Kesulitan
Kami berdua berjalan bersama-sama menuju kelas Biologi. Aku berusaha fokus pada momen ini, pada gadis di sampingku, pada apa yang nyata dan solid, pada apapun yang bisa menjauhkan dari penglihatan palsunya Alice.
Kami meleweati Angela Weber, yang sedang berlama-lama di lorong. Dia sedang mendiskusikan sebuah tugas bersama dengan seorang cowok dari kelas trigono. Aku cuma mengamati pikirannya sekilas, mengira akan kecewa lagi, namun aku justru kaget karena mendapati nuansanya yang sayu.
Ah, ternyata ada juga yang Angela inginkan. Sayangnya, itu bukan sesuatu yang bisa dibungkus dan dikirim dengan mudah. Aku jadi merasa lebih tenang setelah mendengar kerinduan terpendam Angela. Aku bisa mengerti keputus-asaan dia.
Dan saat itu juga aku merasa senasib dengannya. Walau aneh, aku merasa terhibur karena tahu aku bukan satu-satunya yang mengalami kisah cinta yang tragis. Patah hati ada dimana-mana.
Detik berikutnya aku jadi marah. Tidak seharusnya kisah Angela berakhir tragis. Dia manusia, pujaannya juga manusia. Dan perbedaan mereka yang menurut dia tidak bisa ditanggulangi adalah konyol. Benar-benar konyol jika dibandingkan dengan situasiku. Patah hatinya tidak beralasan. Kesedihan yang sia-sia, tidak ada alasan bagi dia untuk tidak bisa bersama orang yang ia inginkan. Kenapa dia tidak bisa mendapatkan yang ia inginkan? Kenapa kisah cintanya tidak bisa berakhir bahagia? Aku sudah berniat memberinya hadiah...
Well, aku akan memberi dia apa yang dia inginkan. Dengan kemampuan alamiku, mungkin itu tidak akan terlalu sulit.
Aku ganti mengamati pikiran cowok disampingnya, pemuda dambaannya. Dan sepertinya anak itu bukannya tidak tertarik, hanya saja dia juga terkendala oleh kesulitan yang sama dengan Angela. Tidak punya harapan dan sudah menyerah duluan. Yang perlu kulakukan cuma merencanakan sesuatu untuk mendorong mereka...
Rencana itu pun langsung terbentuk dengan mudah, naskahnya tersusun begitu saja. Aku butuh bantuan Emmet—membujuknya untuk mau terlibat adalah satu-satunya kesulitan. Sifat manusia jauh lebih mudah untuk dimanipulasi ketimbang vampir. Aku puas dengan rencanaku, dengan hadiahku untuk Angela. Itu pengalihan yang menyenangkan dari masalahku sendiri. Seandainya saja masalahku bisa diatasi semudah itu.
Moodku sedikit lebih baik saat aku dan Bella duduk di tempat kami. Mungkin sebaiknya aku lebih optimis. Mungkin di luar sana ada solusi yang terlewatkan olehku, sama seperti solusi sederhana Angela yang tidak terlihat olehnya. Mungkin tidak terlalu mirip...tapi kenapa mesti membuang-buang waktu dengan berputus asa? Aku tidak punya banyak waktu untuk disia-siakan jika menyangkut tentang Bella. Setiap detik berharga.
Mr. Banner masuk sambil menarik meja beroda yang diatasnya terdapat TV dan VCR kuno. Dia melompati satu bab pelajaran yang menurut dia tidak menarik—kelainan genetis—dengan memutar film selama tiga hari kedepan. Lorenzo's Oil bukan film yang terlalu riang, tapi itu tidak mengendurkan semangat seisi kelas. Tidak ada catatan, tidak ada bahan tes. Tiga hari bebas. Kesukaan manusia. Bagiku sendiri tidak terlalu penting. Aku tidak berencana memperhatikan apapun selain Bella.
Hari ini aku tidak menarik kursiku menjauh. Biasanya aku melakukannya untuk memberi ruang buat bernapas. Sebagai gantinya, aku duduk di dekatnya seperti yang dilakukan manusia normal. Lebih dekat dari saat duduk di mobil, cukup dekat hingga sisi kiri tubuhku terbenam ke dalam kehangatan dari kulitnya. Itu pengalaman yang ganjil, menyenangkan sekaligus mendebarkan, tapi aku lebih menyukai ini ketimbang duduk di sebrang meja seperti di kafetaria. Ini melebihi dari yang biasa kudapat, namun tetap saja aku langsung menyadari bahwa ini masih belum cukup. Aku belum puas. Berada sedekat ini dengannya hanya membuatku ingin berada lebih dekat lagi. Aku telah menuduhnya sebagai magnet bagi mara bahaya. Saat ini terasa seperti itulah arti harfiahnya. Aku adalah bahaya, dan, dengan setiap inchi lebih dekat dengannya, daya tariknya jadi semakin kuat.
Kemudian Mr. Varner mematikan lampu. Rasanya aneh bagaimana itu membuat situasinya jadi lain, padahal kegelapan tidak terlalu berdampak buat mataku. Aku masih bisa melihat seterang dan sejelas seperti sebelumnya. Setiap detail dalam ruangan ini terlihat sangat jelas. Jadi, kenapa mendadak muncul aliran listrik yang menyengat tubuhku? Apakah karena aku tahu cuma aku satu-satunya yang masih bisa melihat dengan jelas? Bahwa Bella dan aku tidak terlihat oleh orang lain? Seperti kami sedang sendirian, hanya berdua saja, tersembunyi di kegelapan, duduk bersebelahan begitu dekat...
