangi, heran.

“Iya—menyerah berusaha bersikap baik.” Dan, tampaknya, menyerah untuk bersikap santai. “Sekarang aku akan melakukan apa yang kumau, dan membiarkan semuanya terjadi sebagaimana mestinya.” Itu cukup jujur. Biarkan dia melihat keegoisanku. Biarkan itu memperingatkan dia juga.

“Lagi-lagi kau membuatku bingung.”

Aku cukup egois untuk merasa lega atas hal itu.

“Aku selalu berkata terlalu banyak kalau sedang bicara denganmu—itu salah satu masalahnya.” Masalah yang jauh lebih sederhana dibanding masalah lainnya.

“Jangan khawatir,” dia meyakinkan aku. “Aku tak mengerti satupun ucapanmu.”

Bagus. Maka dia akan tinggal. “Aku mengandalkan itu.”

“Jadi, terus terang, apakah sekarang kita berteman?”

Aku mempertimbangkan itu sebentar. “Teman...” aku mengulangi. Aku tidak terlalu menyukai kedengarannya. Itu belum cukup.

“Atau tidak,” gumamnya malu.

Apa dia pikir aku tidak menyukai dia sebesar itu?

Aku tersenyum. “Well, kurasa kita bisa mencobanya. Tapi kuperingatkan kau, aku bukan teman yang baik untukmu.”

Aku menunggu responnya—berharap akhirnya dia mendengar peringatanku dan mengerti, tapi membayangkan kalau mungkin saja aku mati jika dia pergi. Betapa dramatisnya. Aku jadi berubah seperti kebanyakan manusia lainnya. Jantungnya berdebar lebih cepat. “Kau sering bilang begitu.”

“Ya, karena kau tidak mendengarkan.” Aku mengatakannya dengan bersungguh-sungguh.

“Aku masih menunggu kau mempercayainya. Kalau pintar, kau akan menghindariku.”

Ah, tapi apa aku akan tetap tinggal diam, jika dia mencobanya? Matanya menyipit. “Kurasa penilaianmu atas intelektualitasku cukup jelas.”

Aku kurang yakin apa maksudnya, tapi aku tersenyum minta maaf, menebak mungkin aku telah menyinggungnya secara tidak sengaja.

“Jadi,” katanya pelan. “Selama aku adalah...orang yang tidak pintar, kita akan berteman?”

“Kedengarannya masuk akal.”

Dia menunduk, menatap lekat-lekat botol limun di tangannya. Rasa penasaran itu kembali menyiksaku.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” Rasanya lega akhirnya bisa mengucapkan pertanyaan itu keras-keras.

Kami bertemu pandang, dan napasnya bertambah cepat sementara pipinya merona merah muda. Aku menarik napas, merasakannya di udara.

“Aku sedang mencoba menebak siapa sebenarnya kau ini.”

Aku menahan senyum di wajahku, mengunci mimikku seperti itu, sementara panik merayapi tubuhku. Tentu saja ia sedang memikirkan hal itu. Dia tidak bodoh. Tidak mungkin berharap dia tidak menyadari sesuatu yang ada di depan matanya.

“Sudah menemukan sesuatu?” Aku bertanya sesantai mungkin.

“Tidak terlalu.” akunya.

Aku terkekeh lega, “Apa teorimu?”

Tidak mungkin lebih buruk dari yang sebenarnya, tidak perduli apapun dugaannya. Pipinya jadi merah terang, dan ia tidak mengatakan apa-apa. Aku bisa merasakan kehangatan dari rona pipinya di udara. Aku coba menggunakan nada membujuk. Itu selalu berhasil dengan manusia normal.

“Maukah kau memberitahuku?” Aku tersenyum menyemangati.

Dia menggeleng. “Terlalu memalukan.”

Ugh... Tidak tahu adalah yang paling buruk dari apapun. Kenapa tebakannya membuat dia malu? Aku tidak tahan tidak tahu begini.

“Itu sangat memusingkan, kau tahu.”

Keluhanku sepertinya berefek sesuatu padanya. Matanya berkilat dan kata-katanya mengalir lebih cepat dari biasanya.

“Tidak, aku tidak bisa membayangkan kenapa itu harus memusingkan—hanya karena seseorang menolak menceritakan apa yang mereka pikirkan, meskipun mereka terus menerus melontarkan komentar misterius untuk membuatmu terjaga semalaman dan memikirkan apa sebenarnya maksudnya...nah, kenapa itu memusingkan?”

Aku mengerutkan dahi, kesal karena menyadari dia betul. Aku tidak adil.

Dia melanjutkan. “Terlebih lagi, katakan saja orang itu juga melakukan hal-hal aneh—mulai dari menyelamatkan nyawamu dari keadaan mustahil pada suatu hari, sampai memperlakukanmu seperti orang asing keesokan harinya, dan dia tak pernah menjelaskan apa-apa, bahkan setelah berjanji akan melakukannya. Itu, juga, akan sangat tidak memusingkan.”

Itu ucapan dia yang paling panjang yang pernah kudengar. Dan itu menambah daftar kepribadiannya yang kubuat.

“Kau ini pemarah, ya?”

“Aku tidak suka standar ganda.”

Tentu saja ia punya cukup alasan untuk marah.

Aku menatap Bella, bertanya-tanya bagaimana mungkin aku bisa melakukan sesuatu yang benar buat dia, sampai kemudian teriakan pikiran Mike mengalihkan perhatianku. Dia sangat marah hingga membuatku tertawa geli.

“Apa?” Tanyanya.

“Pacarmu sepertinya mengira aku bersikap tidak sopan padamu—dia sedang mempertimbangkan untuk melerai pertengkaran kita atau tidak.” Aku sangat ingin melihatnya melakukan itu. Aku tertawa lagi.

“Aku tidak tahu siapa yang kau maksud,” tukasnya dengan suara dingin. “Lagi pula, aku yakin kau salah.”

Aku sangat menikmati mendengar dia menyangkal Mike.

“Tidak. Aku pernah bilang, kebanyakan orang mudah ditebak.”

