Guru Ma berdiri tepat di depan loker salah satu siswanya. Hmm siapa ya, sepertinya itu loker Kim Do Jin. Ia pun teringat saat dimana Do Jin memohon padanya untuk diselamatkan.
Ibu kepala sekolah menemui Guru Ma di kelas. Ibu kepsek sudah mendengar kalau kasus kali ini akan berbeda dengan yang Guru Ma alami dulu. Nanti ataupun sekarang ia tahu Guru Ma tak akan merubah keyakinan yang diyakini.
Guru Ma menoleh diam menatap tempat duduk siswanya. “Guru mengajar dan memberikan soal tapi siswalah yang harus mencari jawabannya.”
Ibu kepsek : “Siswa yang dulu, dia kembali ke sekolah meskipun butuh waktu. Apa anak ini juga akan kembali?”
“Dia akan kembali!” ucap Guru Ma penuh keyakinan kalau Kim Do Jin pasti kembali ke sekolah ini.
Sebelum berangkat sekolah Ha Na dan Bo Mi celingukan mencari seseorang. Keduanya menemukan orang yang mereka cari, Kim Do Jin. Dia tampak duduk menyendiri. Ha Na tersenyum memanggil Do Jin. Ia dan Bo Mi mengajak Do Jin ke sekolah bersama. Do Jin menunduk sedih menyadari perbuatannya. Ia malu datang ke sekolah.
Seo Hyun dan Dong Goo juga datang ke tempat itu mengajak In Bo. Perasaan Do Jin semakin tak enak pada In Bo yang sudah ia perlakukan dengan buruk.
In Bo : “Kim Do Jin, apa ada yang ingin kau katakan?”
Do Jin menunduk diam tak tahu harus memulai perkataan dari mana.
Do Jin sampai di kelas karena diajak Ha Na cs. Ia sebenarnya tak berani bertemu teman-temannya karena merasa bersalah pada mereka. Dong Goo menarik Do Jin agar cepat masuk.
“Kau sudah datang Kim Do Jin.” sapa Jung Soo.
“Kau sudah melakukan yang baik. Sudah, tidak apa-apa.” sambung Soo Jin tak mempermasalahkan kesalahan Do Jin yang lalu.
“Kau tak usah sedih, kami juga punya kesalahan.” seru Han Gook menyemangati Do Jin.
“Benar. Bukan hanya kau yang melakukan kesalahan?” Ucap Na Ri yang air matanya hampir keluar. Ia mengerti perasaan Do Jin karena dulu ia juga mengalaminya. Ia memuji Do Jin sudah melakukan hal yang baik dengan kembali ke sekolah.
In Bo menyampaikan pada teman-temannya kalau Do Jin sudah minta maaf padanya dan ia pun sudah menerima permintaan maaf Do Jin.
Seo Hyun berkata karena mereka sudah berkumpul maka mereka akan mengadakan diskusi kelas tak resmi. “Karena semua guru tahu, sekolah sepertinya akan melakukan tindakan pendisiplinan. Mulai sekarang, sejak In Bo memaafkan Do Jin kelas kita tidak akan membuat masalah lagi. Ada yang setuju?”
Semua mengangkat tangan setuju. Seo Hyun selaku ketua kelas minggu ini pun memutuskan mereka tak akan lagi membahas masalah Kim Do Jin saat diskusi kelas. Mereka tersenyum tepuk tangan.
“Tunggu dulu.” sela Do Jin. “Oh Dong Goo aku minta maaf.” Do Jin ingin mengungkapkan alasan kenapa Dong Goo memukulnya tapi Dong Goo menyela supaya Do Jin tak mengatakan apapun. “Baik baik baik sudahlah itu masa lalu.” Dong Goo tak ingin Do Jin mengungkapkan itu, ia sudah melupakannya. Keduanya pun berjabat tangan dan tersenyum. Anak-anak kembali tepuk tangan gembira karena masalah diantara mereka selesai.
Ternyata Guru Ma melihat semuanya dari luar. Ha Na merasa ada yang memperhatikan ia pun menoleh ke arah pintu dan terkejut melihat Guru Ma ada disana. Guru Ma pun segera pergi dari sana. Ha Na heran kenapa Guru Ma hanya berdiri di depan pintu dan tidak masuk ke kelas.
Wakil kepala sekolah dan guru kelas 6 mengadakan rapat.
