Sunday, 17 April 2011

Midnight Sun Bagian 5

Undangan
Sekolah. Bukan lagi penyiksaan, sekarang murni neraka. Penyiksaan dan api...ya, aku memperoleh keduanya. Sekarang aku melakukan segalanya dengan benar. Semuanya sempurna. Tidak ada yang bisa mengeluh aku melalaikan tanggung jawabku.

Untuk menyenangkan Esme dan melindungi lainnya, aku tetap tinggal di Forks. Aku kembali pada keseharianku. Aku berburu tidak lebih sering dari yang lain. Setiap hari masuk sekolah dan pura-pura menjadi manusia.

Setiap hari mendengarkan jika muncul gosip baru tentang keluarga Cullen—tidak pernah ada yang baru. Gadis itu tidak pernah membicarakan kecurigaannya. Dia hanya mengulang-ulang cerita yang sama—aku berdiri disampingnya dan kemudian menarik dia—sampai para penanyanya bosan dan berhenti bertanya-tanya.

Tidak ada bahaya. Tindakan gegabahku tidak menyakiti siapapun. Kecuali aku sendiri. Aku bertekad untuk mengubah masa depan. Bukan tugas mudah, tapi pilihan lainnya tidak bisa kuterima.

Menurut Alice aku tidak akan sanggup menjauh dari gadis itu. Akan kubuktikan dia salah.

Kupikir hari pertama akan menjadi yang paling sulit. Pada penghujung hari aku menyadari itu salah. Miris rasanya akan melukai perasaan gadis itu. Aku menghibur diri dengan memikirkan rasa sakit dia tidak lebih dari sekedar cubitan—cuma penolakan kecil—dibanding rasa sakitku. Bella adalah manusia. Ia tahu aku sesuatu yang lain Sesuatu yang salah. Sesuatu yang mengerikan. Ia akan merasa lega daripada terluka kalau aku mengabaikan dia dan menganggapnya tidak ada.

“Halo, Edward,” dia menyapaku pada hari pertama pelajaran biologi. Suaranya ramah, berbeda seratus delapan puluh derajat dari terakhir kali kami bicara.

Mengapa? Apa arti dari perubahan ini? Apa dia melupakannya? Memutuskan itu semua cuma imajinasinya? Mungkinkah ia memaafkan aku karena tidak menepati janjiku? Pertanyaan-pertanyaan itu membakar tenggorokanku seperti dahaga. Mungkin satu kali saja melihat kedalam matanya. Cuma untuk melihat siapa tahu bisa menemukan jawabannya disana...

Tidak. Bahkan itu tidak boleh. Tidak jika aku ingin mengubah masa depan.

Aku menggeser daguku seinci ke arahnya tanpa berpaling dari depan kelas. Aku mengangguk sekali, kemudian kembali memandang lurus kedepan. Dia tidak bicara lagi padaku.

Sorenya, usai sekolah, aku langsung berlari ke Seattle seperti yang kulakukan kemarin. Keperihanku sedikit lebih baik saat sedang terbang diatas tanah, mengubah sekelilingku menjadi bayangan hijau kabur. Berlari seperti ini sekarang menjadi kebiasaan harian.

Apa aku mencintai dia? Aku rasa tidak. Belum. Bagaimanapun juga penglihatan Alice terus mengangguku. Aku bisa melihat betapa mudahnya untuk jatuh cinta pada Bella. Itu sama persis seperti jatuh: tanpa daya. Berjuang untuk tidak mencintai dia justru kebalikannya dari jatuh—seperti mengangkat tubuhku naik ke puncak terjal, sejengkal demi sejengkal, begitu meletihkan seakan cuma kekuatan manusia yang kupunya.

Lebih dari satu bulan telah lewat. Dan setiap hari justru makin sulit. Ini tidak masuk akal. Aku selalu menunggu kapan bisa melaluinya, untuk bisa berjalan lebih mudah. Tapi itu tidak kunjung terjadi. Mungkin ini yang dimaksud Alice ketika mengatakan aku tidak akan sanggup menjauh dari gadis itu. Dia sudah melihat akumulasi sakitku, dan bukannya berkurang. Tapi aku bisa menahan sakit.

Aku tidak akan menghancurkan masa depan Bella. Jika ditakdirkan mencintai dia, bukankah menghindari dia adalah hal minimal yang bisa kulakukan? Tapi menghindari dia adalah batasan yang mampu kutanggung. Aku bisa berlagak mengabaikan dia, tidak pernah melihat ke arahnya. Aku bisa berlagak dia tidak menarik perhatianku. Tapi hanya sebatas itu, hanya berlagak, bukan yang sebenarnya.

Aku selalu memperhatikan setiap tarikan napasnya, setiap kata yang ia ucap. Aku membagi penyiksaanku menjadi empat kategori. Dua yang pertama sudah tidak asing. Aroma dan kesunyian-mental dia. Atau, bisa dibilang—untuk meletakan tanggung jawab pada diriku, seperti yang semestinya—rasa haus dan penasaranku.

Yang pertama adalah yang paling pokok. Aku tidak pernah bernapas selama pelajaran biologi. Tentu saja ada pengecualian—saat harus menjawab pertanyaan, atau sesuatu yang seperti itu, aku butuh mengambil napas untuk bicara. Setiap kali, efeknya sama seperti hari pertama—terbakar, haus, dan kebengisan yang ingin meloncat keluar. Pada saat seperti itu sangat sulit untuk berpikiran waras. Dan, sama seperti di hari pertama, monster dalam diriku sudah siap dengan giginya, begitu dekat dengan permukaan... 

Sedang penasaran adalah yang paling konstan dari penyiksaanku. Pertanyaan ini terus mengahantui: Apa yang sedang ia pikirkan sekarang? Saat kudengar dia mendesah pelan. Saat tanpa sadar memilin rambutnya. Saat menjatuhkan bukunya lebih keras dari biasanya. Saat terburu-buru masuk kelas terlambat. Saat mengetuk-ngetukan kakinya tidak sabaran ke lantai.

Tiap gerakan yang tertangkap ujung mataku adalah misteri yang menjengkelkan. Ketika ia bicara ke murid lain, aku menganalisa tiap kata dan intonasinya. Apa dia mengutarakan pikirannya, atau sekedar mengatakan yang sebaiknya dikatakan? Kedengarannya ia lebih sering mengutarakan apa yang diharapkan lawan bicaranya. Ini mengingatkan aku pada keluargaku dan keseharaian palsu kami—kami melakukannya jauh lebih baik dari dia.

Kecuali kalau penangkapanku itu salah, dan hanya bayanganku saja. Kenapa juga dia harus pura-pura? Dia bagian dari mereka—manusia remaja.

Mike Newton secara mengejutkan masuk dalam bagian penyiksaanku. Siapa sangka manusia-kebanyakan yang membosankan seperti dia bisa jadi sangat mengesalkan? Kalau mau adil, aku seharusnya berterima kasih pada bocah itu. Dia membuat gadis itu terus bicara.

Aku banyak belajar tentang dia dari situ—aku masih terus melengkapi daftarku. Tapi sebaliknya, bantuan Mike justru membuatku makin jengkel. Aku tidak ingin Mike menjadi orang yang memecahkan rahasia gadis itu. Aku yang ingin melakukannya.

Untung Mike tidak pernah menyadari pertanda kecil yang kadang muncul pada bahasa tubuhnya. Dia membentuk sosok Bella yang tidak nyata—seorang perempuan seumum dirinya. Dia tidak memperhatikan ketidak-egoisan dan keberanian yang membedakan Bella dari manusia lain. Dia tidak mendengar kedewasaan-abnormal pikirannya saat ia bicara. Dia tidak menyadari ketika Bella membicarakan ibunya, dia kedengaran lebih seperti orang tua membicarakan anaknya daripada sebaliknya—penuh sayang, murah hati, kagum, dan cenderung protektif. Bocah itu tidak mendengar kesabaran pada suaranya ketika ia pura-pura tertarik pada segala macam ceritanya, dan tidak menilai kebaikan hati dibalik kesabarannya itu.