“Kecuali aku, tentu saja.”

“Ya. Kecuali kau.” Apa dia harus menjadi pengecualian atas segalanya? Bukannya lebih adil—mengingat segala yang mesti kuahadapi saat ini—jika paling tidak aku bisa mendengar isi pikirannya? Apa permintaan itu terlalu banyak? “Aku bertanya-tanya, kenapa bisa begitu?”

Aku menatap kedalam matanya, mencoba lagi...

Dia membuang muka. Dia membuka botol limunnya dan meminumnya. Pandangannya ke meja.

“Apa kau tidak lapar?” Tanyaku.

“Tidak.” Dia melihat ke meja kosong diantara kami. “Kau?”

“Tidak, aku tidak lapar,” aku jelas tidak lapar.

Dia menatap ke meja. Bibirnya merengut. Aku menunggu.

“Boleh minta tolong?” Matanya menatapku lagi.

Apa yang ia inginkan dariku? Apa ia akan menuntut kebenaran yang tidak bisa kuberikan—kebenaran yang kuharap tidak akan pernah dia ketahui?

“Tertantung apa yang kau inginkan?”

“Tidak susah kok,” Dia berjanji.

Aku menunggu, lagi-lagi penasaran.

“Kira-kira...” Dia menatap ke botol limun, mengitari mulut botolnya dengan jarinya,

“Maukah kau memberitahuku dulu sebelum lain kali memutuskan untuk mengabaikan aku, demi kebaikanku sendiri? Jadi aku bisa siap-siap.”

Dia ingin diperingatkan dulu? Berarti, diabaikan olehku adalah sesuatu yang tidak menyenangkan... Aku tersenyum.

“Kedengarannya adil.”

“Terima kasih,” jawabnya sambil mendongak menatapku. Wajahnya begitu lega hingga aku ingin tertawa karena kelegaanku sendiri.

“Lalu apa aku juga boleh minta satu jawaban sebagai gantinya?” tanyaku penuh harap.

“Satu,” dia mengijinkan.

“Ceritakan padaku satu teori.”

Wajahnya merona lagi. “Jangan yang itu.”

“Kau tidak memberi syarat, kau sudah janji untuk menjawab satu.”

“Sedang kau sendiri melanggar janjimu.” Dia mendebat balik.

Dan itu tepat mengenaiku.

“Satu teori saja—aku tidak akan tertawa.”

“Pasti kau bakal tertawa.” Dia kelihatannya sangat yakin, meski aku tidak bisa membayangkan sesuatu yang lucu tentang itu.

Sekali lagi aku mencoba membujuknya. Aku menatap lekat-lekat kedalam matanya—sesuatu yang mudah dilakukan, dengan matanya yang begitu dalam—dan berbisik, “Please?”

Dia mengedip, dan wajahnya berubah kosong. Well, itu bukan reaksi yang kuharapkan.

“Mmm, apa?” tanyanya, terlihat pusing.

Ada apa dengan dia? Tapi aku tidak akan menyerah.

“Ceritakan satu teori, sedikit saja.” Aku memohon dengan suara halus, memperhatankan matanya dalam tatapanku. Terkejut dan puas, ternyata berhasil...

“Ehh, well, digigit laba-laba yang mengandung radioaktif?”

Cerita komik? Pantas saja dia pikir aku bakal tertawa.

“Itu tidak terlalu kreatif.” Aku mencibirnya, berusaha menyembunyikan kelegaanku.

“Ya maaf, cuma itu yang kupunya.”

Dia agak tersinggung. Dan itu membuatku lebih senang. Aku bisa menggodanya lagi.

“Mendekatipun tidak.”

“Tidak ada laba-laba?”

“Tidak ada.”

“Tidak ada radioaktif?”

“Tidak.”

“Sial,” keluhnya.

Aku cepat-cepat mengalihkan—sebelum dia bertanya tentang gigitan. “Kryptonite juga tidak melemahkanku.” Kemudian aku tertawa, karena dia pikir aku adalah superhero.

“Kau seharusnya tidak boleh ketawa, ingat?”

Aku tersenyum dan menutup mulut.

“Nanti juga aku tahu.”

Dan ketika dia tahu, ia akan lari.

“Kuharap kau tidak mencobanya.” Nada menggodaku sepenuhnya lenyap.

“Karena...?”

Aku behutang kejujuran padanya. Tetap saja, aku berusaha tersenyum, agar tidak tidak kedengaran mengancam. “Bagaimana kalau aku bukan seorang superhero? Bagaimana kalau aku orang jahatnya?”

Matanya melebar dan bibirnya sedikit membuka. “Oh,” ujarnya. Dan sedetik kemudian,

“Aku mengerti.”

Dia akhirnya mendengar peringatanku.

“Benarkah?” tanyaku, menyembunyikan penderitaanku.

“Kau berbahaya?” Napasnya memburu, dan jantungnya berdetak kian cepat.

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Apa ini kesempatan terakhirku bersamanya? Apa dia akan segera lari? Masih sempatkah untuk mengatakan bahwa aku mencintai dia sebelum ia pergi? Atau itu akan lebih membikin dia takut?

“Tapi tidak jahat,” bisiknya sambil menggeleng. Tidak terpancar ketakutan dari matanya yang jernih. “Tidak, aku tidak percaya kau jahat.”

Aku menarik napas. “Kau salah.”

Tentu saja aku jahat. Bukannya sekarang aku sedang bersorak gembira, karena dia salah menilaiku? Jika aku orang baik, aku akan menjauh darinya.

Aku mengulurkan tangan ke meja, menjangkau tutup botol limunnya sebagai alasan. Dia tidak bereaksi dengan gerakan tiba-tiba ini. Dia benar-benar tidak takut padaku. Belum. Aku memutar tutup botolnya seperti gasing, memperhatikan itu, bukannya dia. Pikiranku buntu.

Lari, Bella, lari. Aku tidak sanggup mengucapkannya keras-keras.