Wakasek : “Jadi Guru Ma, anda bilang akan membiarkan ini dan tidak mengajukannya ke komite kedisiplinan? Kukira anda akan mengeluarkan siswa lagi dari sekolah.”
Guru Ma berkata kalau siswa yang menjadi korban sudah menerima permintaan maaf si pelaku. Guru Goo menilai kalau begitu secara teknis masalah ini tak bisa diajukan ke komite kedisiplinan.
Wakasek pun tak memperpanjang masalah ini, ia menyerahkan semuanya pada guru kelas. Ia berharap masalah ini tak terjadi lagi, kalau ada masalah seperti ini lagi maka Guru Ma harus bertanggung jawab. Guru Ma mengerti. Rapat pun selesai wakasek kembali ke ruangannya.
Guru Yang merasa lega karena siswa bisa saling memaafkan dan menyelesaikan masalah sendiri. Tapi ia khawatir apa hal ini akan baik-baik saja. Guru Jung membenarkan, ia mendengar kalau Kim Do Jin menyebabkan masalah ketika di Kanada. Ia menyarankan Guru Ma sebaiknya memindahkan Kim Do Jin ke sekolah lain. Kalau terus dipertahankan ia yakin Guru Ma pasti tak akan tahu apa yang akan Do Jin perbuat lagi.
“Sudah kukatakan aku yang akan bertanggung jawab!” tegas Guru Ma. Ketiga guru pun diam tak bisa membantah perkataan Guru Ma.
Ha Na dan Bo Mi berada di toko boneka. Ha Na membantu Bo Mi memilih-milih boneka. Sambil memilih boneka Ha Na berkata bahwa sebenarnya Guru Ma itu guru yang baik. Bo Mi menggeleng tak yakin.
Tapi Ha Na berpendapat bahwa dari luar Guru Ma memang terlihat menyeramkan tapi yang kita lihat saat di sekolah mungkin bukan dia yang sebenarnya. “Kalau Guru Ma tak ada apa kelas kita akan jadi seperti ini? Do Jin juga menjadi yang sebenar-benarnya teman.”
Bo Mi merasa kalau Do Jin seharusnya berterima kasih pada Ha Na. Ha Na membenarkan tapi ia heran karena Oh Dong Goo tetap tak mau bilang padanya alasan dia memukul Do Jin.
Ha Na mengambil dua boneka yang menurutnya lucu. Yang satu warnanya hitam yang satunya pink. Bo Mi minta Ha Na membantu memilih mana yang lucu. Ha Na memilih boneka yang warna pink. Bo Mi pun membeli boneka pilihan Ha Na.
Keduanya keluar dari toko. Ha Na heran untuk siapa hadiah itu. “Jangan-jangan, kau punya pacar ya?” ledek Ha Na. hahaha.
Bo Mi tersenyum menyerahkan boneka itu untuk Ha Na, “Ini hadiah dariku.” Bo Mi mengucapkan terima kasih untuk semua hal yang sudah Ha Na lakukan untuknya. “Ibuku bilang masalahnya sudah selesai jadi aku bisa pulang.” Ha Na ikut senang mendengarnya. Ia berterima kasih atas hadiah yang Bo Mi berikan padanya.
Ibu Na Ri berada di dalam mobilnya tengah menghubungi Pengacara Ahn (bingung saya Jaksa apa pengacara haha). Ibu Na Ri menilai akan lebih mudah kalau seandainya masalah ini bisa menjadi besar. Ia merasa Pengacara Ahn harus turun tangan. Ia tahu memang bagus mengikuti prosedur resmi tapi ia ingin hal itu segera dilaksanakan. Jadi harap pengacara Ahn mempertimbangkan ini secapatnya.
Guru Ma berada di rumahnya. Rumah dalam keadaan lampu yang tak begitu terang. (atau memang Guru Ma lebih suka dalam keadaan agak gelap seperti ini ya)
Guru Ma mengetik sesuatu di laptopnya. Ia menulis tentang riwayatnya Kim Do Jin. Ia menambahkan data-data Kim Do Jin itu ke dalam satu folder. Huwaaaa itu Guru Ma membuat data tiap siswa di folder terpisah.
Keesokan harinya, dengan langkah mantap Guru Ma menuju kelasnya.
Di tempat lain ibu-ibu wali murid kelas 6-3 menerima sms. Ibu Sun Young yang sedang belanja menerima sms.