Tahu-tahu tanganku sudah bergerak ke arahnya tanpa bisa kukontrol. Hanya untuk menyentuh tangannya, untuk menggenggamnya di tengah kegelapan. Apa itu bisa jadi kesalahan yang mengerikan? Jika kulit dinginku mengganggu, dia cuma tinggal menarik tangannya...
Kutarik tanganku lagi, kudekap lenganku rapat-rapat di dada, dan mengepalkan tangan. Tidak boleh ada kesalahan. Aku sudah berjanji dengan diriku untuk tidak membuat kesalahan, tidak peduli seberapa kecil kelihatannya. Jika aku memegang tangannya, aku hanya akan meminta lebih lagi—sentuhan lain yang tidak berdasar, gerakan lain yang lebih dekat. Aku bisa merasakan itu. Jenis hasrat yang baru, berkembang di dalam diriku, berusaha menembus pengendalianku.
Tidak boleh ada kesalahan. Bella juga mendekap lengannya di dada. Tangannya juga terkepal. Apa yang kau pikirkan? Aku sangat ingin membisikkan kata-kata itu, tapi ruangannya terlalu sunyi untuk menyamarkan bisikan sekalipun.
Filmnya dimulai, memberi tambahan penerangan sedikit. Bella melirik. Dia menyadari kekakuan posisi badanku—seperti badannya—dan tersenyum. Bibirnya sedikit merekah, dan matanya terlihat hangat mengundang. Atau, barangkali aku melihat apa yang ingin kulihat.
Aku tersenyum balik; dia seperti kehabisan napas dan buru-buru berpaling. Itu membuatnya lebih buruk. Aku tidak tahu pikirannya, tapi aku jadi yakin dugaanku tepat, bahwa dia ingin aku menyentuhnya. Dia merasakan hasrat berbahaya ini sama seperti diriku.
Aliran listrik mengalir diantara badanku dan dia. Selama sisa pelajaran dia tidak bergerak sama sekali, terus mendekap lengannya rapat-rapat, sama seperti aku juga terus mendekap lenganku. Sesekali dia melirik, dan segera saja aliran listrik yang lebih kuat menyambarku.
Satu jam berlalu lambat. Ini pengalaman baru. Aku tidak keberatan duduk begini terus selama berhari-hari hanya untuk menikmati sensasi ini sepenuhnya. Bermacam pikiran berkecamuk dalam kepalaku selama menit demi menit berlalu. Rasionalitasku bergumul dengan hasratku sementara aku berusaha mencari pembenaran untuk bisa menyentuhnya.
Akhirnya Mr Varner menyalakan lampu lagi. Dalam terang, atmosfer ruangan kembali normal. Bella menghela napas dan melepaskan dekapannya, kemudian melemaskan jemarinya. Pasti tidak nyaman buat dia bertahan di posisi itu selama tadi. Sebaliknya buatku sangat mudah—diam mematung sudah jadi sifat alamiku.
Aku tertawa geli melihat ekspresi lega di wajahnya. “Well, tadi itu menarik.”
“Hmmm,” gumamnya. Jelas dia mengerti apa yang kumaksud, tapi tidak berkomentar.
Itu jadi membuatku tidak bisa mendengar apa yang sedang dipikirkan dia saat ini. Aku menghela napas. Berharap seperti apapun tetap tidak akan membantu.
“Yuk?” ajakku sambil berdiri.
Dia mengerutkan muka dan bangkit dengan agak terhuyung, tangannya mencari-cari pegangan supaya tidak jatuh. Aku bisa menawarkan tanganku. Atau aku bisa memegangi sikunya hingga dia bisa berdiri seimbang. Tentu itu bukan pelanggaran yang terlalu berat...
Tidak boleh ada kesalahan. Dia sangat pendiam saat kami berjalan ke ruang gimnasium. Kerut diantara matanya jadi bukti bahwa dia sedang berpikir keras. Aku sendiri juga sedang bepikir keras. Satu sentuhan saja tidak akan menyakiti dia. Sisi egoisku masih saja bersikeras. Aku bisa dengan mudah mengatur tekanan sentuhanku. Itu sama sekali tidak sulit, selama aku bisa mengontrol diriku sepenuhnya. Indera perabaku jauh lebih sensitif dibanding manusia; aku bisa berjuggling dengan selusin gelas kristal tanpa memecahkan gelas-gelas itu; aku bisa memegang gelembung sabun tanpa memecahkannya. Selama aku bisa mengontrol diriku...
Bella seperti gelembung sabun—rapuh dan tidak abadi. Sampai berapa lama lagi aku bisa membenarkan kehadiranku dalam hidupnya? Berapa banyak waktu yang kupunya? Akankah ada kesempatan lain seperti kesempatan ini, seperti saat ini, seperti detik ini? Bella tidak selalu bisa berada dalam jangkauan tanganku seperti ini...
Sesampainya di depan ruang gimnasium, dia berbalik menghadapku. Matanya melebar saat melihat ekspresi wajahku. Dia tidak bicara. Kuamati bayangan diriku yang terpantul di matanya, dan melihat pergumulan dalam diriku. Aku menyaksikan bagaimana wajahku berubah saat sisi baikku kalah dalam peperangan itu. Dan tanganku sudah terangkat begitu saja. Selembut seakan dia terbuat dari kaca yang paling tipis, seakan dia serapuh gelembung sabun, jari-jariku membelai kulit pipinya yang hangat. Dibawah sentuhanku, pipinya jadi memanas, dan bisa kurasakan denyut darahnya semakin cepat dibalik kulitnya yang bening.