Namun tiba-tiba dia terloncat. “Kita bakal terlambat,” ujarnya saat aku mulai khawatir—entah bagaimana—ia bisa mendengar peringatan di kepalaku.

“Aku tidak ikut pelajaran hari ini.”

“Kenapa?”

Karena aku tidak mau membunuhmu. “Sekali-kali membolos itu menyehatkan.”

Lebih tepatnya, jauh lebih baik bagi manusia jika seorang vampir membolos di hari ketika darah manusia tumpah. Hari ini Mr. Banner akan menguji golongan darah. Tadi pagi Alice sudah membolos duluan.

“Well, aku akan masuk,”

Itu tidak mengejutkan. Dia orang yang bertanggung jawab—selalu melakukan sesuatu yang benar. Aku, kebalikannya.

“Kalau begitu sampai ketemu lagi.” jawabku sesantai mungkin sambil melihat ke bawah, ke tutup botol yang kuputar. Dan, ngomong-ngomong, aku memujamu...dalam cara yang menakutkan dan membahayakan.

Dia ragu-ragu, dan aku sempat berharap ia akan memilih untuk tetap tinggal bersamaku. Tapi bel berbunyi dan ia cepat-cepat pergi.

Kutunggu dia sampai keluar, kemudian kusimpan tutup botol tadi ke saku—sebuah kenang-kenangan dari pembicaraan yang sangat menyenangkan ini—dan berjalan menembus hujan ke mobil.

Aku menyalakan CD musik kesukaanku, Debussy—CD yang sama dengan yang kudengarkan di hari pertama itu. Tapi aku tidak mendengarkannya terlalu lama. Alunan nada yang lain mengalir di kepalaku, penggalan lagu yang menyenangkan dan menggugahku. Jadi, kumatikan CDnya dan ganti mendengarkan musik di kepalaku, memainkan penggalannya sampai berhasil mengembangkannya jadi satu harmonisasi lengkap. Secara naluri, jari-jariku menari di udara memainkan tuts-tuts piano kasat mata. Komposisi lagunya hampir lengkap ketika aku menangkap gelombang kerisauan-batin yang mendalam.

Aku mencari sumber suaranya.

Apa dia akan pingsan? Apa yang mesti kulakukan? Mike membatin panik.

Beberapa ratus meter dari tempatku, Mike Newton meletakan tubuh lunglai Bella ke trotoar. Dia merosot tak berdaya ke semen dingin. Matanya tertutup, kulitnya sepucat mayat.

Aku hampir menendang pintu mobilku.

“Bella?!” Teriakku.

Tidak ada perubahan di wajah pucatnya saat aku meneriakan namanya. Sekujur tubuhku mendingin melebihi es. Dengan marah aku menyelidiki pikiran Mike, yang terkejut sekaligus jengkel melihatku. Dan dia hanya memikirkan kemarahannya hingga aku tidak tahu apa yang terjadi pada Bella. Jika dia sampai menyakiti Bella, aku akan membinasakannya.

“Apa yang terjadi—apa dia sakit?” Aku menuntut jawaban sambil berusaha fokus pada pikiran si bocah. Rasanya menjengkelkan harus berjalan dengan langkah manusia. Harusnya tadi aku datang diam-diam.

Kemudian, aku mendengar detak jantung dan napasnya yang datar. Saat aku mendekat, dia memejamkan matanya lebih rapat. Itu meringankan kepanikanku.

Aku melihat sekelebatan ingatan di pikiran Mike, sekelumit gambaran dari kelas Biologi. Kepala Bella terkulai di meja kami berdua, kulit gadingnya berubah hijau. Setetes cairan kental merah di kertas putih...

Tes golongan darah.

Aku langsung berhenti di tempat, menahan napasku. Aromanya aku sudah biasa, tapi darah segar adalah sama sekali lain.

“Kurasa dia pingsan,” ujar Mike dengan cemas sekaligus marah. “Aku tidak tahu apa yang terjadi, dia bahkan tidak menusuk jarinya.”

Kelegaan langsung melandaku, aku bernapas lagi, merasakan udara disekelilingku. Ah, aku bisa mencium setitik darah dari bekas tusukan Mike Newton. Di waktu lalu, mungkin itu akan mengundang seleraku.

Aku berlutut disamping Bella sementara Mike menunggu di dekatku, marah karena campur tanganku.

“Bella. Kau bisa mendengarku?”

“Tidak,” erangnya. “Pergi sana.”

Kelegaan itu begitu luarbiasa hingga aku tertawa. Dia baik-baik saja.

“Aku mau membawanya ke UKS,” sergah Mike. “Tapi dia tak bisa berjalan lebih jauh lagi.”

“Aku yang akan mengantarnya. Kau bisa kembali ke kelas,” kataku mengusirnya.

Mike menggertakan gigi. “Tidak. Aku yang seharusnya melakukannya.”

Aku malas berdebat dengan bocah satu ini. Berdebar-debar dan takut, setengah bersyukur dan cemas, mengingat bahayanya jika menyentuh dia, dengan lembut aku mengangkat Bella dan membopongnya di lenganku. Aku menyentuh hanya bajunya, menjaga jarak tubuhnya sejauh mungkin. Aku melangkah cepat-cepat untuk menyelamatkan dia—menjauh dariku, dengan kata lain.

Matanya terbuka, bingung.

“Turunkan aku,” tuntutnya dengan suara lemah—malu, ditebak dari ekspresinya. Dia tidak suka menunjukan kelemahannya.

Aku hampir tidak mendengar protes Mike di belakangku.

“Kau tampak kacau,” kataku sambil menyeringai karena tidak ada yang salah padanya selain kepala pusing dan perut yang lemah.

“Turunkan aku,” ujarnya. Bibirnya putih.

“Jadi kau pingsan karena melihat darah?” Bisakah lebih ironis lagi?

Dia menutup mata dan mengatupkan bibirnya.

“Dan bahkan bukan darahmu sendiri,” aku menambahkan. Seringaiku makin lebar.

Kami sampai di depan TU. Pintunya sedikit terbuka. Aku membukanya dengan kaki agar bisa lewat.