Ibu Bit Na yang punya usaha salon di rumah juga menerima sms tepat ketika dia akan menggunting rambut pelanggannya. Ibu Ha Na yang tengah mencuci piring juga menerima sms. Pokoknya ibu-ibu dapet sms deh. Sms apa ya dan dari siapa.
Tepat ketika bel bunyi Guru Ma sampai di kelas. Seo Hyun memberi aba-aba pada temannya untuk menyapa guru. Terdengar suara anak-anak yang semangat, ini jelas lain dari biasanya dan itu membuat Guru Ma memandang heran.
Bukannya memuji Guru Ma malah mengkritik. “Kenapa keranjang payung di lorong berantakan? Apa orang yang ditugaskan untuk piket pagi tidak membereskannya? Cepat bereskan!”
Dong Goo yang merasa dirinya mendapat tugas langsung berdiri keluar. Do Jin juga ikut keluar membantu menyusul Dong Goo. Keduanya rangkulan keluar kelas memberereskan keranjang payung yang ada di lorong.
Seo Hyun menyerahkan daftar tugas kelas yang sudah dibagi. Ia juga mengatakan dalam minggu ini ia dan teman sekelas akan diskusi untuk merencanakan pengadaan proyek kelulusan. Guru Ma yang melihat sekilas daftar itu mengatakan kalau untuk hal semacam ini ia menyerahkan sepenuhnya pada anak-anak, ia tak peduli. Seo Hyun kembali ke tempat duduknya.
Guru Ma memandang seluruh siswanya. “Apa ini saatnya kalian fokus pada proyek klulusan? Apa untungnya mempunyai kenangan? Lagi pula semuanya akan berpisah setengah tahun lagi. Selama semester dua ini, kalian seharusnya memikirkan masa depan daripada kenangan masa lalu. Kalau orang tua kalian tahu, apa yang akan mereka pikirkan? Kurasa sekarang saatnya menunjukan kalian yang sebenarnya pada orang tua kalian.”
Anak-anak terlihat cemas Guru Ma akan membuka hal yang orang tua mereka tak ketahui.
Guru Ma mengatakan kalau mulai besok kelas mereka akan mengadakan pertemuan antara guru dengan orang tua. “Kita akan mengadakan pertemuan guru dan orang tua bersama siswa untuk mendiskusikan rencana semester kedua.”
Ternyata sms yang dikirim ke orang tua itu dari Guru Ma. Guru Ma mengirim sms ke semua orang tua kalau kelas mereka akan mengadakan pertemuan guru dengan orang tua.
Guru Ma menunjukkan beberapa foto kegiatan siswa yang tak diketahui oleh orang tua mereka. Seperti foto Jung Soo yang ketahuan pacaran, Soo Jin cs yang nonton konser, dan Sun Young-Hwa Jung yang bolos dari les.
Guru Ma : “Kalian ingat kan? Kalau aku tahu semua rahasia yang kalian sembunyikan.”
Guru Ma menunjukan data-data siswa yang ada di laptopnya. “Tentu saja bukan hanya foto ini. Di dalam laptopku ada semua file tentang kalian. Rahasia yang kalian sembunyikan dan kebohongan-kebohongan kalian. Kalau kalian tidak terpengaruh, silakan melakukan apa yang kalian mau. Tapi kalau kalian gagal aku harap kalian mematuhi semua perkataanku di depan orang tua kalian. Kalian mengerti?”
Anak-anak menunduk cemas.
Makan malam di rumah Ha Na. Ha Yoon kecewa Bo Mi sudah tak tinggal di rumahnya lagi. Ia mengeluh jikalau Bo Mi masih ada, dia akan membantu mengerjakan tugas seninya.
Ibu terkejut, “Apa kau menyuruh Bo Mi mengerjakan tugasmu?” Ha Yoon meralat tidak kok, Bo Mi yang bersikeras ingin membantunya. Ia memuji Bo Mi itu hebat dibidang seni.
Ha Na berkata kalau Bo Mi sangat hebat menggambar kartun. “Dia akan menggambar karakterku sebagai pahlawan wanita.” Ha Yoon menilai itu hal yang konyol. Ha Na kesal kakaknya meledeknya.
Melihat kedua putrinya seperti itu ayah mengingatkan kalau mereka sudah lama tak makan malam bersama. Jadi ia harap putrinya ini bisa makan dengan tertib.