Cukup, perintahku, meski tanganku masih ingin meneruskan belaiannya ke sisi wajahnya yang lain. Cukup. Rasanya sulit untuk menarik tanganku, untuk menghentikan diriku agar tidak lebih mendekat lagi ke dia. Tapi aku berhasil melakukannya.
Dan dalam sekejapan itu beribu pilihan yang berbeda berkecamuk dalam pikiranku—beribu pilihan cara untuk menyentuhnya. Ujung jariku menelusuri bentuk bibirnya. Telapak tanganku mengusap dagunya. Mengambil sejumput rambutnya dengan tanganku. Lenganku melingkari pinggangnya, merangkulnya dalam dekapanku.
Cukup.
Aku memaksa diriku untuk berbalik, untuk menjauh darinya. Badanku bergerak kaku—ingin menolak. Kubiarkan pikiranku tertinggal di belakang untuk mengawasi Bella saat aku berlalu menjauh, hampir lari untuk menghindari godaannya. Aku menangkap pikiran Mike Newton—itu yang paling berisik—sementara dia menyaksikan Bella berjalan linglung melewatinya.
Mata Bella tidak fokus dan pipinya merah. Mike mendelik, dan tiba-tiba namaku bercampur dengan sumpah serapah di kepalanya; aku tidak tahan untuk tidak menyeringai menanggapi itu.
Tanganku masih seperti tersengat listrik. Aku melemaskan dan mengepalkan, tapi tetap saja sengatan itu tetap ada. Tidak, aku tidak menyakiti dia—tapi menyentuhnya tetap sebuah kesalahan. Rasanya seperti api—seperti haus yang biasanya membakar tenggorokanku telah menyebar ke sekujur tubuh.
Lain kali, saat berada di dekatnya, mampukah aku mengendalikan diri untuk tidak menyentuhnya lagi? Dan jika sudah menyentuhnya satu kali, sanggupkah aku berhenti sampai disitu saja?
Tidak boleh ada kesalahan lagi. Titik. Nikmati saja kenangannya, Edward, aku memberitahu diriku dengan muram, dan jaga tanganmu untuk dirimu sendiri. Pilihannya itu, atau aku harus memaksa diriku untuk pergi...entah bagaimana caranya. Karena aku tidak boleh berada di dekatnya jika terus-terusan membuat kesalahan.
Aku mengambil napas panjang dan menenangkan pikiran. Aku bertemu Emmet di depan kelas bahasa Spanyol.
“Hai, Edward.” Dia terlihat lebih baik. Aneh, tapi lebih baik. Bahagia.
“Hai, Em.” Apa aku terlihat bahagia? Sepertinya begitu, terlepas dari kekacauan di dalam kepalaku, aku merasa begitu.
Sebaiknya kau hati-hati, kid. Rosalie ingin merobek mulutmu.
Aku mendesah. “Sori aku membuatmu harus menghadapi kemarahannya. Apa kau marah denganku?”
“Tidak. Lama-lama Rose juga akan lupa. Biar bagaimanapun memang sudah seharusnya itu terjadi.” Dengan apa yang dilihat Alice bakal terjadi...
Mengingat penglihatan Alice bukan sesuatu yang kubutuhkan saat ini. Aku memandang lurus kedepan, gigiku terkunci rapat.
Saat sedang mencari pengalih perhatian, Ben Cheney masuk ke kelas mendului kami. Ah—ini kesempatanku untuk memberi hadiah ke Angela Weber.
Aku berhenti dan menangkap lengan Emmet. “Tunggu sebentar.”
Ada apa?
“Aku tahu aku tidak pantas mendapatkannya, tapi maukah kau menolongku?”
“Menolong bagaimana?” tanyanya penasaran.
Di bawah napasku—dan dengan kecepatan yanag tidak mungkin diikuti pendengaran manusia, tidak peduli seberapa keras kata-kata itu diucapkan—kujelaskan padanya apa yang kumau.
Dia terlongo. Pikirannya sama kosongnya dengan wajahnya.
“Jadi?” bisikku. “Kamu mau membantuku?”
Butuh semenit buatnya untuk merespon. “Tapi, kenapa?”
“Ayolah, Emmet. Kenapa tidak?”
Siapa kau dan apa yang kau lakukan terhadap saudaraku?
“Bukankah kau selalu mengeluh bahwa sekolah selalu saja membosankan? Ini sesuatu yang berbeda, kan? Anggap saja ini sebagai eksperimen—eksperimen terhadap sifat dasar manusia.”
Dia memandangku sebentar sebelum menyerah. “Well, ini memang berbeda, kuakui itu... Baiklah kalau begitu.” Emmet mendengus lalu mengangkat bahu. “Aku akan membantumu.”
Aku tersenyum padanya. Kini aku jadi lebih bersemangat dengan rencanaku setelah Emmet setuju untuk terlibat. Rosalie memang selalu menjengkelkan, tapi aku akan selalu berhutang padanya karena telah memilih Emmet; tidak ada yang memiliki saudara lebih baik ketimbang diriku.
Emmet tidak butuh latihan. Aku membisikkan sekali lagi baris-baris skenario miliknya pada saat kami masuk ke dalam kelas.