Ms. Cope terloncat kaget. “Oh, ya ampun,” dia terengah saat memeriksa gadis kelabu di tanganku ini.

“Dia pingsan di kelas biologi,” aku menerangkan, sebelum imajinasinya terlalu jauh.

Ms. Cope buru-buru membuka pintu ke ruang UKS. Mata Bella terbuka lagi, mengawasinya. Aku mendengar pikiran takjub Mrs. Hammond, juru rawat keibuan yang ada di UKS, saat aku masuk dan membaringkan Bella ke sebuah tempat tidur yang sudah lusuh.

Begitu Bella tidak lagi di tanganku, aku langsung menjauh ke tembok. Tubuhku terlalu bersemangat, terlalu berhasrat. Otot-ototku tegang. Dan liurku mengalir deras. Dia sangat hangat dan harum.

“Di hanya sedikit lemah,” aku meyakinkan Mrs. Hammond. “Mereka sedang mengetes golongan darah di kelas Biologi.”

Dia mengangguk mengerti sekarang. “Selalu saja ada yang pingsan.”

Aku menahan tawa. Pastilah Bella yang satu itu.

“Berbaringlah sebentar, sayang.” Mrs. Hammond berkata menenangkan. “Nanti juga sembuh.”

“Aku tahu,” jawab Bella.

“Apa ini sering terjadi?” sang perawat bertanya.

“Kadang-kadang,” Bella mengakui.

Aku berusaha menyamarkan tawaku dengan batuk.

Itu mengalihkan perhatian Mrs. Hammond padaku. “Kau boleh kembali ke kelas sekarang.”

Aku menatap langsung ke matanya dan berbohong dengan keyakinan sempurna. “Aku disuruh menemaninya.”

Hmmm... Apa iya... Ah sudahlah. Mrs. Hammond mengangguk. Itu berhasil dengan baik padanya. Kenapa kalau dengan Bella jadi sulit?

“Aku akan mengambilkan kompres untukmu, sayang.” Mrs. Hammond merasa tidak nyaman setelah menatap mataku—sebagaimana manusia seharusnya—dan pergi keluar ruangan.

“Kau betul.” Bella mengerang, menutup matanya.

Yang dia maksud apa? Dan pikiranku langsung mengarah ke kesimpulan yang terburuk: dia menerima peringatanku.

“Biasanya begitu.” Aku berusaha kedengaran bangga; sepertinya tidak terlalu meyakinkan. “Tapi kali ini tentang apa?”

“Membolos itu sehat,” desahnya.

Ah, lega lagi.

Kemudian dia terdiam, hanya bernapas pelan-pelan. Bibirnya mulai berubah merah muda. Komposisi bibirnya terlihat tidak imbang, bibir bawahnya sedikit lebih penuh dibanding bibir atasnya. Dan memandangi bibirnya membuatku merasa aneh. Membuatku ingin mendekat, yang mana bukan ide yang bagus.

“Tadi kau sempat membuatku takut.” Aku coba memulai pembicaraan agar bisa mendengar suaranya lagi. 

“Kukira Newton sedang menyeret mayatmu untuk dikubur di hutan.”

“Ha ha,” ucapnya tidak terhibur.

“Jujur saja—aku pernah melihat mayat dengan kondisi lebih baik.” Itu betul. “Hampir saja aku membalas pembunuhmu.” Dan aku memang hampir begitu.

“Kasihan Mike,” desahnya. “Berani taruhan dia pasti marah.”

Aku langsung berang mendengarnya, namun cepat-cepat kutahan. Kepeduliannya pasti lebih karena kasihan. Dia baik hati. Cuma itu.

“Dia sangat membenciku.” Aku senang jika Mike memang begitu.

“Kau tidak mungkin tahu pasti.”

“Aku lihat wajahnya, makanya aku tahu.” Itu mungkin ada benarnya, dengan membaca wajahnya cukup untuk menarik kesimpulan seperti itu. Segala latihan selama ini dengan Bella menajamkan kemampuanku membaca ekspresi manusia.

“Bagaimana kau bisa menemukanku? Kukira kau membolos.” Wajahnya terlihat lebih baik—warna kehijauan telah lenyap dari balik kulitnya yang bening.

“Aku sedang di dalam mobil, mendengarkan CD.”

Ekspresinya sedikit berubah, seakan entah bagaimana jawaban biasaku membuatnya terkejut. Dia menutup matanya lagi ketika Mrs. Hammond kembali dengan membawa kompresan es.

“Pakai ini, sayang,” perawat itu menaruh kompresnya di kening Bella. “Kau kelihatan jauh lebih baik.”

“Kurasa aku baik-baik saja,” jawab Bella. Ia bangkit duduk sembari menyingkirkan kompresannya. Bukan kejutan. Dia tidak suka dapat perhatian.

Tangan keriput Mrs. Hammond menahan Bella agar kembali berbaring, tapi kemudian Ms. Cope membuka pintu dan masuk. Bersama kedatangannya tercium juga bau darah segar, cuma bau ringan.

Di belakang Ms. Cope, Mike Newton masih marah sekali, berharap bocah yang baru saja ia tuntun adalah gadis yang ada disini bersamaku.

“Kita kedatangan satu lagi,” ujar Ms. Cope.

Bella buru-buru melompat turun dari tempat tidur, ingin cepat-cepat menyingkir.

“Ini,” katanya cepat, mengembalikan kompresnya ke Mrs. Hammond. “Aku tidak memerlukannya.”

Mike menggerutu saat dia setengah menyeret Lee Stevens melewati pintu. Darah masih menetes dari tangan Lee yang sedang memegangi wajahnya, menetes turun ke lengannya.

“Oh, tidak.” Ini tandaku untuk pergi—dan kelihatannya buat Bella juga. “Ayo keluar dari sini, Bella.”

Dia menatapku dengan pandangan bingung.

“Percayalah—ayo.”

Dia memutar dan menangkap pintunya sebelum tertutup, buru-buru keluar dari UKS. Aku mengikuti tepat di belakangnya. Kibasan rambutnya sempat membelai tanganku... Dia menoleh melihatku, masih dengan mata lebarnya.