Ibu menyampaikan pada Ha Na mulai besok Ha Na ikut les untuk persiapan masuk ke SMP Internasional. “Tidak hanya kelasnya yang mahal gurunya juga sulit didapat. Semua ibu berusaha keras agar kalian bisa ikut ke kelas itu. Jadi kau belajarlah dengan baik disana!”
Ha Na tak suka itu, “Ibu aku tak ingin pergi ke kelas itu. Kalau aku terus pergi les dari senin sampai jumat kapan aku bisa bertemu dengan teman-temanku?”
“Kau akan punya teman ditempat les.” sahut ibu. Ha Na tentu saja malas karena teman ditempat les berbeda dengan teman yang selama ini dekat dengannya.
“Oh Dong Goo.” ledek Ha Yoon.
Ibu heran siapa itu Oh Dong Goo. Ha Yoon memberi tahu kalau Dong Goo itu nama anak lelaki yang disukai Ha Na. Ha Na cemberut sebel sama kakaknya. Ayah tanya apa ada anak lelaki yang Ha Na sukai. Ha Na yang cemberut bilang tidak.
Ibu marah, “Apa harus begini saat kau harus belajar? jangan bodoh!”
Ha Na menunduk menggerutu, “Ibu sangat mirip dengan Guru Ma.”
Orang tua dan siswa pun mengadakan pertemuan dengan Guru Ma. Guru Ma tahu kalau ibu Ha Na menginginkan Ha Na ikut kelas persiapan SMP Internasional. Guru Ma meminta pendapat Ha Na. Ha Na merasa kalau les yang ia tekuni sekarang sudah cukup ditambah lagi ia tak berminat masuk ke SMP internasional.
Ibu Ha Na tak mengerti dengan perkataan putrinya, “Kau itu harus memiliki cita-cita yang tinggi. Jadi kau bisa meraih sesuatu yang lebih tinggi.” Ha Na menggerutu, “Kenapa cita-cita harus selalu berhubungan dengan belajar?”
Ibu kesal tapi menahannya karena ia ada di depan Guru Ma. Ia tak enak mengomeli Ha Na di depan Guru Ma.
Guru Ma tersenyum bilang tak apa-apa. Ia ingin tahu apa Ha Na memiliki rencana lain. Ha Na terbata-bata mengatakan kalau ia hanya ingin hidup sehat dan bersenang-senang dengan teman-temannya.
Ibu tak mengerti, “Cita-cita seperti apa itu? bukankah kau bilang ingin jadi dokter?” Ha Na bilang itu keinginannya ketika masih kecil.
Guru Ma melihat kalau sepertinya Ha Na hanya mengeluh, “Kau harus pergi les seperti yang ibumu katakan!”
Ha Na : “Bu guru, bukankah ibu tahu kalau aku juga tak ingin masuk ke SMP internasional?”
Guru Ma : “Kalau kau ingin melakukan apa yang kau suka, kau bisa pindah rumah dan hidup bebas.”
Ibu terkejut mendengar ucapan Guru Ma, “Ah Bu Guru itu tak mungkin. Ha Na itu kan masih SD.”
Guru Ma berkata pada Ha Na, “Kalau kau masih ingin ada yang menjagamu maka sudah jelas kau harus mendengarkan orang tuamu. Kalau kau tak ingin, maka kau harus menjelaskan dan berusaha membuat mereka mengerti. Tapi kurasa kau tak mau melakukan itu. Jadi kau hanya mengeluh.”
Anak dan orang tua berikutnya adalah Na Ri dan ibunya. Ibu Na Ri merasa kalau putrinya itu baik-baik saja dalam belajar, sebagai ibu ia merasa yakin itu. Tapi Guru Ma memiliki pemikiran lain, ia menyayangkan karena nilai-nilai Na Ri masih belum memuaskan. Belakangan ini Na Ri tak begitu memperhatikan pelajaran.
Ibu Na Ri heran, apa putrinya ada masalah.
Guru Ma sekilas menoleh menatap Na Ri, “Daripada masa depan dia sepertinya lebih fokus pada kenangan masa lalu. Jadi dia banyak menghabiskan waktu dengan temannya.” Na Ri menunduk diam.
Ha Na, Na Ri, Sun Young, Hwa Jung dan In Bo berada di tempat les persiapan SMP Internasional. Tempatnya bagus juga hehe. Kelima anak itu membaca peraturan kontrak mengikuti les.
‘Untuk suasana belajar terbaik akan ada hukuman bagi yang tidak mematuhi perintah guru.’