Dari percakapan gadis itu dengan Mike, aku berhasil menambahkan satu sifat yang paling penting kedalam daftarku, yang paling menonjol, sangat sederhana namun jarang kujumpai: Bella orang baik. Sifat yang lainnya cuma penjabaran dari itu—baik hati, tidak cari perhatian, tidak egois, penyayang, dan berani—dia benar-benar orang baik.

Bagaimanapun juga penemuan bermanfaat ini tidak melunakan sikapku pada si bocah. Sikap posesifnya terhadap Bella—seolah Bella akan jadi miliknya—memancing kemarahanku, hampir sebesar yang diakibatkan segala fantasinya tentang Bella. Seiring berjalannya waktu ia juga lebih percaya diri. Karena tampaknya Bella lebih memilih dia ketimbang cowok lain yang ia anggap saingan—Tyler Crowley, Eric Yorkie, dan bahkan, kadang-kadang, diriku.

Secara rutin ia selalu duduk di sisi mejanya sebelum kelas dimulai, mengajaknya ngobrol, tersemengati melihat senyumannya. Hanya senyum sopan, aku mengatakan pada diriku sendiri. Tiap kali aku selalu menghibur diri dengan membayangkan menapuk wajahnya hingga terlempar ke tembok... itu tidak akan terlalu fatal...

Mike jarang menganggapku sebagai saingan. Setelah insiden waktu itu, dia sempat khawatir Bella dan aku jadi lebih dekat, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sebelumnya dia selalu terganggu dengan tatapanku yang selalu tertuju pada Bella. Tapi kini aku sama mengabaikannya seperti yang lain, dan itu membuat Mike puas.
Apa yang sedang ia pikirkan? Apa dia menyukai perhatian Mike?

Dan, akhirnya, hal terakhir dari siksaanku, yang paling menyakitkan: sikap acuh Bella. Sama seperti aku mengacuhkan dia, dia mengacuhkan aku. Dia tidak pernah mengajakku bicara lagi. Yang bisa kuketahui, dia tidak pernah memikirkan aku sama sekali.

Ini bisa membuatku gila—atau bahkan mematahkan tekadku untuk merubah masa depan. Kecuali kadang ia menatapku dengan tatapan yang sama seperti dulu. Aku tidak melihatnya sendiri. Aku melarang diriku untuk melihat ke dia. Tapi Alice selalu memberi peringatan ketika ia akan menoleh ke arah kami; yang lain masih khawatir pada gadis itu. Itu sedikit mengurangi rasa sakit, mengetahui kadang ia memandangiku dari jauh. Tentu saja, bisa jadi dia cuma sedang mengira-ngira mahluk mengerikan apa aku ini.

“Bella sebentar lagi akan melihat ke Edward. Bersikap wajar,” kata Alice pada suatu selasa di bulan Maret. Semua segera membuat gerak-gerik kecil dan mengganti tumpuan layaknya manusia; tidak bergerak sama sekali—beku—adalah ciri kaum kami.

Aku menghitung seberapa sering dia melihat ke arahku. Itu membuatku senang, meskipun seharusnya tidak, bahwa frekuensinya tidak berkurang sama sekali. Aku tidak tahu apa artinya, tapi membuatku merasa jauh lebih baik.

Alice mendesah. Aku harap...

“Jangan ikut campur, Alice,” tukasku dari balik napas. “Itu tidak akan terjadi.”

Dia cemberut. Alice sangat penasaran ingin mewujudkan mimpi-persahabatannya dengan Bella. Dalam cara yang aneh, dia merindukan perempuan yang tidak ia kenal.

Aku akui, kau lebih baik dari yang kukira. Kau membuat masa depan itu menjadi kabur dan kacau lagi. Semoga kau senang.

“Itu sangat masuk akal buatku.”

Dia mendengus.

Aku berusaha membuatnya diam. Aku sedang tidak ingin ngobrol. Moodku sedang jelek—lebih tegang dari yang mereka lihat. Hanya Jasper yang menyadari. Dia membaca luapan pancaran stres dariku dengan kemampuan uniknya, yang bisa merasa dan mempengaruhi mood orang lain. Namun dia tidak mengerti alasan dibalik mood itu, dan—karena setiap hari moodku memang selalu buruk—dia mengabaikannya.

Hari ini akan sulit. Lebih sulit dari kemarin. Selalu begitu polanya.

Mike Newton, bocah menjengkelkan yang tidak boleh kuanggap sebagai saingan, berencana mengajak Bella kencan. Sebentar lagi akan ada pesta dansa musim semi. Kali ini pihak perempuan yang memilih pasangannya. Dan Mike sangat berharap Bella akan mengajak dia. Tapi Bella masih belum mengajaknya, dan ini menggoyahkan kepercayaan dirinya. Posisinya terjepit—aku menikmati kegusaran dia lebih dari semestinya—karena Jessica Stanley sudah mengajak dia duluan. Dia tidak mau menjawab “ya,” karena masih berharap Bella memilih dia (menjadi bukti kemenangan atas para pesaingnya), tapi ia juga segan menjawab “tidak,” takut berakhir tidak mendapatkan keduanya.

Jessica sendiri tersinggung dengan keraguan Mike. Ia bisa menebak alasan dibaliknya, dan ia jadi menjelek-jelekkan Bella di pikirannya. Lagi, instingku membuatku ingin meletakan diri diantara pikiran marah Jessica dan Bella. Aku memahami insting itu lebih baik sekarang, tapi justru jadi lebih menjengkelkan karena tidak bisa melakukan apa-apa.

Tidak kusangka bisa sampai sejauh ini! Bisa-bisanya aku sampai ingin terlibat dalam drama picisan yang sebelumnya sempat kuhina-hina ini.

Mike sedang memberanikan diri saat berjalan bersama Bella ke kelas biologi. Aku mendengarkan pergolakan batinya saat menunggu mereka masuk. Bocah itu lembek. Dia sengaja cuma menunggu, takut ketertarikannya diketahui Bella sebelum ia menunjukan tanda-tanda akan mengajaknya. Dia tidak ingin terlihat lemah hingga ditolak. Dia lebih memilih Bella duluan yang mulai.

Pengecut.

Dia duduk di ujung meja lagi, merasa nyaman dengan kebiasaan itu. Aku membayangkan bagaimana suaranya jika badannya membentur tembok hingga tulangtulangnya remuk.

“Jadi,” kata Mike ke gadis itu. Matanya menatap lantai. “Jessica memintaku pergi dengannya ke pesta dansa musim semi.”

“Bagus, dong,” Bella langsung menjawab dengan penuh semangat. Sulit untuk tidak tersenyum saat Mike akhirnya menyerap nada itu. Dia mengharapkan tanggapan yang negatif. “Kau akan bersenang-senang dengan Jessica.”

Dia berjuang mencari lanjutan yang tepat. “Well...” dia ragu-ragu, dan hampir secara kecut mundur. Kemudian ia memberanikan diri lagi. “Aku bilang padanya akan kupikirkan.”

“Kenapa kau bilang begitu?” Nadanya tidak setuju, tapi ada secuil kelegaan juga.

Apa itu artinya? Kemarahan yang muncul tiba-tiba membuat tanganku mengepal. Mike tidak mendengar kelegaan itu. Wajahnya merah padam—panasnya langsung terasa, ini seperti undangan—dan ia melihat ke lantai lagi.