“Kau benar-benar menuruti perkataanku.” Ini yang pertama.

Hidung mungilnya mengerut. “Aku mencium bau darah.”

Aku menatapnya heran. “Manusia tidak bisa mencium darah.”

“Well, aku bisa—itulah yang membuatku mual. Baunya seperti karat...dan garam.”

Wajahku membeku, melongo. Apa dia betul-betul manusia? Dia terlihat seperti manusia. Dia terasa lembut bagi manusia. Baunya seperti manusia—well, jauh lebih baik sebetulnya. Tingkahnya seperti manusia...kira-kira begitu. Tapi dia tidak berpikir layaknya manusia, atau bereaksi seperti itu. Memang, apa lagi pilihannya selain manusia?

“Kenapa?” tanyanya penasaran.

“Bukan apa-apa.”

Kemudian Mike Newton datang menyela, masuk dengan pikiran marah besar.

“Kau kelihatan lebih baik,” ujarnya kasar pada Bella.

Tanganku mengejang, ingin memberinya pelajaran. Aku harus hati-hati, atau aku akan betul-betul membunuh bocah menjengkelkan ini.

“Jauhkan tanganmu,” katanya. Sesaat kupikir dia sedang bicara padaku.

“Sudah tidak berdarah lagi,” jawab Mike sambil menahan marah. “Apa kau akan kembali ke kelas?”

“Apa kau bercanda? Aku hanya akan kembali kesini lagi.”

Itu bagus sekali. Kupikir aku akan kehilangan satu jam penuh bersamanya, tapi justru dapat tambahan waktu. Aku jadi merasa tamak, orang kikir yang mendambakan setiap tambahan waktu.

“Kurasa betul...” gumam mike. “Jadi kau akan pergi pekan ini? Ke pantai?”

Ah, mereka punya rencana. Aku membeku ditempat karena marah. Tenang, itu cuma tamasya bersama. Aku sudah melihat rencana ini di pikiran murid-murid lainnya. Bukan cuma mereka berdua. Tapi aku masih juga geram. Aku menyandar ke komputer, tidak bergerak, berusaha mengendalikan diriku.

“Tentu saja, aku kan sudah bilang akan ikut,” jawabnya pada Mike.

Jadi dia berkata ya padanya juga.

Cemburu langsung membakarku, lebih menyakitkan daripada haus. Bukan, itu cuma tamasya bersama, aku berusaha meyakinkan diriku. Dia hanya menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Tidak lebih.

“Kita akan kumpul di toko ayahku jam sepuluh.” Dan si Cullen TIDAK diundang.

“Aku akan datang.”

“Kalau begitu sampai ketemu lagi di gimnasium.”

“Sampai nanti,” balasnya.

Mike berjalan ogah-ogahan kembali ke kelas. Pikirannya penuh kemarahan. Apa yang Bella lihat dari orang aneh itu? Tentu saja dia memang kaya. Menurut perempuan-perempuan dia itu keren, tapi menurutku tidak. Terlalu...terlalu sempurna. Berani taruhan ayahnya pasti melakukan eksperimen operasi plastik pada mereka semua. Itulah kenapa semuanya putih sekali dan cantik. Itu tidak wajar. Dan tatapannya agak...menakutkan. Kadang, saat dia menatapku, berani sumpah ia seperti ingin membunuhku... dasar orang aneh... Mike tidak sepenuhnya keliru.

“Gimnasium,” Bella mengulang pelan. Mengerang.

Aku menatapnya, dan ia terlihat sedih akan suatu lagi. Aku tidak yakin apa penyebabnya, tapi jelas dia tidak ingin pergi ke kelas berikutnya bersama Mike. Dan aku sangat setuju pada hal itu. Aku mendekat ke sisinya, lalu menunduk ke wajahnya, merasakan hangat kulitnya menjalar ke bibirku. Aku tidak berani untuk bernapas.

“Aku bisa mengaturnya,” bisikku pada dia. “Duduklah dan perlihatkan wajah pucatmu.”

Dia melakukan apa yang kuminta, duduk di salah satu kursi lipat dan menyandarkan badannya ke tembok, sementara, di belakangku, Ms. Cope keluar dari dalam UKS menuju mejanya. Dengan mata yang tertutup, Bella kelihatan seperti pingsan lagi. Rona wajahnya belum kembali seperti semula.

Aku menoleh ke Ms. Cope. Semoga Bella memperhatikan, pikirku sinis. Seperti inilah manusia semestinya bereaksi.

“Ms. Cope?” kataku dengan menggunakan suara membujuk lagi.

Bulu matanya mengedip-ngedip tak sadar, dan jantungnya berdetak cepat. Terlalu muda, kendalikan dirimu! 

“Ya?”

Ini menarik. Ketika detak jantung Shelly Cope bertambah cepat, itu karena dia mendapati diriku menarik secara fisik, bukan karena takut. Aku sudah terbiasa menghadapi reaksi seperti itu dari para manusia-perempuan...tapi aku tidak pernah mempertimbangkan penjelasan itu ketika detak jantung Bella memburu. Aku cukup suka itu. Terlalu suka, sebetulnya. Aku tersenyum, dan napas Ms. Cope makin memburu.

“Setelah ini Bella ada pelajaran olahraga, dan sepertinya kondisinya belum pulih benar. Sebetulnya saya berpikir untuk mengantarnya pulang sekarang. Apa saya bisa minta tolong dimintakan ijin buatnya?” Aku menatap kedalam matanya yang dangkal, menikmati bagaimana hal ini mengalutkan pikirannya. Jangan-jangan, mungkinkah Bella...?

Mrs. Cope harus menelan ludah dulu sebelum menjawab. “Apa kau butuh ijin juga, Edward?”

“Tidak, Mrs. Goff tidak akan keberatan.”