Mereka mengeluh, “Apa ini? tidak menyelesaikan tugas 5 pukulan, terlambat 10 pukulan. Apa kita akan dipukul kalau terlambat?” tanya Hwa Jung. “PR-nya juga sangat banyak.” keluh Na Ri.
In Bo memberi tahu teman-temannya kalau di ruangan itu dilengkapi dengan CCTV.
Sun Young mengekuh kesal, “Ah ini menyebalkan, kurasa gurunya menakutkan.”
Ha Na mengeluh, “Kenapa kita disini? Aku bahkan tak berminat masuk SMP internasional.”
Guru les datang menanyakan apa anak-anak sudah menandatangani kontraknya. (surat pernyataan kali ya maksudnya haha) Ia harap anak-anak segera mengumpulkannya sebelum pergi dan mereka tak perlu melalui tahap perkenalan lagi.
Guru menjelaskan tentang segitiga. Penjelasannya sangat cepat. Anak-anak kewalahan mengikutinya.
Dong Goo bersih-bersih di bar-nya Nyonya Oh. Dong Goo bertanya apa Nyonya Oh sudah minum obat. Nyonya Oh berkata bukankah ia sudah mengirimkan fotonya ketika ia minum obat tadi siang. “Oh iya benar,” Dong Goo tertawa hahaha.
Nyonya Oh bertanya apa terjadi sesuatu di sekolah. Dong Goo berfikir, sesuatu apa. “Ah tak ada.” ucapnya. Tapi ia kemudian teringat sesuatu dan memberitahu Nyonya Oh kalau teman piketnya berubah.
Nyonya Oh terkejut, “Tidak dengan Ha Na lagi? Aku sudah lama tak melihat Ha Na. Aku sering melihat Seo Hyun dan Bo Mi.” Dong Goo berkata itu karena Ha Na ikut les.
“Oh Dong Goo apa kau juga mau ikut les?” tanya Nyonya Oh.
Dong Goo heran Nyonya Oh menanyakan itu. Nyonya Oh berkata kalau dijaman sekarang ia mendengar jika seorang anak tak ikut les maka dia tak punya teman. Dong Goo bilang tak usah, lagi pula ia tak ada niat untuk belajar.
Nyonya Oh : “Lalu kau mau jadi apa?” (cita-citanya mau jadi apa)
Dong Goo bingung sendiri, “Aku tak tahu.”
Nyonya Oh : “Oh Dong Goo dengarkan aku baik-baik. Kapanpun ada sesuatu yang kau inginkan, katakan padaku. Aku, Nyonya Oh akan tetap mendukungmu.”
Dong Goo mengangguk mengerti, “Kalau aku memikirkannya aku akan mengatakannya. Aku janji.”
Ha Na sampai di rumah dan terkejut melihat wajah ibunya yang tampak marah. “Shim Ha Na apa yang terjadi?” tanya Ibunya marah. Ha Na yang cemberut tanya apa maksud ibunya.
Ibu : “Apa benar kau mengajak anak-anak bermain di kelas seni daripada belajar ketika kelas liburan musim panas lalu? Apa kau tahu berapa banyak telepon yang ibu terima dari ibu lain yang menanyakan itu? Dan anak yang dipanggil Oh Dong Goo itu apa dia tinggal di bar, kudengar dia selalu berkelahi.”
“Oh Dong Goo tidak seperti itu.” bela Ha Na. “Aku juga tak berminat masuk SMP Internasional. Ada banyak PR yang tak cocok dengan kemampuanku. Jujur saja Bu, aku tak paham satu pun.”
Ibu : “Kau itu harus belajar yang susah-susah untuk menjadi lebih baik.”
Ha Na : “Aku tak mau pergi karena itu hanya membuatku pusing.”
Ha Na yang kesal duduk di kursi. Ibu tak menyangka Ha Na berani bicara seperti itu padanya, “Kenapa kau tak mendengarkan ibumu? Apa kau harus dimarahi dulu supaya sadar?” Ha Na menatap kesal ibunya.
Di sekolah Ha Na menceritakan yang ia alami di rumah pada teman-temannya. Yang lain juga mengalami hal yang sama.
Na Ri berkata kalau ibunya sungguh membuatnya kesal, “Dia percaya saja pada perkataan Guru Ma dan berfikir itu semua kesalahan Ha Na.”
Yeon Hoo : “ibuku....”