“Aku bertanya-tanya jika...well, jika kau mungkin punya rencana untuk mengajakku.”

Bella ragu-ragu.

Dalam sedetik keraguan itu, aku melihat masa depannya dengan lebih jelas. Gadis itu mungkin akan menjawab 'ya' pada Mike, atau mungkin 'tidak'. Tapi, apapun itu, suatu saat nanti, ia akan berkata ya pada seseorang. Dia menyenangkan dan menawan.

Para pria-manusia sangat menyadari hal itu. Entah ia akan memilih diantara orang-orang menyedihkan ini, atau menunggu sampai pergi dari Forks, akan datang hari dimana ia akan berkata ya.

Aku melihat hidupnya dengan sangat jelas—kuliah, karir...percintaan, pernikahan. Aku melihat dia dalam gandengan ayahnya lagi, bergaun putih gading, wajahnya bersemu bahagia saat berjalan dengan iringan simfoni Wagner. Luka yang kurasakan melebihi segalanya. Manusia biasa pasti akan mati menanggung sakit seperti ini—mereka tidak akan bisa hidup. Dan bukan cuma sakit, tapi sekaligus amarah yang sangat. Amarah ini menuntut pelampiasan sekarang juga. Meskipun bocah ini bukan yang akan dijawab ya oleh Bella, tanganku gatal ingin meremukan tengkoraknya, menjadikan dia sebagai contoh bagi siapapun yang ingin mendekati Bella.

Aku tidak memahami perasaan ini—campuran dari rasa sakit, amarah, hasrat, dan putus asa. Aku belum pernah merasakan sebelumnya; aku tidak bisa menamakannya.

“Mike, menurutku kau harus bilang ya padanya,” Bella menjawab dengan suara lembut.

Harapan Mike runtuh. Dalam kesempatan berbeda aku akan menikmatinya, tapi aku sedang bingung dengan perasaan menyakitkan ini—dan menyesali dampaknya padaku.

Alice benar. Aku tidak cukup kuat. Saat ini, Alice akan mengamati bagaimana masa depan akan berputar dan berubahubah. Apa ini akan membuatnya senang?

“Apa kau sudah mengajak seseorang?” Mike bertanya dengan kesal terpendam. Dia mendelik padaku, curiga untuk pertama kalinya selama berminggu-minggu ini. Aku sadar telah mengkhianati tekadku sendiri; kepalaku sedikit miring kearah Bella.

Rasa iri liar dalam pikiran Mike—iri pada siapapun yang dipilih gadis ini—mendadak memberi nama pada emosi-tak-bernamaku. Aku cemburu.

“Tidak,” gadis itu berkata dengan sedikit jejak humor di suaranya. “Aku tidak akan datang ke pesta dansa.”

Melebihi segala penyesalan dan marah, aku merasa lega pada jawabannya. Saat itu juga aku mulai mempertimbangakan saingan-sainganku yang lain.

“Kenapa tidak?” Mike bertanya dengan agak kasar. Aku tersinggung mendengar Mike menggunakan nada seperti itu ke dia. Aku menahan geramanku.

“Aku akan pergi ke Seattle sabtu itu,” jawabnya.

Penasaranku tidak sehebat sebelumnya—kini saat aku telah berniat untuk mencari jawaban pertanyaan itu. Aku akan segera tahu alasannya sebentar lagi.

Suara Mike berubah membujuk. “Tidak bisa kah kau pergi lain kali?”

“Maaf, tidak bisa.” Bella kini agak ketus. “Jadi sebaiknya kau tidak membuat Jess menunggu lebih lama—itu tidak baik.”

Kepeduliannya pada Jessica mengipasi api cemburuku. Perjalanan ke Seattle jelas-jelas cuma alasan untuk mengelak—apa penolakannya murni karena loyalitas dia pada temannya? Dia jauh lebih dari tidak-egois jika begitu. Apa sebetulnya dia berharap bisa berkata ya? Atau, apa keduanya bukan? Jangan-jangan dia tertarik dengan orang lain?

“Ya, kau benar,” gumam Mike, sangat terpukul hingga aku hampir merasa kasihan.

Hampir.

Di menjatuhkan pandangannya dari si gadis, menghentikan pandanganku ke wajah Bella dalam pikirannya. Hal itu tidak boleh terjadi.

Maka untuk pertama kalinya dalam sebulan, aku menoleh untuk membaca sendiri wajahnya. Rasanya sangat lega membiarkan diriku melakukan ini, seperti tarikan napas di permukaan pada penyelam yang kehabisan oksigen. Matanya tertutup, dua tangannya menekan kedua sisi wajahnya. Bahunya terkulai galau. Dia menggeleng sangat pelan, seolah ingin mengusir sesuatu dari pikirannya. Frustasi. Menarik.

Suara Mr. Banner membangunkan dia dari lamunan. Matanya pelan-pelan membuka. Dan ia langsung melihat kearahku, mungkin merasakan tatapanku. Dia menatap kedalam mataku dengan ekspresi penuh tanya yang sama dengan yang menghantuiku selama ini.

Aku tidak merasa menyesal, bersalah, atau marah dalam detik ini. Aku tahu segala perasaan itu akan datang lagi, tapi untuk saat ini aku dimabukan oleh kegugupan yang aneh. Seakan aku telah menang, dan bukannya kalah. Dia tidak membuang muka, meskipun aku menatapnya dengan keingintauan yang tidak pantas, sia-sia mencoba membaca pikirannya melalui mata coklat mudanya. Matanya penuh pertanyaan daripada jawaban.

Aku bisa melihat pantulan mataku sendiri. Dua mataku hitam karena haus. Hampir dua minggu sejak terakhir kali berburu; ini bukan hari yang aman bagi keruntuhan niatku. Tapi sepertinya kegelapan mataku tidak menakuti dia. Ia masih tidak membuang muka, hingga kemudian semburat halus merah muda meronai pipinya.
Apa yang sedang ia pikirkan?

Aku hampir menanyakan itu keras-keras, tapi kemudian Mr. Banner memanggil namaku. Aku memilih jawaban yang benar dari pikirannya sambil menoleh sekilas.

Aku menarik napas cepat. “Siklus Krebs.”

Rasa haus menghanguskan tenggorokanku—mengencangkan otot-ototku dan memenuhi mulutku dengan liur. Aku memejam, berusaha berkonsentrasi menghalau hasrat akan darahnya yang mengamuk dalam diriku.

Monster itu jauh lebih kuat dari sebelumnya. Monster itu sedang berlonjak gembira. Dia merengkuh dua pilihan masa depan yang membuat posisinya imbang, kesempatan sama besar yang selama ini ia idam-idamkan dengan licik. Pilihan ketiga yang coba kubangun dengan kekuatan niat semata telah runtuh—dihancurkan oleh kecemburuan sepele—dan monster itu hampir mencapai tujuannya.

Penyesalan dan rasa bersalah terbakar bersama dahaga. Jika aku punya kemampuan memproduksi air mata, mataku pasti sudah berlinangan sekarang.

Apa yang telah kulakukan? Mengetahui telah kalah, sudah tidak ada lagi alasan untuk menahan apa yang
kuinginkan; aku kembali memandangi gadis itu lagi.

Dia bersembunyi dibalik rambutnya, tapi aku bisa melihat melalui celah rambutnya bagaimana pipinya kini berwarna merah terang.

Sang monster menyukai itu.

Dia tidak membalas tatapanku lagi, tapi jarinya memilin rambut gelapnya dengan gugup. Jari tangannya yang lembut, pergelangan tangannya yang rapuh—keduanya sangat ringkih, bahkan hanya dengan hembusan napas bisa kupatahkan.