Ben sudah duduk di belakangku. Dia sedang mencari-cari tugasnya untuk dikumpulkan. Emmet dan aku duduk dan melakukan hal yang sama. Kelas masih belum sepenuhnnya tenang; gumaman orang-orang yang saling ngobrol tidak akan berhenti sampai Mrs. Goff menyuruh mereka diam. Dia sendiri tidak buru-buru, dia sedang memberi nilai tes kelas sebelumnya.
“Jadi,” ujar Emmet dengan suara lebih keras dari yang dibutuhkan—jika dia memang berniat bicara hanya padaku. “Apa kau sudah mengajak Angela Weber kencan?”
Suara kesibukan di belakangku tiba-tiba terhenti, perhatian Ben terpaku pada pembicaraanku dan Emmet.
Angela? Mereka sedang membicarakan Angela?
Bagus. Aku berhasil menarik perhatiannya.
“Belum,” jawabku sambil menggeleng agar terlihat menyesal.
“Kenapa belum?” Emmet berimprovisasi, “Apa kau takut?”
Aku meringis padanya. “Bukan karena itu. Kudengar dia tertarik dengan orang lain.”
Edward Cullen ingin mengajak Angela kencan? Tapi... Tidak. Aku tidak suka itu. Aku tidak mau dia dekat-dekat Angela. Dia...tidak pantas untuk Angela. Tidak...aman.
Aku tidak menduga yang muncul adalah insting untuk melindungi. Yang kurencanakan adalah cemburu. Tapi apapun itu sama saja.
“Kau membiarkan itu menghentikanmu?” tanya Emmet mengejek, berimprovisasi lagi.
“Kau tidak mau bersaing?”
Aku mendelik padanya, “Bukan begitu. Kurasa dia sudah terlanjur suka dengan seorang bocah bernama Ben, salah satu dari teman-temannya. Aku tidak mau berusaha meyakinkan dia yang sebaliknya. Masih ada gadis-gadis lain.”
Reaksi di belakangku menggemparkan.
“Ben siapa?” tanya Emmet, kembali ke naskahnya.
“Kalau tidak salah pasangan labku bilang namanya Ben Cheney. Aku tidak tahu pasti yang mana orangnya.”
Aku menahan senyumku. Hanya keluarga Cullen yang sombong yang bisa lolos saat pura-pura tidak kenal setiap murid di sekolahan yang kecil ini.
Pikiran Ben berkecamuk tidak karuan. Aku? Daripada Edward Cullen? Tapi kenapa dia bisa suka denganku?
“Edward,” Emmet berbisik dengan suara rendah, melirik ke bocah di belakangku. “Dia tepat di belakangmu,” mimiknya dibuat sedemikian rupa hingga si Ben bisa dengan mudah membaca kata-katanya.
“Oh.”
Aku berbalik ke belakang dan mendelik ke bocah itu. Untuk sesaat, tatapan di balik kacamata itu ketakutan, tapi kemudian dia menegakkan pundaknya, merasa tersinggung karena diremehkan. Mukanya memerah karena marah.
“Huh,” dengusku arogan kemudian kembali menoleh ke Emmet.
Dia pikir dia lebih baik dariku. Tapi Angela tidak berpikir begitu. Akan kubuktikan ke orang sombong ini...
Sempurna.
“Tapi, bukannya katamu Angela mengajak si Yorkie ke pesta dansa nanti?” tanya Emmet sambil mendengus ketika menyebut nama bocah yang sering ia cemooh karena kecanggungannya.
“Nampaknya itu keputusan dia bersama teman-teman perempuannya.” Aku ingin meyakinkan bahwa Ben betul-betul mengerti tentang hal ini. “Angela itu pemalu. Jika B—well, jika seorang laki-laki tidak punya nyali untuk mengajaknya kencan, Angela tidak akan pernah mengajaknya.”
“Kau sendiri suka dengan gadis yang pemalu.” Emmet kembali berimprovisasi. Gadis yang pemalu. Gadis seperti...hmm, aku tidak tahu. Mungkin Bella Swan?
Aku menyeringai padanya. “Tepat.” kemudian aku kembali ke pertunjukan ini.
“Mungkin Angela akan capek menunggu. Mungkin aku akan mengajaknya ke pesta prom.”
Tidak, kau tidak akan. Batin Ben sambil menegakkan duduknya. Memang kenapa kalau dia lebih tinggi dariku? Jika dia sendiri tidak peduli, begitu pula aku. Angela adalah orang yang paling baik, paling cerdas, dan paling cantik di sekolahan ini...dan dia menginginkan aku.
Aku suka dengan Ben. Kelihatannya dia cerdas dan baik hati. Cukup pantas untuk perempuan seperti Angela.
Aku mengacungkan ibu jari ke Emmet dari bawah meja. Dan saat bersamaan Mrs. Goff berdiri, mengucapkan salam ke kelas.
Oke, kuakui—tadi itu menyenangkan, batin Emmet.
Aku tersenyum sendiri, senang telah berhasil membuat satu kisah cinta berakhir bahagia. Aku sangat yakin Ben akan melanjutkan niatnya, dan Angela akan menerima hadiahku. Hutangku telah lunas.
Betapa menggelikannya manusia, menjadikan perbedaan tinggi enam inchi mengacaukan kebahagiaan mereka.
Kesuksesan rencana tadi mengembalikan suasana hatiku jadi baik. Aku tersenyum lagi seraya duduk lebih nyaman, siap-siap untuk terhibur. Bagaimanapun, seperti yang Bella katakan, aku belum pernah melihat dia di kelas olahraga.