Aku tidak terlalu memperhatikannya sekarang. Aku sedang mempertimbangkan kemungkinan terbaru ini. Hmmm...Aku ingin percaya bahwa Bella mendapatiku menarik seperti menurut manusia lainnya, tapi kapan Bella pernah berpikiran sama seperti manusia lainnya? Aku tidak boleh terlalu berharap.

“Oke, kalau begitu semuanya beres. Kau merasa lebih baik, Bella?”

Bella mengangguk lemah—sedikit dilebih-lebihkan.

“Apa kau bisa berjalan, atau perlu kugendong lagi?” tanyaku geli melihat aktingnya.

Dia pasti lebih memilih jalan—dia tidak mau terlihat lemah.

“Aku jalan saja,” jawabnya.

Betul lagi. Aku mulai lebih baik dalam hal ini. Dia bangkit berdiri, ragu-ragu sebentar seperti sedang mengecek keseimbangannya. Aku menahan pintu untuknya, dan kami berjalan menembus hujan. Aku memperhatikan bagaimana dia menengadahkan wajahnya menghadap rintik-rintik hujan dengan mata tertutup, sebaris senyum di bibirnya. Apa yang sedang ia pikirkan? Tindakannya terlihat ganjil, dan aku langsung menyadari penyebabnya. Perempuan normal tidak akan menentang hujan seperti itu; mereka biasanya memakai makeup, bahkan disini di kota hujan seperti Forks.

Bella tidak pernah memakai makeup, dan memang sebaiknya tidak. Industri kosmetik memperoleh jutaan dolar tiap tahunnya dari para wanita yang berusaha mendapatkan kulit seperti dia.

“Terima kasih.” Dia tersenyum padaku. “Lumayan juga bisa bolos kelas olahraga.”

Aku memandang ke seberang kampus, bertanya-tanya bagaimana caranya memperpanjang waktu bersamanya. “Dengan senang hati,” jawabku.

“Jadi apa kau ikut? Maksudku, sabtu ini?” Dia terdengar berharap.

Ah, harapannya menyenangkan. Dia ingin aku yang bersamanya, bukan Mike Newton. Dan aku ingin berkata ya. Tapi ada banyak hal yang mesti dipertimbangkan. Salah satunya, matahari akan bersinar cerah sabtu ini...

“Sebenarnya kalian akan pergi kemana?” Aku berusaha terdengar acuh, seakan tidak terlalu berarti. Mike sempat menyebut pantai. Tidak mungkin menghindari sinar matahari disana.

“La Push, ke First Beach.”

Sial. Well, kalau begitu mustahil. Bagaimanapun, Emmet bakal marah jika aku membatalkan rencana kami.
Aku meliriknya, tersenyum kecut. “Aku rasa aku tidak diundang.”

Dia mendesah, lebih dulu menyerah. “Aku baru saja mengundangmu.”

“Sudahlah, sebaiknya kita jangan terlalu mendesak Mike lagi minggu ini. Kita tidak ingin membuat dia marah, kan?” Aku sebetulnya memikirkan diriku sendiri yang lepas kendali pada Mike yang malang, dan sangat menikmati bayangannya.

“Mike-schmike,” katanya lagi-lagi dengan nada penolakan. Aku tersenyum lebar.

Kemudian dia berjalan menjauh. Tanpa memikirkan tindakanku, aku menangkap belakang mantelnya. Dia tersentak berhenti.

“Memangnya kau mau pergi kemana?” Aku hampir marah karena dia meninggalkanku. Aku masih belum puas bersama dengannya. Dia tidak bisa pergi, jangan dulu.

“Pulang,” jawabnya bingung, tidak mengerti kenapa itu membuatku kesal.

“Apa tadi kau tidak dengar aku berjanji mengantarmu pulang dengan selamat? Pikirmu aku akan membiarkanmu mengemudi dengan kondisi seperti ini?” Aku tahu dia tidak akan suka itu—pandanganku yang menilai dia lemah. Tapi aku juga butuh latihan untuk perjalanan ke Seattle. Untuk melihat, apa aku sanggup menahan diri saat berdua saja dengannya di ruang tertutup. Perjalanan yang ini cukup singkat untuk latihan.

“Kondisi seperti apa?” protesnya. “Lalu trukku bagaimana?”

“Akan kuminta Alice mengantarnya sepulang sekolah nanti.” Dengan hati-hati aku menariknya mundur ke mobilku. Aku mesti hati-hati karena berjalan maju saja sudah cukup sulit buatnya.

“Lepaskan!” Protesnya sambil memutar badan dan hampir tersandung. Aku mengulurkan satu tangan, tapi dia sudah berhasil menyeimbangkan diri sebelum pertolonganku dibutuhkan. Tidak seharusnya aku mencari-cari alasan untuk menyentuhnya. Itu membuatku teringat pada reaksi Ms. Cope, tapi aku menundanya untuk kupikirkan nanti. Ada banyak hal yang mesti dipertimbangkan menyangkut soal itu.

Kulepaskan dia sesampainya di samping mobil, dan ia tersandung pintunya. Aku harusnya lebih hati-hati lagi melihat keseimbangannya yang seperti itu...

“Kau kasar sekali!”

“Pintunya tidak dikunci.”

Aku masuk ke sisi pengemudi dan menyalakan mesinnya. Dia tetap ngotot berdiri diluar meski hujan mulai deras dan aku tahu dia tidak suka dingin dan basah. Rambut tebalnya nya mulai basah kuyup, lebih gelap hingga nyaris hitam.

“Aku sangat mampu menyetir sendiri ke rumah!”

Tentu saja dia bisa—hanya saja aku yang tidak sanggup membiarkannya pergi.

Aku menurunkan jendela dan mencondongkan badan kearahnya. “Masuklah, Bella.”

Matanya menyipit, dan tebakanku dia sedang menimbang-nimbang apa akan lari saja atau tidak.

“Aku tinggal menyeretmu lagi,” kataku sungguh-sungguh, menikmati ekspresi tersiksa di wajahnya saat ia menyadari aku serius.

Sesaat dia berdiri kaku, tapi kemudian membuka pintu dan masuk. Air menetes-netes dari rambutnya, sepatu bootsnya mendecit basah.