Tidak, tidak, tidak. Aku tidak bisa melakukan ini. Dia terlalu rapuh, terlalu baik, terlalu berharga untuk menerima takdir ini. Aku tidak mengijinkan kehidupanku menghancurkan hidupannya.

Tapi aku juga tidak bisa menjauh dari dia. Alice betul tentang itu. Monster dalam diriku mendesesis frustasi saat aku bimbang. Selama terombang-ambing, satu jam singkatku bersama dia berlalu cepat. Bel berbunyi, dan ia mengumpulkan barang-barangnya tanpa menengok. Ini membuatku kecewa, tapi tidak mungkin berharap sebaliknya. Caraku memperlakukan dia sejak insiden itu tidak termaafkan.

“Bella?” kataku tanpa bisa kucegah. Tekadku sudah tercabik-cabik.

Dia bimbang sebelum melihat ke arahku; saat menoleh ekspresinya hati-hati, curiga.

Aku mengingatkan diriku sendiri bahwa ia sangat berhak untuk tidak percaya padaku. Bahwa seharusnya begitu.

Dia menunggu, tapi aku hanya memandanginya, membaca wajahnya. Aku menarik napas pendek, melawan rasa hausku.

“Apa?” dia akhirnya bertanya. “Apa kau bicara denganku lagi?” ada bagian pada kekesalannya, yang seperti ketika marah, justru terlihat menggemaskan. Itu membuatku ingin tersenyum.

Aku tidak begitu yakin bagaimana menjawabnya. Apa aku bicara dengan dia lagi, dalam pengertian yang ia maksud?

Tidak. Tidak jika aku bisa menghindarinya. Aku akan berusaha menghindarinya.

“Tidak, tidak juga,” aku memberitahu dia.

Dia menutup mata, yang membuatku frustasi. Ini memotong jalurku membaca perasaannya. Dia mengambil napas panjang tanpa membuka mata. Rahangnya terkunci. Matanya masih tertutup saat bicara. Tentu ini bukan kebiasaan manusia normal. Kenapa dia melakukannya?

“Lalu apa maumu, Edward?”

Mendengar namaku diucapkan oleh bibirnya, berdampak aneh pada tubuhku. Jika aku punya detak jantung, pastilah berdetak lebih cepat. Tapi bagaimana menjawabnya? Apa adanya, aku memutuskan. Aku akan berkata apa adanya mulai sekarang. Aku tidak mau tidak-dipercaya oleh dia, bahkan jika untuk mendapat kepercayaannya adalah mustahil.

“Aku minta maaf.” itu adalah hal yang paling jujur. Sayangnya aku cuma bisa minta maaf dengan aman atas hal yang sepele. “Aku tahu sikapku sangat kasar. Tapi lebih baik seperti itu, sungguh.”

Akan lebih baik bagi dia jika aku terus bersikap kasar. Apa aku bisa?

Matanya membuka, ekspresinya masih hati-hati.

“Aku tidak tahu apa maksudmu.”

Aku coba memberi peringatan sebatas yang kubisa. “Lebih baik kita tidak berteman.” tentu dia menyadari peringatan itu. Dia perempuan cerdas. “Percayalah.”

Matanya menyipit. Aku ingat pernah mengatakan itu sebelumnya—tepat sebelum melanggarnya. Aku mengernyit saat dia menggertakan gigi—jelas dia juga masih ingat.

“Sayang sekali kau tidak menyadarinya sejak awal,” ujarnya marah. “Jadi kau tidak perlu repot-repot menyesal begini.”

Aku memandangnya syok. Apa yang ia ketahui tentang penyesalanku?

“Menyesal? Menyesal kenapa?” tanyaku menuntut.

“Karena tidak membiarkan van bodoh itu menimpaku!” dia meledak marah.

Aku membeku, bingung. Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu? Menyelematkan nyawanya adalah satu-satunya pilihan tepat yang kulakukan sejak bertemu dia. Satu-satunya yang tidak membuatku malu. Satu dan hanya satu-satunya yang membuatku lega telah 'hidup'. Aku terus berjuang agar dia tetap hidup sejak pertama mencium aromanya. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu padaku. Berani-beraninya dia mempertanyakan satu-satunya perbuatan baikku diantara semua kekacauan ini.

“Kau pikir aku menyesal telah menyelamatkanmu?”

“Aku tahu kau merasa begitu,” dia menjawab dengan ketus.

Kesinisannya atas maksud baikku membuatku menggelegak marah. “Kau tidak tahu apa-apa.”

Betapa ruwetnya cara kerja pikirannya! Dia pasti tidak berpikir dengan cara yang sama seperti manusia manapun. Pasti itu penjelasan dibalik kesunyian-mentalnya. Dia sama sekali berbeda.

Dia membuang muka dan menggertakan gigi lagi. Pipinya merona, kali ini karena marah. Dia menumpuk buku-bukunya dengan kasar, menyambarnya, lalu berjalan ke pintu tanpa menoleh ke arahku.

Bahkan saat kesal seperti ini, mustahil tidak menganggap ekspresi marahnya sedikit menghibur. Langkahnya kaku, tanpa terlalu memperhatikan jalan, dan kakinya tersangkut ujung pintu. Dia tersandung dan semua bukunya jatuh berantakan. Bukannya memunguti barangbarangnya, dia hanya berdiri mematung, bahkan tidak melihat kebawah, seakan tidak yakin buku-buku itu pantas diambil.

Aku berusaha tidak tertawa. Tidak ada yang memperhatikan aku; aku segera ke sisinya, mengumpulkan semua buku-bukunya sebelum ia melihat kebawah.

Dia membungkuk, melihatku, dan kemudian membeku. Kuserahkan buku-bukunya, sambil kupastikan kulit dinginku tidak menyentuhnya.

“terima kasih,” jawabnya dingin.

Nada bicaranya mengembalikan kemarahanku.

“Sama-sama,” kataku sama dinginnya.

Dia bangkit berdiri lalu langsung pergi ke kelas berikutnya tanpa menoleh. Aku memperhatikan sampai sosoknya hilang.

Pelajaran bahasa Spanyol berjalan kabur. Mrs. Goff tidak menggubris kelinglungan-ku—dia tahu bahasa Spanyolku jauh lebih fasih dibanding dia, karena itu ia memberi banyak kelonggaran—membuatku bebas untuk berpikir. Jadi, aku tidak bisa mengabaikan gadis itu. Hal itu sudah pasti. Tapi apa artinya aku tidak punya pilihan selain menghancurkan dia? Itu tidak mungkin satu-satunya masa depan yang tersisa. Pasti ada pilihan lain, yang lebih manusiawi.

Aku berusaha memikirkan suatu cara...

Aku tidak terlalu memperhatikan Emmet sampai jam pelajaran hampir selesai. Dia penasaran—Emmet tidak terlalu pandai membaca mood orang lain, tapi ia bisa melihat perubahan nyata pada diriku. Dia bertanya-tanya apa yang terjadi. Dia berupaya keras mendefinisikan perubahannya. Dan akhirnya memutuskan bahwa aku terlihat penuh harapan. Penuh harapan? Apa seperti itu kelihatannya dari luar?

Aku mempertimbangkan ide akan harapan selama berjalan ke mobil. Kira-kira seharusnya aku berharap apa?
Tapi aku tidak punya banyak waktu untuk mempertimbangan hal itu. Sesensitif seperti biasanya, suara nama Bella di kepala...sainganku—harus kuakui—menarik perhatianku. Eric dan Tyler, telah mendengar—dengan puas sekali—atas kegagalan Mike. Mereka berdua sedang mempersiapkan langkah mereka sendiri.

Eric telah mengambil posisi duluan. Dia menyandar ke truk Bella agar dia tidak bisa menghindar. Kelas Tyler keluar agak telat, dan ia mesti buru-buru sebelum terlambat mengejar Bella. Yang ini aku harus lihat.