Yeon Hoo diomeli ibunya, “Apa ini rapormu? Berhentilah bermain bola dan belajarlah! Kau tak mungkin menjadi pemain hebat dengan kemampuanmu itu!”
Ibu Yeon Hoo mengambil bola sepak, “Bagaimana kau belajar kalau ada bola di kamarmu?”
Yeon Hoo mengeluh bagaimana ibunya tahu kalau ia belum mencoba kemampuan bermain sepak bolanya.
In Bo : “Aku kemarin.....”
In Bo juga diomeli ibunya, “Lihat ini posisimu. Kalau seperti ini kau tak bisa kuliah kalau berada di baris kedua.” In Bo mengeluh membuat ibunya kesal, “Hei Son In Bo apa kau mendengarkan ibu? Lihat kesini, ini nilaimu. Kemana saja pikiranmu belakangan ini?”
In Bo : “Ibuku menceramahiku selama satu jam...”
“Ah itu masih mending.” sahut Sun Young, “Ibuku....”
Sun Young menunduk diam di samping ibunya yang terus menangis kecewa. “Untuk merencanakan pendidikan yang akan kau masuki aku mengorbankan harga diriku. Aku hanya hidup untukmu. Tak ada gunanya punya seorang putri. Aku mau hidup sendiri saja huhuhu....”
Sun Young menghela nafas, “Dia terus menangis.”
Sun Young berkata pada Tae sung pasti di rumah baik-baik saja karena nilai pelajaran Tae Sung bagus.
Keadaan Tae Sung juga tak berbeda dengan teman-temannya.
Ayahnya yang seorang direktur rumah sakit menceramahi Tae Sung. Dia membanding-bandingkan putranya dengan saudara sepupu Tae Sung yang sekarang bisa masuk ke Universitas Seoul. Saudara sepupu Tae Sung ini ketika kelas 6 SD berhasil mendapatkan juara pertama lomba matematika.
Ayah Tae Sung : “kau bahkan tak bisa menjadi juara satu di sekolah. Kalau seperti ini bagaimana kau bisa masuk ke Universitas Seoul? Bagaimana kau bisa mewarisi rumah sakit ini?”
Tae Sung mengeluh, “Di keluarga kami, kau tak akan diperlakukan secara manusiawi kalau tidak masuk Universitas Seoul.”
Ibu Bit Na yang punya usaha salon tengah merapikan rambut putrinya, “Seperti saudaramu, sudah kukatakan ibu akan memperbaiki wajahmu perlahan-lahan. Bukankah bagus kalau nilai bisa diperbaiki lewat operasi? Jadi kau tak perlu susah-susah. Gurumu mengatakan hal baik tentangmu. Kalau kau masuk universitas, ibu akan lakukan apa saja untukmu. Katakan apa saja keinginanmu ibu akan usahakan.” (hahaha)
Bit Na : “Dia bilang belajar tidak bisa dilakukan dengan operasi. Dia menyuruhku belajar dengan giat.”
(jadi menurut ibu Bit Na wajah itu bisa diperbaiki melalui operasi tapi tidak dengan nilai pelajaran. Karena ga ada operasi di pelajaran hahaha)
Dong Goo menilai Guru Ma memanfaatkan mereka lagi sebagai boneka. Anak-anak mengeluh dan tepat saat itu Guru Ma masuk kelas. Ia melihat siswanya duduk sembarang tempat. Mereka terkejut melihat Guru Ma datang. Mereka pun segera duduk rapi ditempat masing-masing.
Guru Ma melihat kalau wajah siswanya ini penuh dengan keluahan.
“Orang tua sering mengatakan ‘jangan hidup seperti aku’ atau ‘kau harus seperti aku’ kata-kata itu tidak penting bagi kalian tapi penting bagi orang tua kalian. Itu sebabnya semua itu dibandingkan dengan yang kalian pelajari. Berapa nilai kalian itu sangat penting. Apa yang kalian pelajari akan menjadi milik kalian. Tapi nilai kalian adalah sesuatu yang bisa dibanggakan orang tua. Kalau kalian menyerah terhadap kebebasan kalian, maka tak ada yang disakiti. Kalian bisa hidup nyaman dibawah perlindungan orang tua kalian. Kalau tidak mau, maka ingatlah ini. Tidak ada kebebasan tanpa rasa sakit.”
Ha Na dan teman-temanya duduk di bangku taman sekolah. Mereka berempat membicarakan apa yang Guru Ma katakan di kelas tadi.