Pikiran Mike lebih mudah ditemui diantara dengungan suara-suara disana. Pikirannya jadi terlalu familiar selama satu minggu ini. Dengan mengeluh aku mengalah untuk mendengarkan lewat dia. Paling tidak aku tahu dia akan memperhatikan Bella.
Aku mendengarkan tepat saat dia menawarkan diri jadi pasangan badminton Bella; saat bersamaan, bentuk berpasangan yang lain terlintas di kepala Mike. Senyumku lenyap, gigiku terkatup erat, dan aku mesti mengingatkan diriku bahwa membunuh Mike Newton bukan sesuatu yang bisa dimaafkan.
“Terima kasih, Mike—kau tahu, kau tak perlu melakukannya.”
“Jangan khawatir, aku tidak akan mengganggumu.”
Mereka saling senyum satu sama lain. Dan di kepala Mike berkelebatan berbagai insiden sebelumnya di kelas olahraga—selalu saja dengan berbagai cara berhubungan dengan Bella.
Awalnya Mike bermain sendirian, Bella cuma berdiri enggan di belakang lapangan, memegangi raketnya hati-hati seakan itu senjata. Kemudian Coach Clapp menyuruh Mike memberi Bella kesempatan main.
Oh, aduh, batin Mike saat Bella melangkah maju sambil mengeluh. Dia memegang raketnya dengan canggung. Jenifer Ford sengaja mengarahkan servis langsung ke Bella. Mike melihat Bella maju menghadang tapi ayunan raketnya jauh dari sasaran. Mike pun buru-buru mengejar koknya.
Pada saat itu aku melihat arah ayunan raket Bella dengan ngeri. Dan benar saja, raketnya mengenai ujung atas net dan memantul kembali ke dia, memukul keningnya sebelum kemudian terpelintir dan mengenai bahu Mike dengan suara keras.
Ow. Ow. Aduh. Itu pasti akan meninggalkan bekas. Bella mengelus-elus keningnya. Rasanya sulit untuk tetap tinggal di tempatku, mengetahui dia terluka. Tapi apa yang bisa kulakukan jika disana? Dan kelihatannya tidak
terlalu serius...
Aku menahan diri dan tetap mengawasi saja. Jika dia berniat untuk tetap melanjutkan, aku akan mencari alasan untuk mengeluarkan dia dari kelas.
Coach Clapp tertawa. “Sori, Newton.” Gadis itu adalah orang paling ceroboh yang pernah kulihat. Sebaiknya tidak perlu membuat yang lain jadi korbannya.
Dia sengaja memunggungi Mike dan Bella, ganti mengawasi pertandingan lain supaya Bella bisa kembali jadi penonton saja.
Aduh, batin Mike lagi sambil memijat-mijat tangannya. Dia menoleh ke Bella. “Apa kau tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa, kau sendiri?” tanyanya malu, mukanya merah.
“Kurasa aku baik-baik saja.” Jangan sampai kedengaran seperti anak cengeng. Tapi ya ampun, ini sakit!
Mike mengayun-ngayunkan tangannya sambil meringis.
“Aku akan tinggal di belakang sini saja.” Bella terlihat malu daripada sakit. Mungkin Mike yang kena pukul lebih keras.
Aku jelas berharap itu yang terjadi. Paling tidak Bella tidak ikut main lagi. Dia memegang raketnya sangat hati-hati di belakang punggung, matanya melebar menyesal... Aku menyamarkan tawaku sebagai batuk.
Apa yang lucu? Emmet ingin tahu.
“Nanti saja,” gumamku.
Bella tidak ikut main lagi. Coach Clapp mengabaikan dia dan membiarkan Mike bermain sendirian.
Di penghujung jam, aku sudah menyelesaikan tesnya dengan mudah. Dan Mrs. Goff mengijinkanku keluar lebih awal.
Aku mendengarkan pikiran Mike lekat-lekat selama berjalan melintasi halaman sekolah. Dia memutuskan untuk menanyakan Bella tentang aku.
Jessica bersumpah mereka berkencan. Kenapa? Kenapa Edward harus memilih Bella? Dia tidak menyadari kejadian yang sebenarnya—bahwa Bella lah yang memilih aku.
“Jadi.”
“Jadi apa?” tanya Bella bingung.
“Kau jalan dengan Cullen, heh?” Kau dengan si aneh itu. Kurasa, jika orang kaya sebegitu pentingnya buatmu...
Aku menggertakan gigi mendengar asumsinya yang merendahkan itu.
“Itu bukan urusanmu, Mike.”
Defensif. Jadi itu betul. Sial. “Aku tidak suka.”
“Memang tidak perlu,” sergah Bella marah.
Kenapa Bella tidak melihat betapa anehnya si Cullen itu? Mereka semuanya aneh. Melihat bagaimana cara dia memandang Bella membuatku merinding. “Caranya memandangmu... seolah ingin memakanmu.”
Aku ngeri menunggu respon Bella. Mukanya merah padam, dia menekan bibirnya seakan sedang menahan napas. Kemudian, tiba-tiba keluar suara tawa dari mulutnya.
Sekarang dia menertawakan aku. Sial. Mike memutar badan, dan pergi ke ruang ganti, pikirannya sunyi.