“Tunggu yang lain disini, oke?” aku menggumam pada Emmet.

Matanya curiga, tapi ia cuma mengangkat bahu dan mengangguk.

Anak ini mulai gila. Dia membatin, geli dengan permintaan anehku.

Aku melihat Bella keluar dari gimnasium. Aku menunggu di tempat yang tidak kelihatan. Saat ia mulai mendekati sergapan Eric, baru aku jalan, mengatur langkahku agar nanti bisa lewat di waktu yang pas.

Aku memperhatikan bagaimana ia terkejut melihat bocah itu disamping truknya. Dia terhenti sebentar, kemudian rileks lagi dan meneruskan langkahnya.

“Hai, Eric,” ia menyapa dengan suara ramah.

Tiba-tiba aku jadi gelisah. Bagaimana jika bocah ceking dengan kulit bermasalah ini, entah bagaimana, menyenangkan hatinya?

Eric menyaut dengan terlalu keras, “Hai, Bella.”

Gadis itu sepertinya tidak menyadari kegugupan Eric.

“Ada apa?” Dengan santai ia membuka pintu truknya tanpa melihat ke wajah cemas bocah itu.

“Mmm, aku cuma bertanya-tanya...maukah kau pergi ke pesta dansa musim semi bersamaku?” suaranya bergetar.

Dia akhirnya menoleh. Apa dia terkejut, bingung, atau senang? Eric tidak sanggup menatapnya, jadi aku tidak bisa melihat wajahnya di pikiran dia.

“Kupikir perempuanlah yang mengajak,” dia terdengar agak bingung.

“Iya, sih,” dia mengakui malu-malu.

Bocah memelas ini tidak semenjengkelkan Mike Newton, tapi aku baru bisa bersimpati padanya setelah Bella menjawab dia dengan lembut. “terima kasih untuk ajakannya, tapi aku akan pergi ke Seattle hari itu.”

Dia telah mendengar hal itu, tapi tetap saja ia merasa kecewa.

“Oh ya sudah,” gumamnya. Dia hampir tidak berani mengangkat matanya. “Mungkin lain kali.”

“Tentu,” dia menjawab sopan. Kemudian ia menggigit bibirnya, seakan menyesal telah memberi harapan. Aku suka itu.

Eric melangkah lemas, menuju ke arah berlawanan dari mobilnya. Yang ia pikirkan cuma pergi.

Aku melewati Bella tepat pada saat itu, dan mendengar desah leganya. Aku tertawa. Dia menoleh mendengar suaraku, tapi aku memandang lurus kedepan, berusaha menahan bibirku agar tidak tersenyum girang.

Tyler terlihat masih jauh, tergesa-gesa mengejar Bella. Dia lebih berani dan lebih yakin dibanding dua pesaingnya. Selama ini ia belum mendekati Bella hanya karena menghormati Mike, yang telah lebih dulu melakukan pendekatan.

Aku ingin dia berhasil mengejar Bella karena dua alasan. Jika—seperti yang sudah kusangka—semua perhatian ini sangat mengganggu Bella, aku ingin menonton reaksinya. Tapi, jika ternyata tidak menggangu—jika memang ajakan Tyler yang ia tunggu—maka aku ingin mengetahui hal itu.

Aku benar-benar menilai Tyler sebagai pesaingku, meskipun tahu itu keliru. Bagiku dia biasa-biasa saja, membosankan, dan tidak ada istimewanya sama sekali. Tapi memangnya aku tahu selera Bella? Barangkali dia suka dengan cowok yang biasa-biasa saja...

Aku mengernyit pada pikiran itu. Aku tidak mungkin bisa biasa-biasa saja. Bodohnya aku ikut-ikutan bersaing mengejar perhatian Bella. Bagaimana mungkin dia perduli pada monster? Dia terlalu baik bagi seorang monster.

Aku sebaiknya membiarkan dia pulang, tapi rasa penasaranku yang absurd menahanku melakukan sesuatu yang benar. Lagi. lagipula, bagaimana jika Tyler kehilangan kesempatan, dan justru menghubungi nanti saat aku tidak bisa mendengar hasilnya? Aku cepat-cepat memundurkan Volvoku, mendului dia dan menghalangi truknya.

Emmet dan yang lain dalam perjalanan. Emmet sedang menggambarkan tingkah anehku. Mereka berjalan pelan-pelan, memperhatikan aku, mencari tahu apa yang sedang kulakukan.

Aku memperhatikan gadis itu dari kaca spion. Dia mendelik ke belakang mobilku. Kelihatannya ia seperti berharap sedang mengendarai tank dan bukannya truk Chevy karatan.

Tyler buru-buru mengambil mobil dan berhasil mengantri di belakangnya, bersyukur pada tindakanku yang tidak biasa. Dia melambai ke gadis itu, berusaha menarik perhatiannya, tapi gadis itu tidak melihat. Dia menunggu sebentar, kemudian keluar dari mobil, menghampiri sisi penumpang truk gadis itu. Dia mengetuk kacanya. Gadis itu terlonjak, kemudian menatap Tyler bingung. Setelah beberapa saat, ia menurunkan jendelanya secara manual, kelihatannya sedikit macet.

“Sori, Tyler,” katanya dengan suara kesal. “Mobil Cullen menghalangiku.”

Dia mengucapkan nama keluargaku dengan suara tajam—dia masih marah padaku.

“Iya, aku tahu,” ujarnya, tidak terpengaruh oleh moodnya. “Aku hanya ingin menanyakan sesuatu selagi kita terjebak disini.”

Seringainya agak sombong.

Aku senang melihat wajahnya berubah pucat setelah menyadari niat Tyler.

“Maukah kau mengajakku ke pesta dansa musim semi?” dia bertanya penuh keyakinan.

“Aku akan pergi ke luar kota, Tyler,” dia menjawab agak ketus.

“Iya, Mike sudah cerita.”

“Lantas, kenapa—” dia menatap Tyler tajam.

Dia mengangkat bahu. “Aku pikir kau hanya ingin menolaknya secara halus.”

Matanya berkilat kesal, tapi kemudian meredup. “Sori, Tyler.” Dia tidak terdengar menyesal sama sekali. “Aku benar-benar akan pergi ke luar kota.”

Dia menerima alasan itu, dan keyakinannya masih tidak tergoyahkan. “Oke, tidak apaapa. Masih ada prom.”

Dia kembali ke mobilnya. Keputusanku tepat untuk tidak melewatkan hal ini. Ekspresi kesal di wajahnya benar-benar layak untuk dilihat. Itu memberitahu apa yang seharusnya tidak kucari tahu—bahwa ia tidak tertarik pada bocah-bocah itu. Juga, ekspresinya adalah hal terlucu yang pernah aku lihat.

Saat keluargaku sampai ke mobil, mereka bingung melihat perubahanku, yang sedang tertawa sendirian dan bukannya bersungut jengkel seperti biasanya.

Apa yang lucu? Emmet ingin tahu.

Aku cuma menggeleng sambil tertawa lagi karena melihat Bella menderumkan mesin mobilnya dengan marah. Dia kelihatannya berharap sedang mengendarai tank lagi.

“Ayo pergi!” Rosalie mendesis tidak sabaran. “Berhenti bertingkah seperti orang idiot. Itu kalau kau bisa.”

Ucapannya tidak menggangguku—aku terlalu terhibur. Tapi aku menuruti yang dia minta.

Tidak ada yang bicara padaku selama perjalanan. Sementara aku terus tertawa-tawa kecil sendirian gara-gara teringat wajahnya.

Saat tiba di jalan sepi—menginjak gas dalam-dalam mumpung tidak ada saksi—Alice merusak moodku.