“Jadi maksudnya, kita harus patuh pada orang tua atau bagaimana?” tanya Bo Mi.
Mereka diam.
Ha Na kemudian menanyakan bagaimana pertemuan orang tua Bo Mi dan Guru Ma. Bo Mi menarik nafas lemas....
Ibu Bo Mi menginginkan putrinya bekerja menjadi PNS. Menurutnya kalau Bo Mi menjadi PNS dia akan bisa mandiri sepanjang hidup. Tapi Guru Ma merasa kalau Bo Mi memiliki pemikiran yang berbeda. Bo Mi menjawab ya pelan, “Aku ingin menjadi kartunis.”
Guru Ma menilai itu cita-cita yang bagus. “Tapi, hanya karena dipuji oleh teman-temanmu apa berarti kau sudah cukup pantas menjadi seorang kartunis? Bukankah kau terlalu percaya diri karena pujian teman-temanmu itu? atau mungkin kau sedang berkhayal bisa hidup tanpa belajar?”
Bo Mi menunduk diam.
Ibu Bo Mi bertanya pada Guru Ma bisakah Guru Ma menaikkan nilai putrinya. Guru Ma berkata kalau Bo Mi melupakan cita-cita menjadi kartunis dan belajar giat itu mungkin saja terjadi.
Kembali ke bangku taman. Suara Bo Mi terdengar lemas, “Apa cita-citaku terlalu jauh?” Ha Na bilang tidak, ia sendiri iri pada Bo Mi, “Kau punya mimpi yang membuatmu bahagai saat kau mengejar dan mewujudkannya.”
Seo Hyun melihat Dong Goo sibuk sendiri dengan mainan kartu.
Ha Na menilai hal ini pasti bagus untuk Seo Hyun. “Kau bisa menjadi apapun yang kau mau. Kau bisa masuk ke sekolah kesehatan atau hukum dengan nilai sempurna.”
Seo Hyun : “Apa kau sudah mewujudkan mimpimu kalau kau masuk ke universitas atau mendapatkan pekerjaan?”
Ha Na : “Tak peduli apa itu menggambar atau belajar, terlahir dengan bakat itu membuatku iri. Akankah anak sepertiku hanya cukup dengan belajar giat seperti yang Guru Ma katakan?”
Seo Hyun kembali melihat Dong Goo yang hanya diam memainkan kartu, “Oh Dong Goo bagaimana denganmu?”
Dong Goo : “Aku tak ada masalah.”
Seo Hyun heran, “Apa kau tak menghadiri pertemuan?”
“Tidak.” jawab Dong Goo menunduk sedih. “Kurasa Guru Ma tak tertarik denganku. Lagipula aku tak punya ibu yang bisa dibawa kesini.”
Sambil menuju kelas, ketiga cewek ini menghibur Dong Goo supaya tak sedih. Mereka bersenda gurau. Tapi keempatnya terkejut melihat Nyonya Oh keluar dari ruang guru bersama Guru Ma. Nyonya Oh tampak pamitan pada Guru Ma.
Keempatnya menghampiri Nyonya Oh. Nyonya Oh yang sudah lama tak melihat Ha Na tersenyum senang. Dong Goo heran, kenapa Nyonya Oh ada di sekolah, apa Nyonya Oh baru saja menemui Guru Ma. Nyonya Oh bilang tentu saja, bukankah ia ini walinya Dong Goo. Kalau bukan dirinya lalu siapa lagi.
Dong Goo : “Kenapa tak meneleponku? Apa yang kalian bicarakan?”
Nyonya Oh berkata kalau pemikiran Guru Ma itu sama seperti dirinya. “Tapi gayanya harus diganti menjadi pink terang atau kuning supaya dia terlihat lebih manis.” (hahaha)
“Pemikirannya sama denganmu?” Dong Goo tak percaya.
Ponsel Nyonya Oh bunyi, ia pun bicara dengan orang yang menghubunginya. Usai menerima telepon Nyonya Oh berpesan pada Dong Goo untuk menjaga bar sepulang sekolah nanti. Ia juga menyuruh ketiga malaikat cantik ini untuk berkunjung ke tempatnya. Nyonya Oh pun segera pergi. Dong Goo tak mengerti sekaligus penasaran, apa yang Nyonya oh dan Guru Ma bicarakan.