Aku bersandar ke tembok ruang gimnasium sambil berusaha mengendalikan diri. Bagaimana bisa dia menertawakan tuduhan Mike—begitu tepat sasaran hingga membuatku khawatir jangan-jangan penduduk Forks sudah jadi terlalu sadar... kenapa dia tertawa pada tebakan bahwa aku mau membunuhnya, ketika dia tahu itu sepenuhnya tepat? Apanya yang lucu dari itu? Ada apa dengan dia? Apa dia punya selera humor yang gelap? Itu tidak cocok dengan karakternya, tapi bagaimana aku bisa yakin? Atau mungkin lamunanku tentang malaikat sembrono itu ada betulnya, paling tidak di satu sisi, bahwa Bella tidak punya rasa takut sama sekali. Pemberani—itu istilah umumnya. Yang lain mungkin akan bilang dia itu bodoh, tapi aku tahu bagaimana cerdasnya dia. Namun, apapun alasannya, ketidak kenal takutan dia dan keanehan selera humornya itu, tidak baik untuk dirinya. Apakah hal itu yang membuat dia selalu berada dalam bahaya? Mungkin dia akan selalu membutuhkan kehadiranku disampingnya...
Begitu saja, dan seketika suasana hatiku sudah membumbung tinggi. Jika aku bisa mendisiplinkan diri, membuat diriku tetap aman, maka mungkin aku bisa tetap berada disampingnya.
Ketika dia berjalan menuju pintu, pundaknya terlihat kaku dan dia sedang menggigit bibirnya lagi—tanda gelisah. Tapi begitu matanya menatapku, pundaknya yang kaku langsung rileks dan senyum mengembang di wajahnya. Ekspresinya sangat damai. Dia berjalan ke arahku tanpa ragu-ragu, hanya berhenti ketika dia sudah begitu dekat hingga kehangatan badannya menyapuku seperti gelombang.
“Hai,” bisiknya.
Kebahagaiaan yang kurasakan saat ini, lagi, tidak ada bandingannya.
“Halo,” sapaku, lalu—karena moodku yang tiba-tiba jadi begitu enteng, aku tidak tahan untuk tidak menggodanya—aku menambahkan, “bagaimana kelas olahragamu?”
Senyumnya bimbang. “Baik-baik saja.”
Dia tidak pandai berbohong.
“Benarkah?” aku sudah akan melanjutkan pertanyaanku—aku masih mengkhawatirkan kepalanya; apa masih sakit?—tapi kemudian pikiran ribut Mike Newton memecah konsentrasiku.
Aku benci dia. Kuharap dia mati. Semoga mobil mewahnya terjun ke jurang. Kenapa dia harus menganggu Bella segala? Kenapa dia tidak bergaul saja dengan kaumnya sendiri—kaum orang-orang aneh.
“Apa?” desak Bella.
Mataku kembali fokus ke Bella. Dia melihat ke Mike yang memunggungi kami pergi, kemudian ke aku lagi.
“Newton membuatku kesal,” akuku.
Dia terperanjat, dan senyumnya lenyap. Dia pasti lupa aku punya kemampuan untuk mengawasi semua kekikukan dia selama satu jam tadi, atau berharap aku tidak menggunakannya. “Kau tidak sedang mendengarkan lagi, kan?”
“Bagaimana kepalamu?”
“Kau ini bukan main!” desisnya kesal, lalu pergi meninggalkanku, berjalan cepat-cepat ke parkiran. Mukanya merah padam—dia malu.
Aku megejarnya, berharap kemarahannya segera reda. Biasanya dia cepat memaafkan.
“Kau sendiri yang bilang, aku tak pernah melihatmu di kelas olahraga—aku jadi penasaran.”
Dia tidak menjawab. Dia masih tampak kesal. Sesampainya di parkiran mendadak dia berhenti saat menyadari jalan menuju mobilku terhalangi oleh kerumunan cowok.
Kira-kira seberapa cepat mobil ini di jalan bebas hambatan...
Coba lihat pedal gas SMGnya itu. Aku belum pernah melihatnya selain di majalah...
Peleknya keren...
Tentu saja, kuharap aku punya enampuluh ribu dolar di kantongku...
Ini lah sebabnya kenapa Rosalie sebaiknya hanya menggunakan mobilnya saat keluar kota saja.
Aku menyelinap diantara mereka menuju mobilku; setelah bimbang sejenak, Bella mengikuti.
“Kelewat mencolok,” gumamku saat dia masuk ke mobil.
“Mobil apa itu?”
“M3.”
Dahinya berkerut. “Aku tidak paham jenis-jenis mobil.”
“Itu keluaran BMW.” Aku memutar bola mataku, lalu fokus pada usahaku untuk mundur tanpa menyenggol siapapun. Terutama aku harus memusatkan padangan pada beberapa cowok yang kelihatannya tidak mau bergerak sama sekali. Cukup dengan setengah detik bertemu pandang denganku, mereka berhasil diyakinkan untuk minggir.
“Kau masih marah?” tanyaku padanya. Kerutan di dahinya telah lenyap.
“Jelas.”sergahnya kasar.
Aku menghela napas. Mungkin mestinya tadi aku tidak mengungkitnya. Oh, baiklah.
Kurasa aku bisa mencoba untuk minta maaf. “Maukah kau memaafkanku kalau aku meminta maaf?”
Dia mempertimbangkan sejenak. “Mungkin..., kalau kau bersungguh-sungguh.” akhirnya dia memutuskan. “Dan kalau kau berjanji tidak mengulanginya lagi.”