“Jadi boleh sekarang aku bicara pada Bella?” dia langsung bertanya begitu saja, tanpa basa-basi.

“Tidak.” Aku langsung marah.

“Tidak adil! Apa yang kutunggu?”

“Aku belum memutuskan apa-apa, Alice.”

“Terserah.”

Di dalam kepalanya, dua takdir Bella menjadi jelas lagi.

“Apa gunanya berkenalan dengan dia?” Aku mendadak murung. “Jika aku hanya akan membunuhnya?”

Alice sekejap ragu. “Kau ada benarnya,” dia mengakui.

Aku membelok tajam pada kecepatan sembilan puluh mil perjam, dan kemudian mendecit berhenti, tepat beberapa inchi sebelum tembok garasi.

“Selamat menikmati jogingmu,” sindir Rosalie culas saat aku keluar dari mobil.

Tapi hari ini aku tidak lari. Aku berburu. Yang lain baru akan berburu besok, tapi aku tidak sanggup untuk haus sekarang.

Pada akhirnya aku minum terlalu banyak—beberapa rusa besar dan satu beruang hitam. Aku cukup beruntung bisa menemukan mereka di awal musim seperti ini. Aku kekenyangan hingga tidak nyaman. Tapi kenapa masih belum juga cukup? Kenapa aroma dia harus lebih kuat dari yang lain?

Ini aku berburu untuk persiapan besok. Tapi saat selesai berburu, dan masih berjam-jam lagi sebelum matahari terbit, aku tahu besok terlalu lama.

Rasa gugup kembali melandaku saat menyadari aku akan mencari gadis itu sekarang juga. Aku berdebat dengan diriku sendiri selama perjalanan, tapi sisi culasku yang menang. Aku melanjutkan rencanaku. Monster dalam diriku gelisah namun sudah terikat kencang. Aku akan menjaga jarak. Aku cuma ingin tahu dimana dia. Aku hanya ingin melihat wajahnya.

Ini sudah lewat tengah malam. Rumah Bella gelap dan sepi. Truknya diparkir di pinggir jalan, mobil polisi ayahnya di depan rumah. Tidak ada pikiran yang terbangun di sekeliling rumahnya. Aku mengawasi rumahnya dari balik kepekatan hutan yang menghampar di seberang jalan. Pintu depan pasti terkunci—bukan masalah, tapi aku tidak mau meninggalkan bukti dengan merusak pintunya. Jadi aku akan mencoba jendela atas dulu. Jarang ada orang yang repot-repot menguncinya.

Aku berlari menyebrang jalan, lalu meloncat keatas rumahnya tidak sampai setengah detik. Aku bergelantungan pada kusen jendela. Aku mengintip lewat kaca, dan napasku terhenti.

Ini kamarnya. Aku bisa melihat dia di tempat tidurnya yang kecil. Selimutnya di lantai, dan spreinya berantakan disekitar kakinya. Kemudian tiba-tiba ia bergerak gelisah dan melempar satu tangannya keatas kepala. Tidurnya tidak bersuara, paling tidak hari ini. Apa ia merasakan ada bahaya?

Batinku menyuruhku untuk pergi saat dia bergerak gelisah lagi. Apa bedanya aku dengan tukang ngintip? Tidak ada bedanya. Bahkan aku jauh, jauh lebih buruk.

Aku mengendurkan pegangan jariku, sudah akan turun, tapi sebelum itu aku ingin mengamati dulu lagi wajahnya sebentar. Wajahnya tidak tenang. Sedikit kerutan terlihat diantara alisnya. Ujung bibirnya turun. Bibirnya bergerak-gerak, kemudian terbuka.

“Oke, mom,” dia menggumam pelan.

Bella bicara di tidurnya. Rasa penasaran langsung membakarku, mengalahkan kejijikan pada apa yang sedang kulakukan. Daya pikat ungkapan pikirannya yang terucap tanpa-sadar mustahil untuk dilawan.

Aku coba membuka jendelanya, ternyata tidak terkunci, hanya saja agak macet karena jarang dibuka. Kudorong pelan-pelan, berjengit tiap kali menimbulkan suara. Aku mesti mencari oli untuk lain kali...

Lain kali? Aku menggelengkan kepala, lagi-lagi merasa jijik dengan diriku.

Aku menyelinap tanpa suara melalui jendela yang terbuka separuh. Kamarnya kecil—berantakan tapi tidak kotor. Buku-buku berserakan di lantai disamping tempat tidur, keping-keping CD bertebaran di dekat tapenya yang murahan, dan diatas tapenya terdapat kotak tempat asesoris. Tumpukan-tumpukan kertas berhamburan disekitar komputer yang seharusnya sudah dimuseumkan. Sepatu-sepatunya ditaruh begitu saja di lantai kayu.

Aku sangat ingin membaca judul-judul bukunya dan CD-CD musiknya, tapi aku sudah berjanji untuk menjaga jarak. Jadi aku cuma duduk di kursi goyang di pojok kamar. Apa betul aku pernah berpikir penampilannya biasa-biasa saja? Aku mengingat lagi saat hari pertama, dan kemuakanku pada bocah-bocah yang langsung tertarik padanya. Tapi sekarang, jika kuingat lagi wajahnya di pikiran mereka, aku tidak mengerti kenapa aku tidak lansung menilai dia cantik. Padahal jelas-jelas wajahnya cantik.

Saat ini—dengan rambut gelap berantakan diseputar wajah pucatnya, memakai kaos oblong usang dengan celana panjang katun lusuh, roman rileks pulas, dan bibirnya yang penuh sedikit merekah—dia membuatku terpesona.

Dia tidak bicara. Barangkali mimpinya sudah selesai.

Aku menatap wajahnya sambil berusaha mencari jalan lain selain dua pilihan masa depan yang ada. Apa pilihanku cuma tinggal mencoba pergi lagi? Yang lain sudah tidak bisa membantah lagi sekarang. Kepergianku tidak akan membahayakan siapa-siapa. Tidak akan ada yang curiga. Tidak akan ada yang mengkaitkaitkan
dengan insiden kemarin.

Aku sebimbang tadi siang, dan semua kelihatannya mustahil. Aku tidak mungkin menyaingi bocah-bocah manusia itu, entah ada yang membuat dia tertarik atau tidak. Aku seorang monster. Bagaimana mungkin ia akan melihatku sebagai sosok yang lain? Jika dia tahu siapa diriku sebenarnya, itu akan membuatnya ngeri ketakutan. Sama seperti para korban dalam film horor, ia akan lari gemetar penuh teror.

Aku ingat hari pertamanya di kelas biologi...itu adalah reaksi yang paling tepat dari dia. Sungguh konyol membayangkan bahwa jika saja aku yang mengajak dia ke pesta dansa, mungkin ia akan membatalkan rencananya ke Seattle dan setuju pergi denganku. Bukan aku yang dia takdirkan untuk dijawab ya. Melainkan orang lain, seseorang yang hangat dan manusia. Dan bahkan—suatu saat nanti, ketika kata ya terucap—aku tidak boleh memburu pria itu dan membunuhnya. Bella pantas mendapatkannya, siapapun itu. Dia layak mendapatkan kebahagiaan dan rasa sayang dari siapapun pilihannya.

Aku berhutang itu padanya; aku tidak bisa lagi pura-pura hampir mencintai gadis ini. Bagamanapun, tidak ada pengaruhnya kalau aku pergi, karena Bella tidak akan pernah melihatku dengan cara yang seperti kuharapkan. Dia tidak akan pernah melihatku sebagai sosok yang pantas dicintai. Tidak akan pernah. Bisakah jantung beku yang telah mati patah? Rasanya jantungku bisa.