Mereka berempat pulang sekolah tapi di jalan mereka berpisah. Ha Na harus ke tempat les. Bo Mi dan Seo Hyun pergi bersama. Dong Goo heran apa Seo Hyun dan Bo Mi juga pergi les. Bo Mi mengangguk tersenyum (ga tahu bener ga tahu enggak haha) Dong Goo mengeluh ditinggal sendirian.
“Kau sepertinya sedang bosan.” seru Guru Ma tiba-tiba muncul mengangetkan Dong Goo.
Dong Goo bertanya apa Guru Ma sedang dalam perjalanan pulang atau hanya keluar untuk jalan-jalan. Ia ingin tahu apa yang Guru Ma bicarakan dengan Nyonya Oh. “Ibu bilang itu pertemuan guru dan orang tua. Kenapa tak memanggilku?”
Guru Ma : “Menyia-nyiakan waktu bicara dengan anak sepertimu.”
Dong Goo berkata kalau ia bisa menunjukan sesuatu yang lucu pada guru ma bersama Nyonya Oh.
Guru Ma : “Kau bilang hari ini menyenangkan. Akankah besok akan menyenangkan? Oh Dong Goo, apa hari ini sungguh meyenangkan?”
Dong Goo menunduk diam tapi tak lama kemudian ia tersenyum, “Ya menyenangkan. Jawabnya. “Aku bermain dengan teman-temanku di sekolah. Lalu aku bermain dengan ini sebentar.” kata Dong Goo menunjukan kumbang bertanduknya. “Dan malamnya aku bermain dengan Nyonya Oh.”
Guru Ma : “Akankah teman-temanmu masih bisa bermain denganmu besok dan besok lusa? Belajar itu sulit sementara bermain itu menyenangkan. Anak-anak yang stres karena ibu mereka pasti iri padamu. Tapi beberapa tahun lagi ketika mereka dewasa, akankah mereka masih iri padamu? Saat itu cita-cita yang mereka kejar sudah menjadi kenyataan. Mereka akan menjadi seseorang yang berbeda dengan seorang anak yang menyia-nyiakan waktu sepertimu. Saat dewasa kau tak lagi bisa membuat alasan kalau ibumu tak ada. Kalau temanmu telah pergi, apa kau masih bermain dengan boneka seperti anak-anak?”
Guru Ma : “Mungkin anak bodoh seperti Shim Ha Na akan menyebutmu teman mereka. Jika seseorang bertanya kenapa dia bergaul denganmu, dia sepertinya akan berkata ‘dia kasihan sekali. Dia bahkan tak punya teman selain aku’ dia akan mengasihanimu seperti itu. Apa ini persahabatan yang kau inginkan? Kalau iya, maka tetaplah seperti ini.”
Usai mengatakan itu Guru Ma pergi dari sana. Dong Goo nampak memikirkan setiap kata yang diucapkan gurunya.
Bersambung di part 2
:D trimakasih unnie
ReplyDeleteBravo guru ma.....drama yg bagus skli.....tetep S̤̥̈̊є̲̣̥є̲̣̣̣̥♍ªªªηgªª†̥ ya mb anis, tinggal dikit lg nih
ReplyDeleteJd pengen lyat versi gede mereka, pda jd ∂ƥ∂ª ♈α᪪☺?
ReplyDeletesemangat ya mb nulis sinop nya !! :D
ReplyDeleteOh iya mba anis , kim dojin gak diceritain ibunya komentar apa? Aku penasaran ama dojin .. ><
ReplyDeleteGa ada tuh dialog ibunya Do Jin. kayaknya dia Eomma yang ga dapat dialog deh hehehe. cuma senyum aja.
Delete:)
ReplyDelete>>Rain
terima kasih ya.... ditunggu sinopsis2 lanjutannya!!!!
ReplyDeletekebijaksanaan untuk diri sendiri itu biasa
ReplyDeletetapi membuat orang lain bijaksana dalam kehidupan itu baru luar biasa
itulah yg sepertinya ingin dilakukan guru ma pd murid-muridnya
membuat mereka bijaksana dalam mengisi kehidupan yg penuh perjuangan ini
aaaaaa.......
ReplyDeleteepisode terakhirnya sungguh mengharukan :')
oiya mba anis tolong ya pas ending guru ma ketemu ha na yg udah smp ngomong apa gak jelas dengan ost shinne
panasaran
makasih
Keren >w< next sinopsisnya :D
ReplyDelete