Aku tidak mau berbohong, dan tidak mungkin aku setuju pada hal itu. Mungkin aku bisa menawarkan janji yang lain...
“Bagaimana kalau aku bersungguh-sungguh, dan aku setuju membiarkanmu mengemudi sabtu nanti?” Aku berjengit dalam hati pada pikiran itu.
Kerut diantara matanya kembali muncul saat dia sedang mempertimbangkan tawaranku. “Setuju,” ucapnya setelah beberapa saat.
Sekarang untuk permintaan maafku... Aku belum pernah dengan sengaja mencoba membuat Bella terpesona, tapi sekarang kelihatannya waktu yang tepat. Sambil mengemudikan mobilku menjauh dari sekolahan, aku menatap lekat-lekat ke dalam matanya, bertanya-tanya apa sudah melakukannya dengan benar. Aku menggunakan nada yang paling membujuk.
“Kalau begitu aku sangat menyesal telah membuatmu marah.”
Jantungnya berdetak lebih keras dari sebelumnya, iramanya berantakan. Matanya melebar, kelihatan seperti terhipnotis.
Aku setengah tersenyum. Sepertinya aku telah melakukan dengan benar. Tentu saja, aku juga sulit berpaling dari matanya. Sama-sama terpesona. Untung aku sudah hapal jalan ini.
“Dan aku akan tiba di depan rumahmu pagi-pagi sekali sabtu nanti,” tambahku, melengkapi permintaan maafku.
Dia mengerjap beberapa kali, dan menggoyang kepalanya seperti ingin menjenihkan isinya. “Mmm,” gumamnya, “rasanya tidak terlalu membantu bila Charlie melihat volvo asing di halaman rumahnya.”
Ah, betapa masih sedikitnya pengetahuan dia tentang diriku. “Aku tidak berencana membawa mobil.”
“Bagaimana—” Dia sudah mau akan bertanya.
Tapi kusela duluan. Jawabannya sulit dijelaskan jika tanpa didemonstrasikan, dan sekarang bukan waktu yang tepat. “Jangan khawatir soal itu. Aku akan datang, tanpa mobil.”
Dia menelengkan kepala, sesaat seperti ingin bertanya lebih lanjut, tapi kemudian berubah pikiran.
“Apakah ini sudah cukup 'nanti' seperti yang kau janjikan?” Dia mengingatkan pada pembicaraan yang belum selesai di kafetaria tadi; dia melepas satu pertanyaan sulit hanya untuk kembali pada pertanyaan yang juga tidak mengenakan.
“Kurasa sudah,” jawabku enggan.
Aku parkir di depan rumahnya. Mendadak aku jadi tegang memikirkan bagaimana cara menjelaskannya...tanpa membuat sifat monsterku jadi terlihat dengan jelas, tanpa membuatnya takut. Atau, apakah menutupi sifat gelapku itu salah?
Dia menunggu dengan ekspresi tertarik yang sopan seperti tadi siang. Jika aku tidak sedang gelisah, ketenangannya yang tidak masuk akal ini pasti akan membuatku tertawa.
“Kau masih ingin tahu kenapa kau tidak bisa melihatku berburu?” tanyaku akhirnya.
“Well, aku terutama ingin tahu bagaimana reaksimu.”
“Apa aku membuatmu takut?” aku sangat yakin dia akan menyangkal.
“Tidak.”
Aku berusaha untuk tidak tersenyum, tapi gagal. “Aku minta maaf telah membuatmu takut.” Dan senyumku pun lenyap. “Hanya saja, membayangkan kau ada disana... sementara kami berburu.”
“Pasti buruk?”
Membayangkannya saja sudah terlalu mengerikan—Bella yang begitu rapuh berada di tengah kegelapan; sosokku yang lepas kendali... Aku berusaha mengusir bayangan itu.
“Sangat.”
“Karena...?”
Aku mengambil napas dalam-dalam, berkonsentrasi pada rasa haus yang membakar kerongkonganku. Merasakannya dalam-dalam, mengaturnya, membuktikan dominasiku atas sensasi itu. Rasa haus itu tidak akan pernah menguasaiku lagi—kuharap itu benar-benar bisa jadi kenyataan. Aku akan jadi lebih aman untuk Bella.
Kutatap awan yang menggantung di luar tanpa benar-benar menatapnya, berharap bisa percaya bahwa tekadku semata akan membuat perbedaan jika saat berburu aku menemukan aromanya.
“Ketika kami berburu...kami membiarkan indra mengendalikan diri kami.”
Kupertimbangkan setiap kata yang mau kuucapkan. “Tanpa banyak menggunakan pikiran. Terutama indra penciuman kami. Kalau kau berada di dekatku ketika aku kehilangan kendali seperti itu...”
Aku menggeleng dengan perasaan tersiksa, membayangkan apa yang akan—bukan apa yang mungkin, tapi apa yang akan—pasti terjadi.
Aku mendengarkan suara detak jantungnya, lalu menoleh, resah, untuk membaca matanya.
Wajah Bella nampak tenang, tatapannya sungguh-sungguh. Mulutnya sedikit mengerut—yang kuduga karena—prihatin. Tapi prihatin karena apa? Keamanan dirinya? Atau karena kegundahanku? Aku terus menatapnya, berusaha menerjemahkan ekpresi ambigunya jadi sesuatu yang pasti.
Dia menatap balik. Matanya melebar setelah beberapa saat, dan pupilnya meluas meski cahaya disini tidak berubah.