“Ini benar-benar tidak perlu,” ucapnya dingin. Sepertinya ada nada malu dibalik kejengkelannya.

Aku menyalakan penghangat agar dia merasa lebih nyaman, dan menyetel musik dengan suara pelan sebagai background. Aku mengemudikan mobilku keluar parkiran, sambil memperhatikan dia dari ujung mataku. Bibir bawahnya sedikit maju dengan ekspresi keras kepala. Aku memperhatikannya baik-baik, mempelajari bagaimana dampaknya pada perasaanku... mengingat kembali reaksi Ms. Cope...

Tahu-tahu dia melihat ke arah tapeku dan tersenyum, matanya melebar. “Clair de Lune?” Tanyanya.

Pecinta musik klasik? “Kau tahu Debussy?”

“Tidak terlalu,” jawabnya. “Ibuku sering menyetel musik klasik—aku cuma tahu yang kusuka.”

“Ini juga salah satu kesukaanku.” Aku memperhatikan hujan di luar, mempertimbangkan hal itu. Ternyata aku punya kesamaan dengan gadis ini. Sebelumnya aku berpikir bahwa kami berdua bertolak belakang dalam segala hal. Dia terlihat lebih santai, memperhatikan hujan diluar sepertiku. Aku menggunakan kesempatan ini untuk bereksperimen dengan bernapas.

Aku menarik napas hati-hati lewat hidung. Pekat.

Kucengkram roda kemudi lebih kencang. Hujan membuat aromanya lebih harum. Aku tidak pernah berpikir bisa seperti itu. Sial, tiba-tiba jadi membayangkan bagaimana rasanya. Aku berusaha menelan rasa terbakar di tenggorokanku, memikirkan hal lain.

“Ibumu seperti apa?” Aku bertanya untuk mengalihkan perhatian.

Bella tersenyum. “Dia sangat mirip denganku, tapi lebih cantik.”

Aku ragu itu.

“Terlalu banyak Charlie dalam diriku,” dia melanjutkan. “Ibuku punya sifat lebih terbuka, dan lebih berani.”

Aku juga ragu itu.

“Dia tidak terlalu bertanggung jawab dan agak eksentrik, dan dia juru masak yang sangat payah. Dia teman baikku.” Suaranya berubah sayu; keningnya mengerut. Lagi, dia terdengar lebih seperti orangtua ketimbang anak.

Aku berhenti di depan rumahnya, terlambat untuk khawatir darimana mana aku bisa tahu rumahnya. Tidak, ini tidak akan terlalu mencurigakan di kota kecil seperti ini, apalagi dengan ayahnya yang kepala polisi...

“Berapa umurmu, Bella?” Dia pasti lebih tua dari penampilannya. Mungkin dia terlambat masuk sekolah, atau pernah tinggal kelas...kalau itu sepertinya tidak.

“Tujuh belas.”

“Kau tidak kelihatan seperti berumur tujuh belas.”

Dia tertawa.

“Kenapa?”

“Ibuku selalu bilang aku terlahir dengan umur 35 tahun dan makin mendekati paruh baya tiap tahunnya.” Dia tertawa lagi, dan mendesah. “Well, harus ada yang menjadi orang dewasanya.”

Itu menjelaskan beberapa hal. Aku bisa melihatnya sekarang...bagaimana seorang ibu yang tidak terlalu bertanggung jawab menjelaskan kedewasaannya Bella. Dia harus dewasa lebih cepat, untuk menjadi pengawas. Itulah kenapa dia tidak suka diurus—dia merasa itu tugasnya.

“Kau sendiri tidak kelihatan seperti murid SMA,” katanya, membuyarkan lamunanku.

Aku menyeringai. Dari segala yang kutangkap tentang dia, dia menangkap lebih banyak tentang diriku. Aku buru-buru mengganti topik.

“Jadi kenapa ibumu menikah dengan Phil?”

Dia ragu sejenak sebelum menjawab. “Ibuku...dia sangat muda untuk umurnya. Kurasa Phil membuatnya merasa lebih muda lagi. Dalam beberapa hal, ibuku tergila-gila padanya.”

Dia menggeleng dengan tatapan senyum.

“Apa kau setuju?”

“Apa itu penting? Aku ingin dia bahagia...dan Phill lah yang ia mau.”

Ketidak egoisan tanggapannya mungkin akan mengejutkan aku, kecuali bahwa hal itu sangat cocok dengan kepribadiannya yang telah kupelajari.

“Kau baik sekali...aku jadi berpikir...”

“Apa?”

“Apa dia juga akan bersikap sama denganmu? Tidak perduli siapapun pilihanmu?”

Itu pertanyaan konyol, dan aku tidak bisa membuat suaraku tetap santai saat menanyakannya. Sungguh bodoh mempertimbangkan ada orang tua yang akan merestui anaknya denganku. Lebih bodoh lagi berpikir bahwa Bella mau memilihku.

“Aku...aku rasa begitu,” jawabnya terbata-bata, mungkin karena tatapanku. Takut... Atau tertarik?

“Tapi dia lah yang jadi orangtua. Jadi agak beda,” lanjutnya.

Aku tersenyum kecut. “Berarti dilarang jika orangnya terlalu menyeramkan.”

Dia menyeringai padaku. “Apa maksudmu menyeramkan? Banyak tindikan di wajah dan tatoo di sekujur badan?”

“Kurasa itu salah satu definisinya.” Definisi yang jauh dari mengerikan kalau buatku.

“Lantas apa definnisimu?”

Dia selalu menanyakan pertanyaan yang keliru. Atau lebih bisa dibilang pertanyaan yang tepat. Sesuatu yang tidak ingin kujawab, dalam kondisi apapun.

“Menurutmu apa aku bisa menyeramkan?” tanyaku padanya sambil berusaha tersenyum.

Dia mempertimbangkan dulu sebelum menjawabnya dengan nada serius.

“Hmmm...kupikir kau bisa, kalau mau.”

Aku juga serius. “Apa sekarang kau takut padaku?”