“Edward,” ucap Bella.

Aku membeku, memperhatikan matanya yang tertutup. Apa dia terbangun, melihatku disini? Dia kelihatanya pulas, namun suaranya sangat jernih... Dia mendesah pelan, kemudian bergerak gelisah lagi, berguling kesamping—masih pulas dan bermimpi.

“Edward,” dia bergumam lembut.

Dia memimpikan aku. Bisakah jantung beku yang sudah mati kembali berdetak? Sepertinya punyaku bisa.

“Tinggal lah,” dia mendesah. “Jangan pergi. Tolong... jangan pergi.”

Dia memimpikan aku, dan itu bukan mimpi buruk. Dia menginginkan aku tinggal bersamanya, disana di mimpinya.

Aku berjuang mencari istilah dari perasaan yang membanjiri diriku, tapi aku tidak punya istilah yang cukup kuat untuk mengartikannya. Selama beberapa lama, aku tenggelam, berenang-renang di dalamnya.

Ketika muncul ke permukaan, aku bukan lagi orang yang sama. Hari-hariku tidak berujung, malam gelap tanpa akhir. Selalu tengah malam bagiku. Jadi bagaimana mungkin matahari bisa terbit sekarang, di tengah tengah-malamku?

Pada hari dimana aku menjadi vampir, menukar jiwa dan kefanaanku dengan keabadian, dalam proses transformasi yang menyiksa, aku benar-benar telah membeku. Badanku menjadi sesuatu yang menyerupai batu daripada daging, kekal dan tidak berubah. Kepribadianku juga ikut membeku—yang aku suka dan tidak suka, mood dan hasaratku; semua membeku.

Hal yang sama juga terjadi pada yang lainnya. Kami semua membeku. Batu hidup. Ketika kemudian terjadi perubahan pada kita, itu langka dan merupakan sesuatu yang permanen. Aku melihatnya terjadi pada Carlisle, dan sepuluh tahun kemudian pada Rosalie. Perasaan cinta merubah mereka dalam cara yang kekal, cara yang tidak akan pernah pudar.

Sudah lebih dari 80 tahun Carlisle menemukan Esme, dan tetap saja dia masih menatap Esme dengan tatapan yang sama seperti saat menemukan cinta pertamanya. Dan akan selamanya begitu bagi mereka.

Akan selalu seperti itu juga bagiku. Aku akan selalu mencintai gadis rapuh ini, untuk selama eksistensiku yang tak terbatas.

Aku memandangi wajahnya yang terlelap, merasakan perasaan cintaku menetap pada tiap sel di tubuh beku-ku. Dia tidur lebih nyaman sekarang. Sebaris senyum pada bibirnya.

Aku akan selalu mengawasi dia seperti ini. Aku mencintai dia, jadi aku akan berusaha menjadi kuat untuk bisa meninggalkan dia. Aku tahu aku tidak sekuat itu sekarang. Akan kuupayakan. Tapi barangkali akhirnya aku akan cukup kuat untuk mengelakan masa depannya dengan cara lain.

Alice hanya melihat dua takdir bagi Bella. Kini aku memahami keduanya. Mencintai dia bukan berarti membuatku tidak akan membunuhnya, jika aku sampai membuat kesalahan. Namun begitu aku tidak bisa merasakan monster itu sekarang, tidak bisa menemukan dimanapun dalam diriku. Barangkali cinta telah membungkam dia selamanya. Jika aku membunuh Bella sekarang, itu bukan disengaja, hanya ketidak sengajaan yang mengerikan.

Aku akan sangat hati-hati. Aku tidak akan pernah mengendurkan kewaspadaannku. Aku akan selalu mengontrol tiap tarikan napasku. Aku akan selalu menjaga jarak. Aku tidak akan pernah membuat kesalahan.
Aku akhirnya memahami takdir yang kedua. Selama ini aku tidak habis pikir dengan penglihatan itu—apa yang terjadi hingga dia akhirnya menjadi tahanan keabadian seperti diriku ini? Sekarang—dibutakan kerinduan pada gadis ini—aku bisa mengerti, bagaimana aku, dengan keegoisan yang tidak termaafkan, meminta tolong ayahku untuk melakukannya. Meminta padanya untuk mengenyahkan jiwa gadis ini agar aku bisa mendapatkan dia selamanya.

Dia berhak mendapatkan yang lebih baik.

Tapi aku melihat masa depan yang lain, satu benang tipis yang mungkin bisa kulewati, jika dapat menjaga keseimbangan. Apa aku sanggup? Bersamanya dan membiarkan dia menjadi manusia?

Secara sengaja aku mengambil napas dalam-dalam, membiarkan aromanya membakar diriku. Kamarnya pekat dengan wangi tubuhnya; bau tubuhnya menempel di setiap permukaan. Kepalaku seperti tenggelam, tapi kulawan pusing itu. Jika berniat menjalin hubungan dengan dia, aku harus membiasakan diri dengan ini. Aku mengambil napas lagi, napas yang membakar.

Aku memperhatikan dia tidur hingga matahari terbit dibalik awan timur, menyusun rencana dan terus bernapas dalam-dalam.

Aku baru tiba di rumah setelah yang lain sudah berangkat sekolah. Aku cepat-cepat ganti baju, menghindari tatapan penuh tanya Esme. Dia melihat binar samar di wajahku. Dia merasa cemas sekaligus lega. Kesenduan panjangku membuatnya sedih, dan ia lega karena sepertinya telah berakhir.

Aku berlari ke sekolah, sampai beberapa detik sebelum saudaraku. Mereka tidak menoleh, meskipun Alice pasti telah memberitahu aku akan disini, di kerimbunan hutan dekat parkiran. Aku menunggu sampai tidak ada yang melihat, kemudian berjalan santai dari balik pepohonan ke parkiran.

Aku mendengar truk Bella menderu keras di belokan. Aku berhenti di belakang sebuah suburban, di posisi aku bisa mengamati tanpa kelihatan.

Dia masuk ke parkiran, mendelik ke Volvoku selama beberapa saat sebelum mengambil tempat parkir di ujung yang paling jauh. Dahinya mengerut.

Rasaya aneh mengingat dia sepertinya masih marah padaku, dan dengan alasan yang baik pula. Aku ingin menertawakan diriku sendiri—atau menendang sekalian. Semua gagasanku jadi tidak ada artinya jika ternyata dia tidak tertarik padaku. Mimpinya tadi malam bisa tentang sesuatu yang lain. Aku benar-benar bodoh dan tidak tahu diri.

Well, jauh lebih baik buat dia jika dia tidak tertarik padaku. Itu tidak akan menghentikanku mengejar dia, tapi aku akan memberinya peringatan bahaya. Aku berhutang itu padanya.

Aku berjalan tanpa suara, memikirkan cara yang paling baik buat mendekatinya.

Dia membuatnya jadi mudah. Kunci truknya terlepas dari genggaman saat ia keluar, dan terjatuh ke dalam kubangan. Dia membungkuk, tapi aku duluan, mengambilnya sebelum tangannya harus menyentuh air dingin.
Aku bersandar ke truknya sementara dia terkejut dan berdiri.

“Bagaimana kau melakukan itu?” tanyanya sebal.

Iya, dia masih marah.

Aku menyerahkan kuncinya. “Melakukan apa?”

Dia mengulurkan tangan, dan aku menaruh kuncinya di telapak tangannya. Aku mengambil napas panjang, menghirup aromanya.

“Muncul tiba-tiba.”

“Bella, bukan salahku jika kau tidak pernah memperhatikan sekelilingmu.” aku sedikit bergurau. Apa ada yang dia tidak lihat?

Apa dia mendengar bagaimana aku mengucapkan namanya dengan penuh perasaan?