Napasku semakin cepat, dan mendadak keheningan ini berubah. Getaran yang kurasakan siang tadi memenuhi atmosfer sekelilingku. Aliran listrik yang mengalir diantara kami dan hasarat untuk menyentuhnya, dalam sekejap berkembang lebih kuat dari rasa hausku.
Aliran listrik ini membuatku seperti memiliki denyut jantung lagi. Tubuhku menari bersamanya, seakan aku manusia. Lebih dari apapun di dunia ini aku ingin merasakan kehangatan bibirnya di bibirku. Selama sekejap, aku berusaha mati-matian mencari kekuatan, untuk mengontrol diriku, untuk sanggup mendekatkan bibirku ke bibirnya...
Dia menarik napas—tersendat. Dan pada saat itulah aku sadar bahwa ketika napasku memburu, justru saat bersamaan napasnya terhenti sama sekali.
Aku memejamkan mata, berusaha memutus aliran listrik diantara kami. Tidak boleh ada kesalahan.
Keberadaan bella sangat bergantung pada ribuan keseimbangan proses kimiawi yang sensitif. Semuanya sangat mudah terganggu. Irama denyut paru-paru, aliran oksigen, adalah soal hidup-mati bagi dia. Debaran detak jantungnya yang rapuh bisa dihentikan begitu saja oleh berbagai macam insiden konyol atau oleh penyakit atau oleh...diriku.
Semua anggota keluargaku tidak akan ragu-ragu untuk menukarkan keabadian mereka kalau itu bisa membuat mereka menjadi manusia lagi. Mereka siap menantang apapun, dibakar hidup-hidup selama berhari-hari atau bahkan berabad-abad bila perlu.
Kebanyakan dari kaum kami menyanjung-nyanjung keabadian melebihi apapun. Bahkan ada manusia yang mengidamkannya, yang mencari di tempat-tempat gelap untuk bisa menemukan mahluk yang mau memberi mereka hadiah kegelapan itu...
Bukan kami. Bukan keluargaku. Kami akan menukar apapun untuk bisa menjadi manusia lagi. Tapi, tidak satupun dari kami yang pernah seputus asa ingin kembali seperti diriku saat ini.
Aku memandangi bintik-bintik mikroskopis yang ada di kaca depan, seakan solusinya tersembunyi di situ. Getaran listrik itu masih belum lenyap, dan aku harus berkonsentrasi untuk menjaga tanganku tetap berada di kemudi.
Tangan kananku mulai tersengat listrik lagi, seperti saat habis menyentuhnya.
“Bella, kurasa kau harus masuk sekarang.”
Dia langsung menurut, tanpa berkomentar, keluar dari mobil dan menutup pintunya.
Apakah dia juga merasakan kemungkinan terjadinya petaka sejelas yang kurasakan? Apakah menyakitkan baginya untuk pergi, sama seperti menyakitkannya bagiku untuk membiarkan dia pergi? Satu-satunya penghibur adalah bawah aku akan segera menemuinya.
Lebih cepat dari dia akan melihatku. Aku tersenyum pada hal itu, kemudian menurunkan kaca jendela samping dan mencondongkan tubuhku untuk bicara dengannya sekali lagi—sekarang sudah lebih aman, dengan kehangatan tubuhnya di luar mobil.
Dia menoleh untuk mencari tahu apa yang kumau, penasaran. Masih saja penasaran, meski hari ini dia sudah menanyaiku berbagai macam pertanyaan. Rasa penasaranku sendiri sama sekali belum terpuaskan; menjawab pertanyaan-pertanyaannya hari ini hanya mengungkapkan rahasiaku—aku tidak mendapat apa-apa dari dia kecuali dugaan belaka. Itu tidak adil.
“Oh, Bella?”
“Ya?”
“Besok giliranku.”
Dahinya berkerut. “Giliran apa?”
“Bertanya padamu.” Besok, ketika kami berdua berada di tempat yang lebih aman, dikelilingi saksi-saksi, aku akan mendapat jawabanku.
Aku tersenyum pada pikiran itu, lalu berpaling karena dia tidak menunjukan tanda-tanda akan beranjak. Bahkan dengan dia di luar mobil, gaung getaran listrk itu masih menggantung di sekelilingku. Aku juga ingin keluar, untuk mengantarnya ke depan pintu sebagai alasan untuk bisa tetap di sampingnya...
Tidak boleh ada kesalahan.
Aku menginjak pedal gas, lalu menghela napas begitu dia hilang di belakangku. Kelihatannya aku selalu lari menuju Bella atau melarikan diri dari dia, tidak pernah tetap tinggal di tempat. Aku mesti mencari cara untuk bisa mengendalikan diriku jika mau semuanya berjalan lancar.
mw lanjutannya dong... seru... baca twilight berdasarkan versi edward...
ReplyDeletemakasih dah di upload ya :):)
Kak anis pleeeeeeeas lanjut dong midnight sun nya yah aku suka sama cerita versi edward jd tau dia kemana aja pas ngilang d film nya tuh hehe eh tau nya jd tkang ngintip trus yah lanjut ya kak fighting ^^
ReplyDeleteMidnight sun itu ternyata tidak jadi terbit yach sist?
ReplyDeleteiya.... coz 12 bab nya udah bocor ke internet hehe :D
Deleteonnie midnight sun yang bab 13 n selanjutnya ada apa gak,...?
ReplyDeletecz aq cri kok g da baik yg scra online maupun di toko buku,...
ada informasi gak tentang itu,...?