Dia langsung menjawab, kali ini tanpa dipikir. “Tidak.”

Aku jadi lebih mudah tersenyum. Aku tidak berpikir dia sepenuhnya jujur, tapi dia juga tidak sepenuhnya bohong. Paling tidak dia tidak terlalu takut hingga ingin pergi. Aku bertanya-tanya bagaimana perasaannya jika kuberitahu bahwa dia sedang bicara dengan seorang vampir. Aku buru-buru membuang bayangan itu.

“Jadi, apakah sekarang kau mau cerita tentang keluargamu? Pasti jauh lebih menarik daripada ceritaku.”

Lebih menakutkan, paling tidak.

“Apa yang ingin kau ketahui?” Aku bertanya waspada.

“Keluarga Cullen mengadopsimu?”

“Ya.”

Dia bimbang sebentar, kemudian bicara dengan suara pelan. “Apa yang terjadi dengan orangtuamu?”

Ini tidak terlalu sulit; bahkan aku tidak perlu berbohong. “Mereka sudah lama meninggal.”

“Oh, maaf,” gumamnya, jelas khawatir telah melukaiku. Dia mengkhawatirkan aku.

“Aku tidak terlalu ingat mereka,” aku meyakinkannya. “Sejak lama Carlisle dan Esme sudah jadi orangtuaku.”

“Dan kau menyayangi mereka?”

Aku tersenyum. “Ya. Aku tidak bisa membayangkan dua orang yang lebih baik.”

“Kau sangat beruntung.”

“Aku tahu.” Dalam kondisi itu, soal orangtuaku, keberuntunganku tidak bisa diingkari.

“Dan saudara-saudaramu?”

Jika aku membiarkannya bertanya lebih jauh, aku terpaksa berbohong. Aku melirik ke jam, kecewa karena karena waktuku dengan dia hampir habis.

“Saudara-saudaraku, Jasper dan Rosalie, akan kesal jika harus berdiri di tengah hujan menungguku.”

“Oh, iya, sori, sepertinya kau harus pergi.”

Dia tidak bergerak. Dia tidak ingin cepat-cepat berakhir juga. Aku sangat, sangat suka itu.

“Dan kau mungkin juga ingin trukmu kembali sebelum ayahmu pulang, jadi kau tidak perlu cerita tentang insiden di kelas biologi tadi.” Aku menyeringai teringat bagaimana dia merasa malu tadi dalam gendonganku.

“Aku yakin dia sudah dengar. Tidak ada rahasia di Forks.” Dia menyebut nama kota Forks dengan nada sebal yang kentara.

Aku tertawa mendengar ungkapannya. Tidak ada rahasia, tentu saja. “Selamat bersenang-senang di pantai.” Aku melihat ke hujan yang turun deras, tahu cuaca seperti ini tidak akan berlangsung lama, dan beraharap—lebih dari biasanya—bahwa cuaca akan seperti ini terus. “Cuaca nya bagus untuk berjemur.” Paling tidak akan begitu pada hari sabtu. Dia akan menikmati itu.

“Apa aku akan bertemu dengamu besok?”

Perasaan khawatir di nadanya membuatku senang.

“Tidak. Emmet dan aku memulai akhir pekan lebih awal.” Sekarang aku marah pada diriku sendiri karena telah membuat rencana itu. Aku bisa membatalkannya...tapi dengan kondisi seperti ini, tidak ada lagi istilah terlalu banyak berburu. Dan keluargaku sudah cukup khawatir dengan tingkahku tanpa perlu kutunjukan betapa obsesifnya aku sekarang.

“Apa yang kalian lakukan?” tanyanya, kedengarannya tidak terlalu senang dengan rencanaku. Itu juga bagus.

“Kami mau hiking ke Goat Rocks Wilderness, sebelah selatan Rainier.” Emmet sangat bernafsu dengan musim beruang.

“Oh. Kalau begitu selamat besenang-senang.” Dia mengatakannya setengah hati. Ketidak semangatannya lagi-lagi membuatku senang.

Saat memandangnya, aku merasa menderita pada pikiran akan berpisah dengannya walau hanya untuk sebentar. Dia terlalu lembut dan rapuh. Rasanya terlalu ceroboh untuk melepasnya dari pengawasanku. Apapun bisa terjadi padanya. Dan tetap saja, hal yang paling buruk yang mungkin terjadi, adalah hal yang diakibatkan jika bersama denganku.

“Maukah kau melakukan sesuatu untukku akhir pekan ini?” Tanyaku serius.

Dia mengangguk, matanya melebar dan bertanya-tanya pada kesungguhanku. Buat tetap santai.

“Jangan tersinggung, tapi kau sepertinya tipe orang yang menarik bahaya seperti magnet. Jadi...cobalah untuk tidak jatuh ke laut atau terlindas apapun, oke?”

Aku tersenyum sebentar, berharap dia tidak melihat kesedihan di mataku. Kuharap keadaan dia jauh lebih baik saat jauh dariku, tidak perduli apa yang akan terjadi padanya disana.

Lari, Bella, lari. Aku terlalu mencintaimu, demi kebaikanmu dan aku.

Dia tersinggung dengan ucapanku. “Akan kuusahakan,” ucapnya ketus sambil mendelik marah kemudian meloncat keluar kebawah guyuran hujan dan membanting pintunya keras-keras. Mirip kucing marah yang berpikir dirinya adalah seekor macan.

Aku membuka telapak tanganku, melirik kunci yang ada di genggamanku, yang baru saja kuambil dari kantong jaketnya, kemudian sambil tersenyum melihat dia berjalan menjauh.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah menjadi reader blog ini...
Jika ingin men-share link silakan...
Tidak perlu bertanya kapan episode selanjutnya, kalau memang sudah selesai pasti akan langsung diupdate...
DAN MOHON UNTUK TIDAK MENG-COPYPASTE SINOPSIS DARI BLOG INI...

Sapaan di Tahun 2018

Assalamu'alaikum kawan, apa kabarnya? Buat teman-teman muslim Selamat Menjalankan Ibadah Puasa.