Dia mendelik padaku, tidak menghargai gurauanku. Jantungnya berdetak lebih cepat—karena marah? Takut?
Setelah beberapa saat ia menunduk.

“Kenapa kemarin kau membuat kemacetan?” dia bertanya tanpa melihat mataku.

“Kupikir kau seharusnya berpura-pura aku tidak ada, bukannya membuatku kesal setengah mati.”

Masih sangat marah. Butuh sedikit kerja keras agar bisa berbaikan dengannya. Aku ingat dengan niatku untuk jujur...

“Itu demi Tyler, bukan aku. Aku harus memberi dia kesempatan.” Kemudian aku tertawa. Aku tidak bisa menahannya, memikirkan ekspresi Bella kemarin.

“Kau—” dia terengah, terlalu marah untuk meneruskan kata-katanya. Itu dia—ekspresi yang sama. Aku menahan tawaku. Dia sudah cukup marah.

“Dan aku tidak pura-pura kau tidak ada,” aku melanjutkan perkataanku tadi. Lebih baik menggodanya dengan santai seperti ini. Dia tidak akan mengerti jika kutunjukan perasaanku yang sebenarnya. Aku akan menakuti dia. Aku harus meredam perasaanku, menjaga agar tetap kelihatan cuek...

“Jadi kau memang berusaha membuatku kesal setengah mati? Mengingat van Tyer tidak melakukan tugasnya?”

Luapan marah langsung melandaku seketika itu juga. Apa dia sungguh-sungguh mempercayai itu? Tidak rasional bagiku untuk merasa terhina—dia tidak tahu transformasi yang terjadi tadi malam. Tapi tetap saja aku marah.

“Bella, kau benar-benar sinting,” Tukasku marah.

Mukanya merah. Kemudian ia berbalik dan pergi.

Aku langsung menyesal. Aku tidak berhak marah.

“Tunggu,” aku memohon.

Dia tidak berhenti, jadi aku mengejarnya.

“Maafkan aku, sikapku tadi itu kasar. Aku tidak bilang itu tidak benar,” —tidak masuk akal membayangkan akan menyakiti dia—“tapi tetap saja itu kasar.”

“Kenapa kau tidak meninggalkanku sendirian?”

Percayalah, aku ingin mengatakannya. Aku sudah mencobanya. O iya, dan juga, aku benar-benar jatuh cinta padamu.

Santai.

“Aku ingin menanyakan sesuatu, tapi kau mengahalangiku.” sebuah kejadian terlintas di benakku dan aku tertawa.

“Apa kau berpkepribadian ganda?” Dia bertanya.

Pasti kelihatannya seperti itu. Moodku tidak jelas, begitu banyak emosi melandaku.

“Kau melakukannya lagi,”

Dia mendesah. “Baik lah. Apa yang ingin kau tanyakan?”

“Aku bertanya-tanya, jika seminggu setelah sabtu depan...” aku mendapati ekspresi syok di wajahnya, dan harus menahan tawa lagi. “Kau tahu, hari pesta dansa musim semi—”

Dia memotongku, akhirnya kembali menatapku. “Apa kau mencoba melucu?”

Ya. “Biarkan aku menyelesaikannya.”

Dia menunggu diam. Giginya menggigit bibir bawahnya yang lembut. Pemandangan itu mengalihkan aku selama sedetik. Aneh, reaksi yang ganjil menggeliat dari inti kemanusiaanku yang terlupakan. Aku mengusirnya agar dapat terus memainkan peranku.

“Kudengar kau akan pergi ke Seattle hari itu, dan aku bertanya-tanya kalau-kalau kau butuh tumpangan?” Aku menawarkan. Aku menyadari, daripada hanya menanyakan rencananya, lebih baik ikut sekalian.

Dia menatapku kosong. “Apa?”

“Apa kau butuh tumpangan ke Seattle?” berdua dalam mobil bersamanya—tenggorokanku terbakar hanya dengan memikirkannya. Aku mengambil napas dalam-dalam. Biasakan.

“Dengan siapa?” matanya melebar dan penuh tanya lagi.

“Denganku tentu saja,” aku menjawab pelan.

“Kenapa?”

Apa sebegitu mengejutkannya bahwa aku ingin menemani dia? Pasti dia mengartikan yang terburuk dari tindakanku yang lalu.

“Well,” aku menjawab sesantai mungkin, “Aku berencana pergi ke Seattle dalam beberapa minggu kedepan, dan jujur saja, aku tidak yakin apa trukmu sanggup kesana.”

Kelihatannya lebih aman menggodanya daripada menjawab serius.

“Trukku baik-baik saja, terima kasih banyak atas perhatianmu,” dia menyahut dengan keterkejutan yang sama. Dia mulai jalan lagi. Aku menyamakan langkahku. Dia tidak menjawab tidak, jadi kumanfaatkan celah itu. Apa dia akan berkata tidak? Apa yang akan kulakukan jika begitu?

“Tapi apa trukmu bisa sampai dengan satu kali isi bensin?”

“Kupikir itu bukan urusanmu,” Dia menggerutu.

Itu masih bukan tidak. Dan jantungnya berdetak lebih cepat lagi, napasnya bahkan lebih cepat.

“Penyia-nyian sumber daya yang tidak dapat diperbaharui adalah urusan semua orang.”

“Jujur saja, Edward, aku tidak mengerti denganmu. Kupikir kau tidak mau berteman denganku.”

Hatiku bergetar ketika ia mengucapkan namaku. Bagaimana bisa bersikap cuek dan jujur sekaligus? Well, jauh lebih penting untuk jujur. Terutama pada saat ini.

“Aku bilang akan lebih baik jika kita tidak berteman, bukannya aku tidak mau jadi temanmu.”

“Oh, terima kasih, itu menjelaskan segalanya,” dia berkata sinis.

Dia berhenti, dibawah atap kafetaria, dan bertemu pandang denganku lagi. Detak jantungnya tidak beraturan. Apa dia takut?

Aku memilih kalimatku hati-hati. Tidak, aku tidak bisa meninggalkan dia, tapi mungkin dia cukup cerdas untuk meninggalkan aku, sebelum terlambat.

“Akan lebih...bijaksana jika kau tidak berteman denganku.” melihat kedalam mata coklat-mudanya yang dalam, aku tidak mampu mempertahankan sikap cuek-ku. “Tapi aku lelah berusaha menjauh darimu, Bella.” kalimat itu terucap dengan terlalu banyak perasaan.

Napasnya terhenti, dan sedetik kemudian kembali. Itu membuatku cemas. Seberapa besar aku menakuti dia? Well, aku akan segera tahu.

“Maukah kau pergi ke Seattle denganku?” aku bertanya apa adanya.

Dia mengangguk. Jantungnya berdebar-debar sangat keras. Ya. Dia berkata ya pada ku.

Kemudian kesadaran menghantamku. Seberapa besar dia harus membayar ini?

“Kau benar-benar harus menjauhi aku,” aku memperingatkan dia.

Apa dia mendengarku? Apa dia akan berhasil melarikan diri dari ancamanku? Apa aku bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya dariku?

Santai... aku meneriaki diriku sendiri. “Sampai ketemu di kelas.”

Aku harus berkonsentrasi menahan diri agar jangan sampai lari dan terbang.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah menjadi reader blog ini...
Jika ingin men-share link silakan...
Tidak perlu bertanya kapan episode selanjutnya, kalau memang sudah selesai pasti akan langsung diupdate...
DAN MOHON UNTUK TIDAK MENG-COPYPASTE SINOPSIS DARI BLOG INI...

Sapaan di Tahun 2018

Assalamu'alaikum kawan, apa kabarnya? Buat teman-teman muslim Selamat Menjalankan Ibadah Puasa.